top of page
Search

Pola Rajutan oleh Tuhan

  • Indra Ajidarma Sadewo
  • Jan 13, 2017
  • 15 min read

Saya pernah membaca cerita yang cukup menarik dari sebuah buku berjudul Bukan Untuk Dibaca karangan Deassy M. Destiani. Jangan tanya saya kenapa buku ini bukan untuk dibaca karena pada akhirnya, saya baca juga. Di dalam buku ini, terdapat sebuah cerita pendek. Begini ceritanya, suatu hari, seorang anak melihat ibunya merajut sebuah pola pada suatu kain. Hari demi hari, anak tersebut memerhatikan dan mencoba menerka apa yang sedang dirajut ibunya karena dari apa yang dia lihat, yang dirajut ibunya adalah pola yang berantakan dan tidak enak dilihat.


Akhirnya, anak tersebut tidak dapat menahan rasa penasarannya dan bertanya pada ibunya, "Ma, apa sih yang Mama rajut? Kok hasilnya berantakan dan tidak ada bentuknya?" Ibunya tersenyum dan berkata, "Itu karena kamu melihatnya dari sisi yang salah."


Kemudian, Sang Ibu mengangkat anaknya dan mendudukkannya di atas pangkuannya. Setelah dilihat dari atas pangkuan ibunya, terlihat pola berbentuk bunga-bunga yang macam-macam warnanya. Sungguh rajutan yang indah dan memukau. Ternyata, selama ini, sang anak melihat kain yang dirajut ibunya dari bawah. Dari sisi bawah, pola yang terbentuk memang berantakan. Tapi, dari sisi atas, terbentuk sebuah pola yang indah.


Dari cerita tadi, dapat kita petik hikmahnya bahwa seperti itulah hidup. Jika kita melihat hidup kita dari sisi yang salah, maka apa yang kita lihat selalu saja negatif dan buruk seperti pola kain rajutan yang terlihat dari belakang. Tetapi, jika kita lihat dari sisi yang tepat, maka hidup kita akan terlihat indah seperti pola kain rajutan yang terlihat dari depan. Nah, kisah yang akan saya ceritakan adalah kisah bagaimana saya belajar untuk melihat hidup saya dari sudut pandang yang tepat.


Cerita ini berawal ketika kakak saya diterima di suatu universitas negeri favorit di Kota Bandung. Jurusan yang dipilihnya adalah teknik arsitektur, sesuai dengan bakat dan hobinya, yakni menggambar. Saya terinspirasi dengan keberhasilan kakak saya. Sejak saat itu, saya bertekad untuk berkuliah di universitas yang sama dengan kakak saya karena memang saya kagum dengan reputasi universitas tersebut. Ditambah lagi, suasana kampus di sana benar-benar seperti yang saya idamkan.


Saat itu, saya duduk di kelas 3 SMA. Saya mengambil jurusan IPA di SMA. Kelas 3 SMA adalah masa-masa galau seluruh remaja di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu senantiasa berlalulintas di otak kami semua adalah "Mau kuliah di mana?", "Mau pilih jurusan apa?", "Jurusan utamanya apa?", "Jurusan cadangannya apa?", "Kenapa pilih jurusan itu?", dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan sejenis.


Tentu saja, sayapun mengalami kegalauan serupa. Tadinya, saya merencanakan untuk mengambil jurusan psikologi karena saya memang suka mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan piskologi. Apalagi, sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi sesamanya. Jika saya menjadi seorang psikolog, saya bisa bekerja pada bidang yang saya sukai sekaligus bisa menolong orang lain. Ditambah lagi, saya bisa melakukan sesuatu yang sudah menjadi keahlian saya, yaitu menjadi pendengar.


Suatu saat, saya mendiskusikan pilihan saya dengan ayah dan ibu saya. Ayah saya mengatakan pada saya, "Kamu harus bisa membedakan apa yang kamu suka dengan kamu mau jadi apa nantinya. Kalo menurut Bapak, psikologi itu ilmu yang bisa kamu pelajari lewat buku. Dengan sekedar baca-baca aja, kamu udah bisa belajar psikologi. Sedangkan kalau ilmu teknik, kamu tidak bisa hanya dengan membaca buku-buku teknik. Kamu harus belajar secara teori dan praktek. Kalo kemauan kamu cuma mau berguan bagi orang lain, kamu kerja apapun sebenernya udah nolong orang. Kamu jadi konsultan aja kan udah menjual jasa, berarti membantu orang lain."


Setelah saya pikir-pikir, benar juga kata-kata ayah saya. Kalau saya kuliah teknik, saya bisa sambil belajar psikologi dari buku. Jika dilihat dari keuntungan ilmu yang saya dapat, saya bisa menguasai psikologi sekaligus teknik. Tapi, jika saya kuliah psikologi, saya tidak akan bisa menguasai ilmu teknik. Lingkup bidang pekerjaan sayapun akan lebih sempit dibandingkan dengan jika saya mendapat gelar sarjana teknik. Lagipula, jika saya mau mengambil jurusan psikologi, saya harus mengambil ujian IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran) karena psikologi adalah cabang dari ilmu sosial, sedangkan saya berada dalam jurusan ilmu alam. Saya harus belajar pelajaran-pelajaran IPS yang saya tidak sukai dari awal lagi. Maka, setelah saya pertimbangkan matang-matang, saya pun memutuskan untuk mengambil jurusan teknik.


Saya mempunyai seorang saudara sepupu, Luthfi namanya. Ini dia orangnya.

aya dan Luthfi adalah teman seperjuangan dalam menghadapi ujian nasional dan mengejar universitas. Sebelum ujian nasional, kami les privat dengan guru yang sama. Saat berjuang mengejar universitas, kami masuk dalam bimbingan belajar yang sama pula. Jurusan yang kami incar memang berbeda, tapi universitas yang kami tuju sama.


Luthfi mengincar jurusan teknik perminyakan, sedangkan saya mengincar jurusan teknik mesin. Sebenarnya, motivasi saya untuk masuk teknik mesin berasal dari film. Saya terinspirasi setelah menonton film Iron Man. Saya terkagum-kagum dengan tokoh utamanya yang merupakan seorang engineer handal yang dapat menciptakan sebuah baju besi yang super canggih. Saya jadi membayangkan diri saya berada di laboratorium pribadi, mengerjakan sebuah mesin canggih atau baju besi yang tidak pernah terpikirkan oleh ilmuwan-ilmuwan lain. Karena itu pulalah tiba-tiba saya jadi punya cita-cita menjadi seorang inventor yang menciptakan mesin-mesin unik dan canggih. Agak konyol memang, tapi ya sudahlah, biarkan saya berkhayal.


Selama belajar di bimbingan belajar, nilai try out saya dan Luthfi selalu bersaing. Yah, sejujurnya, nilai saya selalu kalah dengan Luthfi. Lebih jujur lagi, nilai saya sebenarnya kalahnya memang agak jauh dari Luthfi. Hal itu menbuat saya cukup heran. Guru les kami sama, bimbingan belajar kami sama, frekuensi belajar kami pun kurang lebih juga sama. Kenapa saya selalu tertinggal?


Dibandingkan dengan nilai minimal yang harus dicapai untuk diterima di jurusan dan universitas yang saya inginkan, nilai saya masih sangatlah jauh. Bahkan, setelah melakukan try out untuk kesekian kalinya, nilai saya masih saja jauh dari nilai minimal. Sayapun mulai meragukan kemampuan otak saya.


Saya jadi teringat ketika SMP dulu, saya pernah mendapatkan hasil tes IQ sebesar 114. Wah, saya cukup bangga dengan IQ saya. Tetapi, ketika kelas 3 SMA, saya mengambil tes IQ lagi dan hasilnya adalah 98! Ternyata, IQ saya di bawah rata-rata normal manusia. Yah, memang cuma sedikit sih, tapi tetap saja di bawah. Apakah nilai saya mempresentasikan tingkat IQ saya? Saya juga tidak tahu.


Untuk bisa diterima di fakultas teknik tertentu, calon mahasiswa tidak boleh memiliki cacat mata yang disebut buta warna. Jurusan teknik mesin dan teknik perminyakan memerlukan surat keterang tidak buta warna dari dokter mata. Berarti, saya dan Luthfi harus menjalani tes buta warna agar bisa diterima di jurusan yang kami tuju. Kami sih tenang-tenang saja, sepengetahuan kami, tidak ada yang buta warna di antara kami. Tapi, kenyataan mengatakan lain, Kawan.


Suatu hari, saya mendapat kabar bahwa Luthfi sudah menjalani tes buta warna. Hasilnya sungguh mengejutkan, ternyata Luthfi mengidap buta warna parsial. Saya tidak tahu dengan apa yang dimaksud dengan buta warna parsial. Saya hanya tahu bahwa Luthfi sudah terbukti mengidap buta warna dan itu berarti Luthfi tidak bisa diterima di jurusan idamannya, yaitu teknik perminyakan.


Saya tidak tahu bagaimana reaksi Luthfi terhadap hasil yang mengejutkan ini karena kami sedang jarang bertemu. Tidak dapat saya bayangkan rasanya tidak bisa masuk ke jurusan yang diidamkan karena dibatasi oleh takdir. Luthfi sudah ditakdirkan untuk mengidap buta warna parsial sejak lahir. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubahnya. Yang bisa dilakukannya hanyalah menerima kenyataan dan beralih ke jurusan lain.


Saat itu, universitas target saya dan Luthfi membuka sebuah jalur penerimaan mahasiswa baru yang disebut dengan jalur undangan. Jalur undangan tidak membutuhkan tes apapun. Jalur ini hanya mengharuskan calon mahasiswa untuk mengirimkan data nilai-nilai dari kelas 1 hingga 3 SMA. Kami memutuskan untuk mengambil jalur undangan. Luthfi melamar untuk masuk ke jurusan bisnis dan manajemen, sedangkan saya melamar untuk masuk ke jurusan teknik mesin


Tibalah saat pengumuman jalur undangan untuk universitas idaman saya dan Luthfi. Sebuah kabar baik mendatangi sepupu saya ini, Luthfi diterima di jurusan bisnis dan manajemen di universitas idamannya. Sebaliknya, kabar buruk menampar saya tepat di wajah. Saya tidak diterima untuk masuk ke teknik mesin melalui jalur undangan.


Sungguh beruntung Luthfi, walaupun tidak bisa diterima di jurusan idamannya, setidaknya dia bisa berkuliah di universitas idamannya. Kini, Luthfi hanya tinggal mengurus pendaftarannya secara lebih lanjut dan bisa memulai perkuliahan awal. Sedangkan saya, saya masih harus berjuang untuk mengejar universitas incaran saya. Saya hanya bisa turut senang akan keberhasilan teman seperjuangan saya.


Waktu terus berjalan dan sampailah saya pada saat SNMPTN akan diadakan. Saya sangat bimbang apakah harus tetap mengejar universitas idaman saya apa harus mengganti target universitas saya. Saat itu, universitas target saya tidak membuka jalur mandiri sehingga satu-satunya kesempatan saya untuk masuk ke sana adalah dengan memilih universitas itu di SNMPTN. Tapi ada satu masalah, saya merasa nilai minimal yang harus saya capai terlampau tinggi. Apalagi melihat nilai try out saya yang mampu membuat saya menepuk dahi.


Saya masih punya universitas target kedua. Universitas tersebut masih akan membuka jalur mandiri sehingga peluang masuk ke sana lebih besar. Jika saya memilih universitas target utama saya saat ini dan ternyata gagal, saya hanya punya satu kali kesempatan lagi untuk mencoba masuk universitas cadangan saya. Peluang saya bisa diterima di universitas target utama saya maupun yang cadangan akan sama-sama kecil. Kalau saya gagal dua-duanya, saya mau berkuliah di mana? Sedangkan, apabila saya memilih target universitas cadangan saya yang nilai minimalnya lebih rendah sedikit dari universitas target utama saya, walaupun saya gagal saat ini, saya masih bisa mencoba lagi lewat jalur mandiri. Peluang saya cenderung lebih besar untuk masuk ke target universitas cadangan.


Setelah saya pertimbangkan baik-baik, akhirnya saya memutuskan untuk merelakan target universitas utama saya dengan berat hati dan memilih target universitas cadangan saya pada SNPMTN tahun ini. Hari itu, salah satu mimpi saya lenyap ditelan kenyataan. Bayangan saya bisa berkuliah di kampus idaman yang beratapkan pohon-pohon rindang dan berada di bawah naungan "Sang Gajah" hancur sudah. Saya harus menerima kenyataan dan memilih untuk mencoba masuk ke universitas cadangan. Jika dilihat dari sisi baiknya, sebenarnya universitas cadangan saya termasuk universitas favorit juga. Di sana jugalah ayah dan ibu saya berkuliah dulu.


******


Waktu diadakannya SNMPTN telah tiba. Saya sudah berada di tempat ujian dan sudah duduk di kursi yang sudah disediakan. Tidak lama kemudian, kertas soal dan lembar jawaban komputer dibagikan. 30 menit pertama, saya masih tenang dan mencoba mengerjakan soal Bahasa Indonesia sebaik dan secepat mungkin. Setelah selesai mengerjakan soal Bahasa Indonesia, saya beralih ke soal Bahasa Inggris. Saat itu, otak saya mulai panas dan saya mulai pusing. Soal Bahasa Inggris yang saya hadapi benar-benar di luar dugaan saya. Kata-kata yang digunakan dalam tulisan soal benar-benar sulit dan susah dimengerti maksudnya. Saya menghabiskan sebagian besar waktu yang disediakan untuk mengerjakan soal Bahasa Inggris.


Waktu yang tersisa hanya tinggal 30 menit. Saya panik dan tidak bisa berkonsentrasi. Saya segera beralih ke soal matematika dasar. Saya hampir putus asa dan membanting pensil saya begitu membaca keseluruhan soal matematika dasar. Dari semua soal matematika dasar, saya hanya dapat menjawab sekitar 5 soal. Jawaban-jawaban itu pun saya tidak yakin akan benar.


Tidak lama kemudian, pengawas mengatakan bahwa waktu sudah habis dan kami tidak boleh lagi mengerjakan tes. Semua orang masih curi-curi mengerjakan dan terus berusaha sampai pengawas datang ke meja mereka dan mengambil lembar jawaban mereka. Apa yang saya lakukan? Saya sudah menaruh pensil saya di tempat pensil dan sudah bersiap-siap untuk beranjak dari kursi. Bukannya saya cepat menyerah, tapi saya tidak menemukan soal lain yang bisa saya kerjakan.


Hari itu adalah hari yang suram. Mata pelajaran yang paling mudah dalam tes saja tidak bisa saya kerjakan sampai selesai, bagaimana mata pelajaran yang lain? Esok hari adalah hari kedua SNMPTN, untuk jurusan IPA, mata pelajaran yang akan diujikan adalah biologi, fisika, kimia, dan ilmu modern.......atau apapun itu namanya, saya tidak ingat. Saya tidak berharap banyak dari tes kali ini karena saya tahu betul bagaimana jenis soal-soal yang akan saya hadapi dan saya tahu betul bahwa saya masih belum menguasai cara-cara untuk mengerjakannya.


Keesokan harinya, performansi otak saya dalam mengerjakan tes sangatlah buruk, lebih buruk dari hari sebelumnya. 80% dari keseluruhan soal yang saya hadapi tidak pernah saya jumpai di soal-soal try out ataupun buku kumpulan soal manapun. Alhasil, saya adalah orang pertama yang selesai mengerjakan tes. Bukan karena saya bisa mengerjakan, tapi karena soal yang saya kerjakan terhitung sedikit.


Beberapa minggu kemudian, pengumuman hasil SNMPTN ditampilkan di suatu website. Saya sudah duduk di depan laptop dan siap membuka website pengumuman. Alamat web sudah tertulis di addres bar, saya hanya perlu menekan tombol enter untuk membuka website pengumuman. Saya berdoa sepenuh hati. Tak pernah sebelumnya, tombol enter pada keyboard terasa begitu menyeramkan.


Akhirnya, tombol enter sudah ditekan. Layar laptop berawarna putih, menandakan halaman web pengumuman sedang loading. Halaman web masih terus berwarna putih hingga 3 detik lamanya. Itu adalah 3 detik yang paling lama dalam hidup saya. Akhirnya, muncul sebuah slot yang meminta saya mengetikkan nomor ujian saya. Tidak membuang waktu lagi, saya segera mengetikkan nomor ujian saya dan segera menekan tombol enter. Tebak apa tulisan yang muncul!


"Maaf, Anda belum dapat diterima di universitas dan jurusan yang Anda tuju" itulah yang tertulis pada layar laptop yang seakan-akan menertawakan kegagalan saya. Saya menghela napas panjang, bahu saya seketika melemas, kedua tangan saya menggantung tak bertenaga. Sekitar 10 detik saya mempertahankan posisi saya seperti itu. Ibu saya mengelus kepala saya dan mengatakan, "Nggak papa Dek, masih ada ujian masuk yang lainnya."


Yah, betul masih ada ujian masuk yang lainnya, tapi ini adalah ujian masuk yang peluangnya paling besar. Ketika saya ikut jalur mandiri untuk masuk ke universitas cadangan saya, kuota untuk menerima mahasiswa baru pastilah hanya tinggal sedikit. Peluang saya akan semakin kecil.


******


Waktu terus berjalan, hari ini adalah hari diadakannya tes masuk perguruan tinggi mandiri yang diadakan oleh target universitas cadangan saya. Saya sudah belajar dengan giat untuk dapat melewati tes ini, kesempatan terakhir saya untuk masuk universitas yang saya incar. Saya harus siap dan saya harus percaya pada diri saya sendiri.


Saya ditempatkan di sebuah sekolah negeri di daerah Bulungan untuk mengikuti tes. Saya sudah duduk di dalam sebuah kelas. Seperti biasa, saya akan menghadapi soal bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika dasar. Tak saya duga, saya dapat mengerjakan cukup banyak soal dari ketiga mata pelajaran tersebut. Hati saya terasa sedikit lega mengetahui bahwa soal-soal yang baru saya kerjakan tidak terlalu sulit.


Tiba-tiba pengawas mengatakan bahwa waktu untuk mengerjakan sudah habis. Sayapun membereskan peralatan saya dan keluar dari kelas. Saya tersenyum sedikit saat melangkah keluar. Istirahat akan diberlakukan selama 15 menit. Saya keluar dari pekarangan sekolah dan pergi ke sebuah mini market untuk membeli makanan kecil dan minuman hangat.


Saya punya firasat baik. Saya merasa bahwa, kemungkinan besar, saya akan diterima di universitas target saya lewat jalur ini. Soal-soal yang saya kerjakan tadi relatif mudah dan saya tidak menemukan banyak masalah dalam mengerjakannya.


15 menit sudah lewat, saya kembali ke ruang kelas tadi dan duduk di tempat yang sama. Dengan cukup percaya diri, saya menerima soal-soal mata pelajaran biologi, fisika, dan kimia dari pengawas. Saya meraut pensil saya dan menyiapkan peralatan tulis lainnya. Kemudian, saya buka halaman pertama soal biologi.


Saya berani bertaruh bahwa saya adalah orang yang paling cepat membolak-balikkan halaman soal dalam kelas itu. Kenapa? Karena saya sibuk mencari-cari soal yang paling mudah untuk dikerjakan. Kenyataannya, hampir tidak ada soal yang mudah untuk dikerjakan dalam kumpulan-kumpulan soal yang ada di tangan saya. Jika kamu pikir bahwa soal SNMPTN sudah sangat sulit untuk saya, yang ini jauh lebih gila lagi. Bayangkan, jumlah soal yang dapat saya kerjakan dapat dihitung dengan jari tangan. Tidak sedikitpun saya menyangka bahwa soal biologi, fisika, dan kimia akan sesulit ini.


Tangan kiri saya senantiasa menopang dagu, pipi, dan dahi saya selama 15 menit pertama. Soal-soal yang saya jumpai benar-benar asing bagi saya. Padahal, seharusnya soal-soal yang muncul memiliki tipe atau pola yang seragam setiap tahunnya. Kalau diibaratkan, selama ini saya belajar tentang bagaimana manusia bernapas, tapi soal yang ditanyakan adalah bagaimana tumbuhan melakukan fotosintesis. Tidak ada hubungannya.


Setelah tes selesai, saya keluar dari kelas dengan murung. Pelangi yang tadi pagi mengawali hari saya sudah hilang tak berbekas, digantikan oleh awan gelap yang mengguyur saya dengan hujan deras. Harapan saya hampir pupus. Satu-satunya tali yang mengikat saya dengan harapan masuk universitas incaran saya adalah kenyataan bahwa masih ada Tuhan yang dapat memungkinkan apapun yang tidak mungkin. Maaf ya, bukannya saya seorang yang pesimis, hanya saja soal-soal yang bisa saya kerjakan benar-benar sedikit. Saya tidak berani menjawab asal-asalan karena jika jawaban saya salah, maka hal itu akan mengurangi poin dari jawaban saya yang benar.


Beberapa hari kemudian, pengumuman hasil tes dapat dilihat di sebuah website. Saya menyempatkan diri untuk berdoa sepenuh hati agar Tuhan berbaik hati untuk membiarkan saya lulus tes masuk universitas incaran saya. Saya yakin Tuhan akan memberikan yang terbaik bagi saya. Meskipun saya tidak diterima di universitas idaman saya, setidaknya saya ingin bisa berkuliah di universitas negeri favorit. Saya ingin kampus saya adalah kampus tempat ayah dan ibu saya bertemu. Memikirkan itu semua saya mulai optimis dan tersenyum sedikit. Saya menyiapkan mental saya, memasukkan nomor ujian, dan menekan tombol enter. Keluarlah sebuah tulisan yang mengejutkan hati saya!


"Maaf, Anda tidak diterima di jurusan yang Anda tuju", itulah tulisan yang tampil di layar laptop. Sensasi penolakan kembali menyeruak dalam hati saya. Kamu pernah ditolak oleh orang yang kamu sukai? Nah, rasanya kurang lebih seperti itu, hanya saja, sedikit lebih parah. Perasaan sedih, kecewa, lelah, kesal, dan marah bercampur aduk dalam hati saya.


Kembali, bayangan saya bisa berkuliah universitas favorit dihancurkan oleh kata "Maaf". Lenyap sudah harapan saya untuk bisa menyandangkan "Sang Jaket Kuning" di atas bahu saya.


Sungguh saya bingung saya harus berkuliah di mana..Universitas cadangan saya sudah habis. Sebenarnya, masih ada satu lagi nama universitas yang mengiang-ngiang di kepala saya. Sebuah universitas yang memiliki jurusan yang saya inginkan pertama kali, yakni psikologi.


Saya segera mencari tahu apakah universitas itu membuka jalur mandiri untuk menerima mahasiswa-mahasiswa baru. Setelah mencari informasi, saya mengetahui bahwa universitas tersebut masih membuka jalur mandiri. Saya hampir bersorak-sorai setelah mengetahui informasi tersebut. Tapi, kenyataan masih saja memiliki cara lain untuk menampar saya.


Ternyata jalur mandiri universitas tersebut bukan berupas tes tertulis. Pendaftar hanya cukup mengirimkan berkas hasil SNMPTN. Yah, kamu tahu sendiri, nilai SNMPTN saya adalah nilai tes terburuk yang pernah saya dapatkan. Kenapa? Kenapa harus berkas SNMPTN? Saya lebih memilih mengikuti ujian sekali lagi.


Saya tidak tahu apa yang sudah Tuhan rencanakan untuk saya. Yah, siapa tahu saya bisa diterima di universitas itu secara ajaib. Sayapun mencoba mengirimkan berkas SNMPTN saya ke universitas, setengah berharap akan diterima.


Waktu demi waktu berlalu, tibalah hari pengumuman hasil seleksi jalur mandiri dari universitas cadangan saya yang kedua. Sekali lagi, saya duduk di depan laptop, ingin melihat apakah kali ini kenyataan memberikan saya madu atau kembali menampar wajah saya dengan kata "maaf". Rasanya, saya sudah mulai terbiasa dengan atmosfer ketika akan melihat hasil seleksi. Saya kembali menekan tombol enter yang belakangan ini mulai akrab dengan saya.


Sayang sekali, Kawan, kata "maaf" kembali muncul dihadapan saya. Jujur saja, saya tidak terlalu terkejut ataupun kecewa melihatnya. Memang sejak awal saya tidak yakin dengan nilai SNMPTN saya. Dengan ini, secara resmi, saya sudah ditolak oleh 3 universitas ternama.


Dengan semangat pantang menyerah, saya kembali mencari universitas yang belum saya coba. Sejujurnya, tidak ada lagi nama universitas yang terbersit di kepala saya. Namun, secara tak sengaja, saya menemukan sebuah katalog dari sebuah universitas swasta di Bandung. dengan setengah hati, saya membuka katalog tersebut dan melihat daftar jurusan yang ada. Ada sebuah jurusan dengan judul "Teknik Industri".


Saya ingat, nama jurusan ini dulu pernah saya pertimbangkan untuk saya ambil di universitas target saya dulu. Tapi setelah mendengar apa yang dipelajari di jurusan tersebut, saya segera mengurungkan niat saya dan membuang jurusan ini dari daftar jurusan yang saya incar. Tak pernah terpikirkan nama jurusan ini akan kembali ke benak saya.


Dari semua jurusan teknik yang ada, saya hanya tertarik dengan dua jurusan, yaitu teknik sipil dan teknik industri. Walaupun tidak ada teknik mesin, setidaknya, teknik industri masih memiliki hubungan dekat dengan teknik mesin. Dilihat dari segi lapangan kerja, lulusan teknik indsutri juga memiliki cukup banyak lapangan kerja. Saya berpikir, daripada saya tidak kuliah sama sekali dan menganggur selama setahun, lebih baik saya coba masuk ke universitas ini dan berkuliah di jurusan teknik industri.


Akhirnya, sayapun mencoba mendaftar dengan pilihan jurusan utama teknik industri dan jurusan cadangan teknik sipil. Kabarnya, tes untuk masuk universitas swasta tidak sesulit tes untuk masuk universitas negeri. Ternyata, kabar itu benar, baik soal bahasa maupun soal perhitungan yang saya hadapi sebagian besar dapat saya kerjakan dengan baik. Sayapun keluar dari ruang tes dengan perasaan lega.


*****


Hari pengumuman hasil tes sudah tiba. Oh, ternyata kali ini sistem pengumumannya tidak dengan memasukkan nomor ujian. Saya hanya perlu mencari nama saya di daftar nama calon mahasiswa yang diterima. Jika saya menemukan nama saya, maka saya diterima. Jika saya tidak menemukan nama saya, maka saya ditolak. Saya tidak perlu mengalami perang batin untuk menekan tombol enter keramat itu.


Halaman pengumuman sudah terbuka. Terlihat ada sekitar belasan halaman yang memuat daftar nama calon mahasiswa yang diterima. Saya dengan sabar mencari-cari nama saya dalam daftar. Jantung saya berdebar begitu kencang.


Ketika saya sudah sampai pada halaman ke-7, tiba-tiba telepon rumah berbunyi. Jujur saja, sebenarnya saya enggan mengangkatnya. Bisa-bisanya telepon masuk di tengah ketegangan ini. Tapi karena saya sednag sendiri di rumah, mau tidak mau, saya harus mengangkat telepon.


Terdengar suara ibu saya dari balik telepon, "Selamat ya Dek ('Adek' adalah panggilan saya di rumah, maklum anak bungsu), Adek diterima!" Seketika, senyum tersungging di wajah saya, satu tinju saya terangkat ke atas, dan saya melompat-lompat dengan girang. Saya terlihat seperti bayi besar yang melompat kegirangan setelah mendapatkan sebungkus permen. Ternyata, nama saya berada pada halaman ke-12 dari daftar nama calon mahasiswa tersebut.


Setelah menutup telepon, saya segera berlari ke dapur. Lho, kenapa ke dapur? Karena di sanalah Mbok Inem berada. Masih ingat Mbok Inem, pengasuh setia saya sejak bayi? Saya membuka pintu dapur dengan cukup keras. Saya mendapati Mbok sedang memotong bawang sambil menonton televisi.


"Mbok, aku diterima kuliah di Bandung!" seru saya sambil memeluk Mbok berikut bawang-bawangnya. Mbok pun balas memeluk saya sambil mengucap syukur. Tak henti-hentinya Mbok mengucap syukur kepada Tuhan sambil menepuk-nepuk punggung saya. Setelah Mbok melepas pelukannya, saya lihat matanya berkaca-kaca, entah karena ikut senang saya bisa berkuliah atau karena harus melepas saya berkuliah di luar kota. Setelah itu, Mbok memberikan saya beberapa nasihat dan mengingatkan saya untuk tidak lupa bersyukur kepada Tuhan. Begitulah, seluruh momen dramatis itu diselimuti oleh bau bawang yang menyengat.


Akhirnya. Akhirnya, saya diterima. Kini, saya bisa dengan bangga menyandangkan bunga kuning berkelopak lima di dada saya. Ya, saya merasa senang. Senang? Kenapa? Apakah saya diterima di jurusan yang saya minatkan? Tidak. Apakah saya diterima di universitas yang saya inginkan? Tidak. Lalu, kenapa saya senang?


Kawan, inilah yang disebut perspektif. Indah atau tidaknya segala sesuatu adalah tergantung pada dari mana kamu memandangnya. Okay, sekarang kamu melihat bahwa jurusan saya jauh dari keinginan saya. Keinginan saya adalah memberikan kenyamanan dan membantu orang lain secara psikologis. Saya ingin menjadi psikolog. Tapi, kini saya berkuliah di jurusan teknik industri yang jelas-jelas jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan psikologi.


Saya mencoba untuk melihat kenyataan ini dari sudut pandang yang positif. Apabila saya berkuliah di teknik industri, pekerjaan saya nantinya adalah menjadi konsultan. Secara idealis, saya akan menjadi orang yang bertugas untuk memperbaiki segala sesuatu menjadi lebih baik. Pada akhirnya, saya akan tetap membantu orang lain kok. Bedanya, jika saya menjadi psikolog, saya akan membantu orang secara psikologis, hasilnya tergantung pada klien saya sendiri, dia mau berubah atau tidak. Jika saya menjadi konsultan, saya bisa membantu perusahaan yang terdiri dari ratusan orang secara teknis dan nyata, hasilnya adalah tergantung dari solusi yang saya tawarkan, solusi itu cocok atau tidak dengan situasi yang dihadapi. Tidak jauh berbeda kan?


Jadi, daripada saya mengeluh dan meratap karena merasa salah jurusan, lebih baik saya jalani dengan sabar dan tekun. Toh, pada akhirnya saya tidak akan rugi mendapat ilmu tentang teknik. Lagipula, saya tidak belajar tentang segalanya dalam kuliah kok. Saya bisa belajar dari buku, teman, pengalaman, dan masih banyak lagi. Keadaaan ini bisa saya lihat sebagai musibah, tapi hanya dengan mengubah sudut pandang saja, saya dapat melihat keadaan ini sebagai peluang sukses. Sama halnya dengan cerita tentang rajutan yang terlihat jelek dari satu sisi tapi terlihat indah dari sisi yang lain.


Dengan ini, saya berpesan pada seluruh remaja di Indonesia yang hendak memilih universitas dan jurusan, ikutilah kata hatimu, Kawan. Kamu harus bisa membedakan, "Apa yang kamu suka" dengan "Kamu ingin jadi apa". Berusalah dengan keras untuk mengejar universitas dan jurusan yang kamu impikan. Namun, apabila kenyataan tidak sejalan dengan kehendakmu, maka lihatlah segala sesuatunya dari sudut pandang yang tepat dan jalanilah hidupmu apa adanya.


Percayalah bahwa Tuhan sedang "merajut" pola kehidupanmu. Mungkin kamu melihat bahwa pola hidupmu kacau dan berantakan. Tapi, ketika kamu bisa melihat pola sebenarnya yang sedang Tuhan "rajut" untukmu dari sudut pandang yang tepat, kamu akan sadar bahwa pola hidupmu sudah indah.


Tunggu dulu, Kawan, cerita ini belum selesai. Saya masih akan menceritakan perjuangan saya bertahan "hidup" dalam jurusan yang saya pilih ini. Tapi, cerita itu akan saya ceritakan pada pos selanjutnya.



 
 
 

Comments


RECENT POSTS:
  • b-facebook
  • Twitter Round
  • Instagram Black Round
bottom of page