top of page
Search

Ketika Aku Bertemu dengan Tuhan

  • Indra Ajidarma Sadewo
  • Jan 13, 2017
  • 10 min read

Halo, Kawan! Sebelum kamu membaca cerita ini, saya ingatkan kepadamu bahwa saya menulis cerita ini dari pandangan saya sebagai seorang muslim. Saya tahu kita memiliki agama dan konsep mengenai Tuhan yang berbeda-beda. Namun, berhubung saya adalah seorang muslim, saya akan menggunakan pandangan Islam mengenai Tuhan dalam cerita ini. Saya sangat merekomendasikan kamu yang muslim untuk membaca cerita ini agar kamu bisa semakin mengenal Tuhanmu. Sedangkan, bagi yang non-muslim tidak ada salahnya kamu juga membaca cerita ini guna menambah wawasanmu. Selamat membaca, Kawan! :)


Saya telah terlahir sebagai seorang muslim. Saya lahir di dunia tanpa pengetahuan apapun mengenai agama maupun Tuhan, tapi saya sudah dinobatkan menjadi seorang muslim. Kenapa? Apakah agama bersifat genetik? Apakah hanya karena saya anak seorang muslim, saya juga sudah pasti seorang muslim? Baik, biar saya perjelas, saya bukan seorang ustadz, bukan seorang hafiz (penghafal Al-Qur'an), bukan seorang ulama, bukan seorang pakar agama, ataupun ahli kitab. Saya tidak tahu jawaban pasti mengenai hal tersebut. Saya hanya tahu bahwa seseorang dianggap beragama apabila dia memercayai adanya Tuhan yang diyakininya dan mengamalkan apa yang dipercayainya sebagai perintah Tuhan.


Bagaimana kamu dapat mengatakan dirimu seseorang yang beragama tapi kamu tidak pernah menyembah Tuhanmu? Bagaimana kamu dapat mengatakan bahwa dirimu beriman tapi kamu tidak kenal dengan Tuhanmu? Anggaplah saya adalah orang yang tidak beragama. Lalu saya bertanya kepadamu, "Hey, siapakah Tuhan?". Apabila kamu menjawab, "Tuhan adalah yang menciptakan alam semesta dan memberikan kehidupan bagi kita semua". Saya bisa menjawab, "Katakanlah memang Tuhan yang menciptakan alam semesta ini. Tapi siapa? Siapakah Tuhan yang kamu bicarakan ini? Bagaimana kamu bisa mengatakan itu apabila kamu belum pernah melihat Tuhan?". Baik, saya beri kamu waktu 2 menit untuk berpikir......................Terpikirkah jawaban? Tidak? Mari simak cerita saya dalam mengenal Tuhan agar kamu memiliki setidaknya satu jawaban atas pertanyaan tersebut.


Sejak saya pertama kali mulai sekolah hingga mencapai SMA, saya bersekolah di sekolah bernafaskan Islam. Saya sudah diajarkan untuk membaca tulisan Arab sejak kecil. Saya juga diajarkan untuk menghapal surat-surat pendek dalam Al-Qur'an. Setiap awal dan akhir kelas kami selalu disuruh untuk berdoa dan membaca salah satu surat dalam Al-Qur'an. Saya juga diajarkan untuk menunaikan shalat.


Shalat, perintah Allah yang paling utama. Sebuah kewajiban yang diberlakukan bagi seluruh umat Islam dalam kondisi apapun dan dalam situasi apapun. Sesibuk apapun, kamu harus tetap shalat. Kamu sakit, kamu harus tetap shalat. Kamu tak dapat bergerak, Allah tetap mewajibkanmu untuk shalat walaupun hanya dengan kedipan mata. Kamu hanya diperkenankan oleh Allah untuk tidak menunaikan shalat apabila kamu sudah kehilangan kesadaran sepenuhnya.


Saya sudah terbiasa untuk melakukan ibadah sejak kecil seperti shalat, mengaji, berdzikir, berdoa, puasa, dan lain sebagainya. Ternyata, ada sesuatu yang krusial namun terlupakan. Saya tahu bacaan shalat, saya tahu gerakan shalat, saya tahu cara membaca Al-Qur'an, saya tahu ini-itu mengenai ibadah, tapi saya tidak tahu apa makna dari itu semua. Semua orang mengatakan bahwa ibadah adalah sarana untuk bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita. Tapi setahu saya, dengan mengatakan Alhamdulillah saja saya sudah dianggap bersyukur kok. Saya sekedar hapal bacaan beberapa surat dalam Al-Qur'an, tapi saya tidak tahu apa makna sebenarnya yang terkandung dalam tiap bacaan tersebut. Tetapi, hal tersebut tidaklah terlalu memengaruhi pikiran saya hingga saya kuliah.


Ketika saya mulai kuliah, saya sudah hidup seorang diri. Tidak ada lagi suruhan dari ibu saya untuk menunaikan shalat atau ibadah lainnya. Awalnya, saya masih terus melakukan shalat. Terkadang, saya masih berdzikir dan berdoa. Tapi, lama kelamaan, saya semakin jarang beribadah. Pertama-tama saya mengurangi dzikir, kemudian saya mulai jarang berdoa hingga akhirnya saya hanya melakukan shalat tanpa diikuti dzikir dan doa. Shalat saya pun setiap hari belum tentu bisa mencapai 5 waktu.


Semakin lama, saya semakin jarang melakukan shalat. Bahkan, saya mulai sering membut alasan untuk meninggalkan shalat. Setiap waktu shalat Isya, saya terus menunda-nunda hingga akhirnya saya tertidur dan terus tidur hingga pagi tiba. Ketika waktu subuh, bahkan saya tidak memasang alarm untuk membangunkan saya saat subuh. Ketika waktu dzuhur, saya sibuk kuliah dan melewatkannya dengan alasan sedang mengikuti kuliah, padahal kuliah saya dimulai jam 1 sedangkan saya bisa shalat mulai dari jam 12. Ketika waktu ashar, saya sering melewatkannya dengan alasan lelah setelah seharian mengikuti kuliah. Ketika waktu magrhib tiba, saya sering pura-pura lupa dan hanya mengatakan "Ya sudahlah" ketika tiba-tiba adzan Isya berkumandang.


Ketika saya mencapai semester 5, saya mulai sibuk dengan berbagai kegiatan praktikum, tugas kelompok, kegiatan organisasi, kegiatan komunitas, dan lain sebagainya. Saya seringkali, bahkan hampir selalu, melewatkan shalat dengan alasan tidak sempat. Kata-kata "Ya sudahlah" semakin sering saya katakan dalam hati setiap saya mendengar adzan berkumandang. Bukan main, saya semakin merasa ringan-ringan saja ketika melewatkan shalat. Sepertinya setan sudah berhasil mengubah saya dari orang yang bertakwa menjadi orang yang berani mengacuhkan Tuhan. Saya semakin sering meninggalkan shalat hingga pada suatu titik, saya benar-benar berhenti shalat. Saya hanya menunaikan shalat Jumat saja. Bukan karena patuh pada Tuhan, tapi karena tuntutan budaya dan kebiasaan.


Seiring dengan bertambahnya umur, pikiran saya semakin berkembang. Tak disangka, perkembangan pikiran saya telah mengarahkan saya ke jalan yang sesat. Sebagai mahasiswa, saya selalu dituntut untuk berpikir kritis. Pola pikir saya semakin mengarah ke rasionalitas. Saya percaya dengan apa yang terbukti secara ilmiah dan mulai ragu dengan hal-hal yang hanya dapat diraih sebatas kepercayaan.


Saya memiliki sebuah alasan khusus mengapa saya berhenti shalat. Selama ini, saya hanya melakukan shalat sebatas kewajiban. Saya menumpukan tangan saya di dada, melakukan rukuk, tegak kembali, sujud, duduk, sujud kembali, berdiri, begitu terus berulang-ulang. Raga saya melakukan gerakan shalat, tapi pikiran saya memikirkan hal lain. Saya mengucapkan doa-doa dan bacaan shalat tanpa mengetahui makna apa yang terkandung di baliknya. Saya seperti hanya menghadap Tuhan untuk ujian praktik hapalan bacaan shalat. Hal itu membuat saya justru merasa kosong ketika menunaikan shalat. Bukan kosong karena lega, tapi kosong karena sepi. Saya merasa seperti sedang menyembah udara kosong. Saya mulai bertanya-tanya, "Siapakah Tuhan? Siapakah Allah yang selama ini saya sembah?".


Saya tahu bahwa Allah-lah yang telah menciptakan alam semesta ini, termasuk saya. Dialah yang telah memberikan kehidupan kepada semua makhluk hidup di dunia. Tapi, tetap, saya masih terus bertanya, "Siapakah Tuhan?". Siapakah Dia yang menciptakan alam semesta ini? Apakah yang telah dilakukan-Nya? Mengapa utusan-Nya begitu banyak apabila Dia begitu berkuasa untuk memberitahukan kebenaran kepada seluruh umat manusia? Mengapa Dia menciptakan begitu banyak malaikat untuk mencabut nyawa, menaburkan rizki, mencatat perbuatan manusia, dan lain-lain jika Dia bisa melakukan semua itu semudah menjentikkan jari? Dia memiliki nama Yang Maha Adil, tapi mengapa saya melihat begitu banyak ketidakadilan yang terjadi di dunia ini? Dia memiliki nama Yang Maha Pengampun, tapi mengapa adzab-Nya (hukuman-Nya) kepada pendosa begitu mengerikan? Dia memiliki nama Yang Maha Penyayang, tapi mengapa hamba-hamba-Nya harus tunduk dan takut kepada-Nya? Bukankah seharusnya tunduknya seorang hamba didasari oleh kecintaannya pada Sang Pencipta?


Saya memiliki ribuan pertanyaan sejenis di atas. Saya merasa bahwa tidak ada gunanya saya melakukan shalat apabila saya tidak mengenal siapa yang saya sembah. Oh ya, tentu saja, sayapun merasa bersalah ketika meninggalkan shalat. Saya tahu bahwa hanya karena saya belum mengenal Sang Pencipta bukan berarti saya bisa berhenti menyembahnya. Tidak ada dan tidak akan pernah ada alasan yang tepat untuk meninggalkan shalat (kecuali kehilangan kesadaran). Saya tahu bahwa saya sedang menumpuk dosa. Tapi tetap saja, hati saya terus menolak untuk melakukan shalat. Hati saya terus bertanya, "Siapakah Allah? Siapakah dirimu, Ya Tuhan? Hamba ingin mengenalmu".


Saya mulai mencoba mencari tahu mengenai identitas Tuhan. Saya mencoba berdiskusi dengan salah seorang teman saya yang memiliki wawasan yang cukup luas mengenai Islam. Saya berdiskusi hingga berjam-jam lamanya. Saya sedikit mendapatkan jawaban mengenai Tuhan, tapi pertanyaan saya masih saja belum terjawab. Saya mulai berniat mencari dari buku dan internet. Namun, segala informasi dari itu semua belum tentu benar. Saya takut saya mengenal Tuhan dari sumber yang salah, maka saya tidak terlalu banyak mencari informasi dari sana.


Hari-demi hari terus saya lalui tanpa melakukan shalat. Saya masih saja belum mengenal Tuhan. Mungkin jawaban dari pertanyaan saya ada pada sebuah buku yang terus tersimpan rapi di dalam laci meja saya dan sangat jarang saya sentuh, buku yang tidak boleh dibawa dengan posisi lebih bawah dari pusar, buku yang menjadi panduan hidup manusia. Yakni, Kitab Suci Al-Qur'an.


Saya dengar bahwa makna dari ayat-ayat di dalam Al-Qur'an terkadang tidak dapat dicapai oleh logika manusia. Bahkan, ada beberapat ayat yang hanya Allah yang tahu maknanya. Saya sudah banyak melihat tindak kriminal dan penyalahgunaan ayat-ayat Al-Qur'an yang dilakukan oleh manusia karena salah mengerti makna dari ayat-ayat tersebut atau hanya mempelajari setengah-setengahnya saja. Oleh karena itu, saya takut untuk membaca Al-Qur'an. Saya sungguh takut salah mengerti makna dari ayat-ayat Al-Qur'an. Saya lebih memilih untuk membaca buku tafsir Al-Qur'an yang sangat tebal dan banyak daripada salah mengerti makna dari ayat-ayat Al-Qur'an.


Begitulah, saya terdampar di dunia tanpa tujuan, tanpa panutan, tanpa sandaran, dan tanpa arah yang jelas. Hingga, suatu hari, hidup menampar saya dengan keras. Saya dirundung banyak masalah yang datang bertubi-tubi. Belum selesai saya menyelesaikan masalah yang satu, masalah lain sudah datang dan duduk di kepala saya. Semakin lama, saya semakin tertekan. Saya mengangkut terlalu banyak beban pikiran setiap hari.


Jujur saja, saya mengalami stress dengan semua masalah tersebut. Saya sulit tidur, saya sulit untuk berkonsentrasi dalam mengikuti kuliah, saya lebih memilih diam dan menyendiri daripada berinteraksi dengan orang lain, saya tidak dapat menikmati hobi yang paling saya senangi sekalipun. Pandangan saya akan cerahnya matahari telah pudar, diganti menjadi awan hitam yang siap mengguyur saya dengan hujan dan menyambar saya dengan petir. Saya merasa kesepian, sendiri, tidak ada bahu untuk bersandar. Saya frustrasi karena tidak dapat menyelesaikan masalah yang, mayoritas, diciptakan oleh pikiran saya sendiri.


Akhirnya, pada akhir semester, kesehatan saya memburuk. Saya sering mengalami diare tanpa sebab, saya jadi sangat mudah mengalami mabuk darat, saya sering mengalami sakit kepala dan mual tanpa sebab yang jelas. Untunglah, pekan UAS telah berakhir. Liburan telah tiba, saya kembali ke rumah saya tersayang dan bisa beristirahat sepuasnya. Saya kembali menemukan kehangatan pelukan Sang Ibu dan ciuman lembut di kepala dari Sang Ayah.


Ibu saya adalah orang yang selalu mengingatkan saya untuk melakukan shalat. Saya seringkali menunda-nunda perintahnya dan melewatkan shalat. Kini, beliaupun menyadari bahwa frekuensi saya menunaikan shalat jauh lebih jarang dibandingkan dengan dulu dan, sepertinya, saya merasa ringan-ringan saja melewatkannya. Tapi, beliau tidak henti-hentinya mengingatkan saya untuk terus menunaikan shalat.


Seiring berjalannya waktu, kesehatan saya mulai pulih. Berat badan saya kembali naik (Oke, ini tidak bisa saya katakan sebagai sesuatu yang membanggakan, tapi setidaknya merupakan kemajuan, bukan?). Setelah saya cukup sehat, suatu malam, saya masuk ke kamar ibu saya. Saya merebahkan diri di sampingnya. Saya ceritakan segala masalah yang selama ini membebani diri saya. Saya utarakan semua beban hati yang telah tertimbun tinggi. Mungkin sekitar 2 jam saya dan ibu saya bercakap-cakap mendiskusikan masalah saya. Setelah beliau menanggapi cerita saya yang begitu panjang, rasanya saya menjadi jauh lebih lega. Sungguh suara lembut dan kehangatan perhatian seorang ibu tak tertandingi.


Setelah ibu saya berhasil menenangkan hati saya, beliau memberikan saya sebuah pesan yang tidak pernah akan saya lupakan, "Dek, mungkin kamu sering merasa kesepian dan mengalami stress dalam menghadapi semua masalah kamu karena kamu jauh dari Allah. Kamu tidak punya pegangan. Kamu tidak punya sandaran. Ketika kamu sendirian dan tidak ada seorangpun yang bisa meneman kamu, kamu hanya punya Allah. Shalatlah, dekatkanlah diri kamu kepada Allah, maka Allah akan menolong kamu. Bagaimanapun kamu mengabaikan Allah, Allah tidak akan meninggalkan kamu". Sayapun bangun dari tempat tidur dan mengucapkan terima kasih kepada ibu saya.


Saya kembali masuk ke kamar saya, duduk di tempat tidur dan merenung. Saya memikirkan nasihat dari ibu saya. Selama ini saya sering merasa kurang diperhatikan oleh lingkungan sekitar saya. Banyak orang yang sering mengacuhkan saya lantaran mungkin wajah saya yang kurang bersahabat atau sifat saya yang kurang menyenangkan. Kini saya sadar bahwa selama ini saya telah melakukan hal yang sama kepada Allah. Saya mengacuhkan suara adzan. Saya mengabaikan panggilan Allah. Selama ini, saya tidak memberi perhatian kepada Allah. Padahal, Allah Yang Maha Penyayang menyayangi saya dan ingin dekat dengan saya. Saya telah mengacuhkan Dia yang telah menyayangi saya sepenuh hati. Seketika, sekujur tubuh saya merinding.


Saya segera bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu. Air wudhu telah membasahi tangan, wajah, dan kaki saya. Air tersebut serasa membersihkan raga dan jiwa saya dalam sekejap. Setelah berwudhu, saya segera menunaikan shalat. Saya menunaikan shalat sekhusyuk mungkin. Saya pejamkan mata saya setiap membaca bacaan shalat. Saya resapi setiap bacaan hingga membasahi hati saya yang sudah lama mengering. Saya ucapkan setiap takbir "Allahu akbar" dengan segenap kekaguman akan kebesaran Sang Pencipta. Saya ucapkan setiap shalawat untuk Nabi Muhammad dengan segenap kerinduan dan rasa terima kasih akan jasanya yang begitu besar bagi umat muslim di dunia. Ketika saya bersujud, saya tundukkan kepala saya sedalam-dalamnya, saya tekankan dahi dan hidung saya ke sajadah dengan segenap rasa hormat akan keagungan Sang Penguasa Alam Semesta.


Selepas shalat, saya berdzikir untuk memuji keagungan Allah. Setiap ucapan Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu akbar mengangkat jejak-jejak setan dari dalam hati saya. Kemudian, saya berdoa dengan sepenuh hati untuk memohon pertolongan dan ampunan atas segala kelalaian saya selama ini. Saya angkat kedua tangan saya setinggi bahu, menundukkan kepala, dan mengucapkan setiap doa kepada-Nya dengan suara lirih, hanya bisa didengar oleh saya dan Tuhan. Terakhir, saya membacakan semua surat-surat dalam Al-Qur'an yang saya hapal. Surat Al-Fatihah yang berisi ucapan doa hamba Allah yang memohon untuk diberi petunjuk menuju jalan-Nya, Surat An-Naas yang berisi pernyataan seorang hamba Allah yang berlindung kepada-Nya dari bisikan setan, Surat Al-Falaq yang berisi tentang doa kepada Allah untuk dilindungi dan dijauhi dari segala macam kejahatan, Surat Al-Ikhlas yang membahas betapa besarnya Allah sebagai satu-satunya tempat untuk bergantung dan memohon pertolongan, Surat Al-Kautsar yang berisi tentang perintah Allah untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya, dan Surat Al-'Ashr yang berisi tentang perintah Allah untuk berbuat kebajikan dan saling menasihati dalam kebaikan.


Saya ucapkan setiap huruf dalam pelafalan yang benar, yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Saya bedakan pelafalan huruf-huruf yang biasanya saya samakan bunyinya seperti huruf alif dengan 'ain, huruf za dengan dzal, huruf tsa dengan sin, huruf qaf dengan kaf, dan huruf-huruf lainnya. Seketika, saya merasakan sensasi nyaman yang tak pernah saya rasakan sebelumnya seumur hidup saya. Kehangatan kasih sayang Allah mengalir dalam darah saya. Cerah cahaya-Nya menyinari kegelapan dalam hati saya. Ketika melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an, saya merasa seperti dipeluk dari belakang oleh Allah dan Dia mengatakan, "Jangan kuatir, Aku di sini bersamamu". Saat itulah saya bersujud dan menangis di atas sajadah. Dengan segenap rasa bersalah karena telah mengabaikan-Nya dan rasa syukur karena telah dituntun kembali kepada-Nya, saya memohon ampunan dan mengucapkan syukur kepada-Nya dalam tangis. Air mata saya yang mengandung segala kebusukan dan jejak setan menetes dan membasahi sajadah. Malam itu, saya kembali bertemu dengan Allah, Sang Pencipta Alam Semesta.


Sungguh besar kasih sayang-Nya. Walaupun saya sudah mengacuhkan-Nya selama berbulan-bulan, mengabaikan perintah-Nya, tidak membaca kitab-Nya, tidak memuji rasul-Nya, tidak memohon pertolongan-Nya, tidak sujud kepada-Nya, tidak mendengarkan panggilan-Nya, Dia tetap mencintai saya, tetap menuntun saya kembali kepada-Nya dengan cara-Nya yang luar biasa. Selama ini, saya ingin mengenal Allah. Saya mencari di buku, bertanya kepada teman, mencari informasi di media lainnya untuk mengenal Allah. Tapi saya melakukan kesalahan besar, bagaimana saya bisa mengenal Allah jika saya tidak mendekat kepada-Nya? Hal itu sama saja dengan saya ingin mengenal seseorang hanya dengan melihat akun media sosialnya, membaca profil atau biografinya, dan bertanya kepada temannya, tanpa bertatap muka dengan orang yang ingin saya kenali tersebut. Hanya sebuah logika sederhana, tapi tertutup oleh ilusi prasangka. Terkadang, ada kalanya ilmiah lebih maya dari rohaniah.


Sejak saat itu, saya terus berusaha untuk melakukan shalat wajib dengan baik. Walaupun, sejujurnya, terkadang masih terlewat beberapa kali, saya akan terus berusaha. Inilah jawaban dari semua masalah saya. Ketika emosi saya memuncak, kegalauan melanda, kemarahan meledak, stress menyerang, saya melakukan shalat dan sayapun segera tenang. Saya mendapatkan kenyamanan dan kedamaian yang tak dapat digambarkan oleh kata-kata ketika melakukan shalat dan melantunkan kalimat-kalimat Allah. Walaupun hati saya diserang rasa sepi, saya tahu bahwa Allah tetap bersama saya. Sungguh Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya, sungguh Allah tidak akan mengabaikan hamba-Nya yang memohon pertolongan, dan sungguh Allah akan menuntun hamba-Nya yang ingin mencari petunjuk. Kini, saya tidak mengatakan, "Wahai Tuhan, aku memiliki masalah besar" tetapi "Wahai masalah, aku memiliki Tuhan Yang Maha Besar"


Sekarang kamu sudah mendapatkan satu jawaban untuk menjawab pertanyaan di awal. Jika seseorang bertanya, "Siapakah Tuhan?". Jawablah dengan, "Mendekatlah kepada-Nya, maka kamu akan mengenal-Nya". Tuhan tak dapat dilihat karena tidak semua orang mempunyai mata. Tuhan tidak dapat dipegang karena tidak semua orang memiliki tangan. Kita hanya butuh hati dan pikiran untuk mengenal Tuhan karena semua orang memiliki hati dan pikiran.


Tulisan ini saya persembahkan kepada Mama tersayang yang tak pernah lelah mengingatkan saya untuk beribadah dan telah membantu saya untuk kembali bertemu dengan Tuhan dan, tentu saja, untuk Allah Yang Maha Penyayang yang tetap menyayangi saya ketika saya mengabaikan-Nya dan tetap menuntun saya untuk kembali kepada-Nya.




 
 
 

Commenti


RECENT POSTS:
  • b-facebook
  • Twitter Round
  • Instagram Black Round
bottom of page