top of page
Search

Pita Merah

  • Indra Ajidarma Sadewo
  • Jan 13, 2017
  • 4 min read

Ketika itu, saya masih duduk di bangku SD. Saya lupa kelas berapa pada saat itu. Saya sedang mengikuti pelarajan keterampilan tangan. Setiap anak diberikan gulungan pita berwarna-warni. Kami akan membuat kerajinan tangan cantik yang dibuat dari tiga bilah pita. Bentuknya seperti gambar di bawah ini.

Gulungan pita berwarna-warni diberikan kepada kami. Saya memilih pita berwarna merah dan memotong sebanyak 3 bilah dengan panjang masing-masing kira-kira 30cm. Anak-anak mulai sibuk membuat karyanya sembari dibiming oleh guru-guru yang hadir di sana. Saya mencoba mengikuti langkah-langkah yang dilakukan teman-teman sekelas saya. Nahas, pita saya menjadi kusut dan tak keruan bentuknya.


Di tengah kebingungan saya, seorang guru menegur saya, "Indra, Kamu sudah bisa?". Saya menggeleng kepada guru saya. Guru saya kemudian duduk bersimpuh di samping saya. Beliau membuka simpul hasil karya saya yang berantakan tersebut. Beliau mulai menganyam pita-pita tersebut satu demi satu, satu di atas yang lain, saling bertumpuk hingga tercipta 3 lapis anyaman. Beliau mengajarkan kepada saya caranya langkah demi langkah. Saya terkesima dengan betapa indahnya anyaman tersebut. Guru saya menyuruh saya untuk mencobanya sendiri, kemudian beliau pergi.


Saya mulai mencoba menganyam dengan segenap konsentrasi, seolah tiada siapapun atau apapun yang ada di ruang kelas selain saya dan anyaman saya. Berkali-kali saya gagal, dan bolak-balik melepas kembali anyaman yang sudah saya buat. Tetapi, sekeras apapun saya mencoba, hasil anyaman saya selalu terbelit atau saya lupa langkah-langkahnya. Beberapa lama kemudian, guru saya kembali dan melihat saya masih bersusah payah untuk menganyam. Beliau kemudian duduk di samping saya, kali ini lebih dekat. Beliau mencontohkan kembali cara menganyam pita tersebut dengan sangat pelan sehingga saya bisa menghapal langkah-angkahnya dan mengerti pita mana yang harus bertumpuk dengan pita mana.


Setelah guru saya pergi, saya kembali menganyam. Kali ini saya sudah hapal dan mengerti caranya. Saya yakin saya bisa melakukannya juga. Setelah menganyam beberapa lama, akhirnya saya berhasil menganyam seperti apa yang dilakukan oleh guru saya walaupun hasilnya tidak sebaik beliau. Saya bangga dengan diri saya dan mulai kecanduan menganyam.


Di akhir kelas, guru saya mengatakan untuk menyelesaikan karya masing-masing di rumah dan tidak perlu dikumpulkan. Saya merasa sedikit kecewa ketika kelas berakhir karena karena saya mulai suka menganyamnya.


Sepulang sekolah, saya segera masuk kamar untuk meneruskan anyaman. Saya terkejut sekaligus jengkel ketika melihat anyaman saya sedikit longgar dan rusak karena tertimpa banyak barang bawaan di dalam tas saya. Saya berusaha membetulkan anyaman tersebut, walaupun ada beberapa cacat yang tidak dapat lagi dibetulkan kecuali saya bongkar lagi anyamannya dari awal. Langkah demi langkah saya kerjakan kerajinan tangan tersebut. Saya pikir anyaman tersebut adalah anyaman yang indah dan saya kagum saya dapat membuatnya. Saya sangat menyayangi karya saya tersebut.


Esok hari merupakan hari ulang tahun ayah saya. Ayah saya merupakan figur pahlawan bagi saya waktu saya kecil. Saya memustuskan akan menjadikan karya saya itu sebagai hadiah ulang tahun untuknya, seperti hadiah yang seseorang berikan kepada seorang pahlwan super setelah diselamatkan dari bahaya. Tentu beliau akan senang menerimanya.


Saya bertekad untuk menyelesaikan anyaman tersebut malam itu juga. Ketika sudah waktunya tidur, saya tetap mengerjakan anyaman saya di balik selimut. Meskipun kerja saya lambat, tapi saya terus mengerjakannya.


Pagi telah tiba dan saya dibangunkan ibu saya untuk segera bersiap pergi ke sekolah. Saya menengok ke samping tempat tidur dan mengambil anyaman saya. Anyaman tersebut akhirnya selesai. Pita merah saling membelit dan menumpuk, membentuk sebuah karya tangan yang sangat indah (bagi saya). Sungguh saya bangga dengan hasil jerih payah saya dan tidak sabar untuk memberikannya kepada ayah saya. Setelah selesai berpakaian, saya jalan dengan langkah riang menuju ke ibu saya. Rambut saya yang berbentuk seperti batok kelapa dibelah dua berkibar-kibar karena saya begitu riang. Saya pamerkan karya saya kepada ibu saya dengan bangga. Ibu saya memuji anyaman saya yang indah itu, hidung saya terbang semakin tinggi. Saya berencana untuk memberikan anyaman saya kepada ayah saya pada saat beliau pulang dari kantor nanti.


Jam dinding telah menunjukkan pukul 7 malam. Sebentar lagi ayah saya akan pulang. Saya Inspeksi kembali anyaman saya dengan teliti seperti operator pabrik yang sedang menginspeksi barang jadi yang akan dikirimkan ke pelanggan. Jika diteliti lagi, sebenarnya anyaman tersebut tidak bisa dibilang indah juga. Bagian bawah rapat dan rapi karena guru saya yang membuatnya, bagian tengah agak longgar karena saya masih belajar menganyamnya, dan bagian atas bentuknya agak amburadul karena saya menganyamnya sambil mengantuk.Tetapi, yang penting saya telah membuatnya dengan sepenuh hati.


"Tin! Tin!", suara klakson mobil. Bunyi itu berarti ayah saya sudah pulang ke rumah. Ketika ayah saya masuk ke dalam rumah, saya segera berlari dari kamar menuju ke ruang makan. Saya sodorkan anyaman saya sambil tersenyum lebar kepada ayah saya yang kebingungan. "Selamat ulang tahun Pak, ini buat Bapak", kata saya (Ya, saya memanggil ayah saya dengan panggilan "Bapak" sejak kecil, bukan karena saya bersifat sangat formal pada ayah saya).


Ayah saya tersenyum dan mencium kepala saya seraya mengatakan, "Terima kasih, Dek". Beliau mengagumi hasil jerih payah saya. Beliau meneliti tiap bagian anyaman saya dan beliau tersenyum bangga. Saya hanya tersenyum di depannya. Ibu saya pun tersenyum menyaksikannya.


Memberikan anyaman yang terbuat dari pita merah tersebut kepada ayah saya adalah pertama kalinya saya memberikan sesuatu untuk orang lain. Ada perasaan bangga dan senang yang asing dalam hati saya. Ayah saya mengikat pita merah, hadiah dari saya, di kaca spion tengah mobilnya. Jadi, ke manapun ayah saya pergi, Sang pita merah terus mengikutinya. Hingga sekarang, pita merah tersebut masih tergantung di kaca spion tengah mobilnya. Beliau menjaganya dan menjadikannya hadiah abadi untuk terus mengenang momen indah itu............walaupun sekarang bentuk pita tersebut sudah mirip kayu bakar.




"Sometimes, you will never know the true value of a moment until it becomes a memory"

- Unknown


 
 
 

Comentarios


RECENT POSTS:
  • b-facebook
  • Twitter Round
  • Instagram Black Round
bottom of page