top of page
Search

Manusia Makhluk "Sosial"?

  • Indra Ajidarma Sadewo
  • Jan 13, 2017
  • 7 min read

Sumber : www.theglobeandmail.com


Saat itu hujan turun dengan deras di langit Bandung. Saya sedang mendorong motor saya yang kehabisan bensin ke pinggir jalan dengan susah payah. Ban belakang motor saya bocor tiba-tiba yang membuat motor saya semakin berat untuk didorong, ditambah lagi dengan jalan yang sedikit menanjak.


Hujan semakin lebat mengguyur kota ini. Saya harus menemukan tempat untuk berteduh yang memperbolehkan lahan parkirnya digunakan tanpa saya harus menjadi pelanggan di tokonya. Saat itu, baik perut maupun dompet saya sama kosongnya. Saya belum makan sejak pagi sedangkan saat itu matahari sudah bersiap-siap unuk menerangi bagian Bumi yang lain.


Akhirnya, saya menemukan sebuah kantor agen pengiriman barang yang bersampingan dengan restoran makanan Jepang. Lahan parkir beratap di depan kantor agen pengiriman terlihat kosong. Karena baju dan celana saya sudah sama basahnya dengan kain pel, tanpa tedeng aling-aling, saya memarkirkan motor di depan kantor agen pengiriman barang tersebut.


Dengan beberapa tetes air yang menetes dari badan saya ke aspal, saya duduk di sebuah kursi kayu panjang yang kaki-kakinya tidak sama panjang sehingga orang yang duduk dapat berayun-ayun ke depan dan belakang seperti ayunan. Saat saya hendak duduk, tampak seorang pria memakai jaket kulit, tas selempang hitam, celana bahan, dan sepatu pantofel hitam. Pria tersebut sedang memegang semangkuk penuh bakso kuah yang terlihat enak dan menggoda iman. Asap menyembul dari permukaan kuahnya. Sungguh ingin saya juga membeli semangkuk kehangatan, tapi dasar nahas, dompet saya tidak ada isinya.


Pria itu duduk di bagian pinggir bangku panjang, kemudian saya duduk di sampingnya dengan jarak dua pantat (Ya, saya tahu ini bukan satuan ukuran resmi nasional maupun internasional. Tetapi, berhubung saya tidak membawa penggaris, saya hanya bisa memperkirakan jarak dengan banyaknya pantat yang bisa duduk di ruang antara saya dan pria berbakso tersebut). Keadaan mulai terasa canggung karena seorang anak kuliahan yang basah kuyup tiba-tiba datang dan duduk dengan jarak yang cukup jauh dengan pria dan semangkuk bakso kesayangannya. Setelah lewat beberapa detik, pria tersebut melihat ke arah saya sambil tersenyum dan berkata, "Makan..". Seraya berkata, pria tersebut melambaikan tangan kepada saya dengan sendok yang bengkoknya agak tidak wajar di tangannya. Saya membalas sapaan "makan"-nya dengan lambaian tangan dan senyum tersungging, walaupun sebenarnya saya melambaikan tangan pada bakso hangat di tangannya.


Sekitar 10 menit sudah lewat. Kami berdua duduk di kursi panjang dalam diam. Hanya terdengar suara seruputan kuah dan bunyi kunyahan bakso dari pria di samping saya yang kelihatannya sangat menikmati makanannya. Penjual bakso berkumis lebat berdiri di dekat pintu masuk, dengan posisi gerobak yang nyaris menggecatnya ke tembok. Sesekali, dia melirik pada saya sambil sedikit-sedikit menggantungkan harapan kosong pada saya untuk membeli baksonya. Tiba-tiba, datang sebuah taksi berwarna biru ke dalam lahan parkir dan berhenti di depan restoran makanan Jepang. Supir taksi segera keluar dan bergegas membuka bagasi. Dari bagasi tersebut, dikeluarkannya sebuah kursi roda yang dapat dilipat. Kemudian, sekeluarga dengan seorang manula yang tampaknya kakinya sudah tak kuat untuk berjalan sendiri keluar dari dalam taksi. Dengan hati-hati, supir dan keluarga tersebut beramai-ramai menuntun, membopong, menggendong, menarik, mendorong, dan entah apa lagi yang mereka usahakan untuk menempatkan pria tua tersebut ke kursi rodanya. Setelah pria tua tersebut berhasil duduk di kursi rodanya, mereka sekeluarga masuk ke dalam restoran makanan Jepang dan hilang di balik pintu. Salah seorang dari mereka mengatakan pada supir taksi untuk menunggu hingga mereka kembali unuk pulang.


Supir taksi tersebut bertubuh agak gembul dan berkumis lebat. Dia memakai sepatu pantofel yang kelihatannya sudah terlalu sering dipakai dan diinjak-diinjak dengan sembarangan hingga bentuknya lebih mirip selop atau sandal hotel daripada sepatu. Supir taksi tersebut datang ke bangku yang saya dan pria berbakso duduki. Dia duduk di bagian tengah-tengah kursi tanpa mengetahui bahwa salah satu kaki kursi lebih pendek dari yang lainnya. Ketika supir taksi duduk, kami bertiga mengalami gempa Bumi sebesar 5 skala Richter. Kursi panjang berayun ke belakang dan ke depan tak terkendali. Saya memegang tas saya yang tergeletak di lantai untuk menjaga titik berat badan saya tetap di tengah kursi. Sang Supir Taksi terkejut dan mengepak-ngepakkan tangan dan kakinya seperti bayi yang sedang bersemangat, untuk menjaga keseimbangan. Sedangkan pria yang sedang asyik makan bersusah payah menyetabilkan mangkuknya agar kuah bakso kesayangannya tidak tumpah (Baiklah, cukup, saya tidak akan membahas soal bakso lagi).


Setelah kursi kembali stabil, supir taksi tertawa kecil sambil berkata, "whuush!" yang saya tidak mengerti maksudnya. Si Supir Taksi menaikkan satu kakinya ke atas kursi hingga jarak dua pantat di tengah kursi terisi penuh. Dia duduk membelakangi pria dengan baks......maaf.....pria berjaket hitam dan sedikit menghadap ke arah saya. Sang supir taksi mengambil sekotak rokok dari kantong bajunya, mengambil satu batang, dan menyalakannya. Saya kembali ke posisi semula sambil menunggu hujan reda.


"Itu sekeluarga langganan saya dek. Pada seneng banget makan di restoran ini. Saya udah beberapa kali nganter mereka dari pergi sampe pulang", tiba-tiba terdengar suara Supir Taksi membicarakan pelanggannya kepada saya. Saya sendiri sedikit kikuk ketika mendengarnya karena dia berbagi cerita tanpa peringatan.


"Oh ya?", kata saya pura-pura tertarik.


"Iya. Banyak yang langganan sama saya dek, kadang orang kerja, kadang mahasiswa, kadang sekeluarga kayak gitu", balas Supir Taksi yang kemudian menyesap rokoknya. Setelah itu kami terus mengobrol. Saya menanyakan asalnya, tempat tinggalnya, keluarganya, gaji hariannya, kehidupannya, dan hal-hal lainnya. Beliau pun menanyakan nama saya, asal saya, kuliah di mana, tempat tinggal, dan pengalaman lain. Topik pembicaraan yang kami bicarakan hanyalah topik-topik sederhana. Tapi, dalam waktu yang singkat, saya dan Si Supir Taksi menjadi dekat dan bisa mengobrol dengan lugas sambil menunggu hujan reda. Sang Supir Taksi sangat senang bercerita tentang pengalaman hidupnya dan suka duka menjadi supir taksi. Saya cukup terpukau dengan keramahannya. Pada saat itulah saya tersadar akan sesuatu.


Percakapan dengan orang asing di tempat asing bukanlah suatu pengalaman yang lazim bagi saya. Saya adalah orang yang tertutup dan, terkadang, sulit untuk membuka diri walaupun saya ingin. Tapi, keramahan Sang Supir Taksi pada saat itu telah berhasil mencairkan es di antara kami. Jujur saja, pengalaman ini lebih baik daripada saya menunggu hujan tanpa ada teman mengobrol atau hanya melamun merenungi nasib terjebak hujan dengan motor yang ngambek.


Setelah saya kembali ke kos, saya merenungkan peristiwa tadi sore. Sungguh hangat apabila saya bisa berkomunikasi selancar itu dengan semua orang di lingkungan saya. Namun, sungguh sayang, dewasa ini, budaya berbicara dengan orang asing dalam konteks sekedar mengobrol tidak menjamur di Indonesia. Tingkat kriminalitas di Indonesia dapat dikatakan cukup tinggi. Hal ini menyebabkan orang-orang Indonesia banyak yang tertutup dan cenderung melihat orang yang tidak dikenalnya dengan penuh curiga. Mereka pun tak dapat disalahkan karena sayapun pernah menjadi korban penculikan yang diawali dari berbicara dengan orang asing. Namun, tetap saja, saya merasa bahwa menjadi orang yang terlalu menutup diri dari orang lain bukan sesuatu yang bisa dikatakan baik.


Percakapan antara saya dengan supir taksi tersebut telah memberikan saya pandangan baru bahwa tidak semua orang berniat jahat. Terkadang mereka hanya ingin mengobrol saja. Anehnya, saya banyak menemukan bahwa orang-orang yang lebih terbuka pada orang lain adalah masyarakat dari kalangan menengah ke bawah. Pertanyaannya: Kenapa?


Saya pernah ikut dalam kegiatan bakti sosial ke sebuah desa di tengah gunung. Kami menginap di sana selama beberapa hari dan melakukan kegiatan sehari-hari selayaknya penduduk desa seperti memerah susu sapi, mengolah biji kopi, menanam sayuran, dan lain-lain. Saya menemukan bahwa penduduk desa sangat baik dan ramah pada kami, orang yang tinggal di perkotaan. Kegiatan menyapa satu sama lain dan mengobrol adalah hal yang sangat lazim bagi mereka. Bahkan, pada orang-orang yang tidak mereka kenal.


Mereka mengizinkan kami, orang asing, dari perkotaan pula, menginap di rumah mereka dan melakukan kegiatan sehari-hari bersama. Bahkan, mereka membiarkan anak-anak mereka bermain bersama kami. Mari sekarang kita balik keadaannya. Beberapa orang dari desa menegtuk pintu rumahmu dan minta izin menginap beberapa malam di rumahmu. Apa yang akan kamu lakukan? Apa yang kamu pikirkan? Apakah kamu menaruh curiga? Saya yakin, kebanyakan orang akan menaruh curiga dan berusaha dengan sopan menolak mereka menginap di rumahnya. Walaupun mengizinkan, kita akan menaruh mengawasi mereka dengan ketat agar mereka tidak mencuri atau merampok. Aneh, bukan?


Hal ini disebabkan oleh gaya hidup orang perkotaan atau kalangan menengah ke atas. Kita terbiasa hidup dengan rumah masing-masing. Karena tingkat kriminalitas di Indonesia yang tinggi, kita telah terdorong untuk menaruh curiga kepada siapapun yang tidak kita kenal. Apakah dengan ini saya mengatakan bahwa memberikan orang asing izin untuk menginap adalah hal yang benar? Sayapun tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kita tidak tahu siapa mereka dan mengapa mereka mau menginap di rumah kita. Jika mereka punya niat jahat, maka habislah kita.


Sekarang, mari kita persempit konteks topik kita. Saya hanya akan membahas tentang komunikasi dengan lingkungan sekitar kita. Coba saya cerita sedikit. Saya dulu adalah orang yang paling anti berbicara dengan orang yang tidak saya kenal. Saya terkenal jutek dan memiliki ekspresi wajah yang tidak bersahabat. Tapi. setelah kejadian percakapan dengan supir taksi yang saya ceritakan tadi, saya mulai mengubah diri saya menjadi lebih terbuka dengan orang lain dan lingkungan sekitar saya.


Saya tinggal di daerah Ciumbuleuit, Bandung. Di sana terdapat banyak warung-warung dan pedagang kaki lima. Karena saya tinggal di daerah sana, saya sering berlangganan pada beberapa warung dan pedagang kaki lima di sana. Awalnya saya tidak banyak berkomunikasi dengan mereka, hingga suatu hari, saya sedang membeli makanan di warung makan favorit saya. Ketika saya hendak membayar, ternyata uang saya kurang. Tetapi, ibu penjual makanannya mengatakan, "Yaudah gapapa dek, ngutang aja dulu. Udah sering ke sini juga kan, hehe".


Saya sedikit terbengong dengan ucapan ibu penjual mkanan tersebut. Kenapa beliau bisa hapal kalau saya sering membeli makanan di sana? Tentunya banyak juga orang lain yang membeli makanan di sana. Sejak saat itu, setiap kali saya membeli makanan di sana, saya tidak lagi sekedar membeli makanan. Saya sempatkan waktu untuk bercakap-cakap dan mengobrol dengan ibu penjual makanan di sana. Secara psikologis, hal ini telah membantu saya untuk merasa diterima dan dihargai.


Hari demi hari, saya mulai memperluas lingkup saya. Saya mulai berkenalan dna bercakap-cakap dengan para pedagang yang umumnya dari kalangan menengah ke bawah. Sepengalaman saya, tidak terdapat banyak intrik atau niat tertentu ketika bercakap-cakap dengan mereka. Mereka tulus menerima saya apa adanya, meskipun wajah saya memberi kesan yang kurang bersahabat.


Kini, saya telah berubah, saya jauh lebih terbuka dengan lingkungan sekitar saya. Mulai dari penjual makanan, pemilik warung, sampai tukang ojek langganan, saya mengenal mereka semua dan selalu bercakap-cakap, bahkan bercanda dengan mereka. Jika saya sedang sendirian, tidak jarang saya mengajak mereka mengobrol untuk menghabiskan waktu bersama mereka. Tidak jarang pula mereka mengundang saya untuk berkunjung ke rumahnya untuk sekedar makan malam atau bersilaturahmi. Sejak saat itu, tak pernah lagi saya merasa sendirian di Bandung meskipun teman-teman kampus saya sedang berada di luar Bandung.


Tidak hanya sebatas lingkungan tempat tinggal saya. Saya juga sering mencoba untuk mengobrol dan bercengkrama dengan orang lain seperti pengamen jalanan, supir travel, dan satpam. Seandainya masyarakat perkotaan tidak terlalu banyak menaruh curiga, saya ingin bisa mengobrol dengan orang lain ketika di dalam angkutan umum, menunggu antrian, di rumah makan, dan lain-lain.


Pada dasarnya, kita, manusia, adalah makhluk sosial. Kita tak dapat hidup tanpa orang lain. Saya hanya ingin memberikanmu sebuah pesan, Kawan. Kembalikanlah kata "sosial" pada "manusia". Sapalah orang lain apabila kamu bertemu di jalan walaupun kamu tidak mengenalnya, bantulah orang yang membutuhkan bantuan walaupun kamu tidak mengenalnya. Lakukanlah komunikasi dengan masyarakat sekitarmu tanpa memandang dari kalangan mana mereka berasal. Jika kamu pernah ke Australia, kamu akan belajar masyarakat di sana sangat bersosialisasi dengan orang yang tidak mereka kenal. Mungkin hal itu akan saya ceritakan di pos lain.


Seperti biasa, segala yang saya tulis adalah pengalaman pribadi saya dan pendapat saya semata. Kamu boleh setuju, boleh tidak. Mohon maaf apabila kata-kata saya ada yang menyinggungmu. Terima kasih telah meluangkan waktumu yang berharga untuk membaca tulisan saya. Saya harap tulisan saya dapat memberi manfaat bagi kamu semua.


 
 
 

Comments


RECENT POSTS:
  • b-facebook
  • Twitter Round
  • Instagram Black Round
bottom of page