top of page
Search

Menyedekahkan Kebahagiaan

  • Indra Ajidarma Sadewo
  • Jan 13, 2017
  • 7 min read

Kawan-kawan sekalian, sudahkah kalian bersedekah hari ini? Ketika kamu makan dengan enak dan kenyang, ketahuilah, banyak saudara-saudara kita yang makan sehari-harinya saja belum pasti. Mengapa saya tiba-tiba menulis tentang ini? Begini ceritanya.


Kemarin malam, saya dan teman-teman saya makan malam bersama di daerah Dipati Ukur. Kami makan di sebuah warung nasi uduk di pinggir jalan. Meskipun warung itu berpenampilan seadanya saja, warung-warung makan seperti ini adalah tempat makan favorit para mahasiswa yang, biasanya, kantongnya mulai tipis di akhir bulan.


Sesaat setelah kami memesan makanan dan duduk di meja, datang sekelompok pengamen yang seluruhnya masih berusia muda. Mereka berjumlah sekitar 5 hingga 6 orang, satu orang bermain gitar kecil, sedangkan yang lainnya bernyanyi sambil bertepuk tangan mengikuti tempo lagu. Bukan, mereka bukan kelompok paduan suara. Mereka bernyanyi memadukan suara, tapi suara mereka tidak berpadu. Mereka bernyanyi bersama-sama dengan suara keras, tempo mereka sama, timing mereka sama, lirik yang mereka nanyikan sama, nadanya pun juga itu-itu saja yang keluar. Mereka meletakkan sebuah kantong plastik hitam di atas meja kami untuk menampung uang hasil mengamen mereka.


"Sungguh sayang," pikir saya. Mereka masih muda dan bugar, seharusnya mereka bisa mencari pekerjaan yang jauh lebih berguna dan menghasilkan dibanding mengamen dan meminta-minta. Mereka terus bernyanyi dengan keras di depan meja kami, bukan main berisiknya. Musik yang mereka mainkan tidak ada enaknya sama sekali. Saya dan teman saya memasukkan uang receh ke dalam kantong plastik hitam mereka. Jujur saja, niat saya untuk memberikan uang pada mereka bukan untuk memberikan apresiasi terhadap musik mereka, melainkan agar mereka segera pergi dari meja kami. Paling tidak, jika mereka ingin mengamen, buatlah musik yang memang bisa mengibur para pendengarnya. Musik yang bagus tidak harus berasal dari alat musik yang mahal kok. Saya banyak menemukan pengamen yang alat musiknya biasa-biasa saja tapi mereka mampu membuat musik yang enak didengar dan uang yang saya berikan pada mereka adalah murni bentuk apresiasi saya terhadap performansi yang telah mereka berikan.


Setelah saya dan teman saya memasukkan uang ke dalam kantong plastik, sekelompok pengamen tersebut berhenti bernyanyi dan pergi dari warung tempat kami makan. Kami mulai mengobrol dengan santai sambil bercanda-canda kecil. Kami makan berdelapan dalam warung. Tiba-tiba, saya merasakan adanya keberadaan orang kesembilan. Seseorang yang entah muncul dari mana datang ke meja kami dengan langkah dan cara berjalan yang gemulai. Lebih tepatnya, digemulai-gemulaikan. Jujur saja, saya kaget ketika melihatnya. Dia seorang laki-laki tegap, memakai riasan wajah menyerupai seorang perempuan, rambut palsu yang panjang, baju putih ketat, dan hotpants. Yah, saya rasa kamu sudah mengerti orang seperti apa yang saya maksud di sini.


Dia mulai bernyanyi tanpa instrumen apapun. Badannya berlenggak lenggok, mengiringi nyanyiannya. Tangannya bergerak-gerak dengan gemulai. "Tidak cocok," pikir saya. Urat-urat di tangannya menonjol keluar dan kulitnya gelap seperti sering terbakar sinar matahari. Tangan seperti itu lebih cocok digunakan untuk memukul samsak atau mengangkut karung beras daripada digerakkan menyerupai gerakan tangan perempuan. Bahkan, gerakan tangan perempuan pun sebenarnya tidak segemulai itu juga.


Segera setelah kami menyadari keberadaannya, kami terdiam. Kami semua merasakan teror yang sama. Teman saya sudah duduk agak condong ke kanan karena orang itu berdiri di samping kirinya. Teman saya yang lain tatapannya lurus ke depan, tidak berani menengok karena orang itu berada di sampingnya. Saya tahu, pengamen "ajaib" itu tidak akan pergi sebelum kami memberikannya uang. Saya kembali mengeluarkan dompet dan mengambil uang 1000 rupiah. Saya operkan uang itu pada teman saya untuk diberikan pada sang penyebar teror. Setelah orang itu menerima uang yang diberikan oleh teman saya, dia pun pergi. Kami semua menghela napas lega.


Setelah suasana mulai mencair, kami kembali mengobrol. Tidak lama kemudian, datang seorang perempuan muda ke meja kami. Kali ini benar-benar perempuan, bukan perempuan jadi-jadian. Wajahnya sangat memelas, seperti orang yang sedang dirundung masalah pelik. Dia memain-mainkan rambutnya dengan canggung. Gerakannya terlihat tidak natural dan sangat dibuat-buat. Dia berkata dengan suara yang bergetar dan pelan, "Mas, saya minta tolong Mas."


Saya tahu jenis orang-orang seperti ini. Sejujurnya, saya juga kurang paham cara untuk menanganinya. Biasanya mereka mengarang cerita dan berpura-pura memiliki masalah untuk mendapatkan belas kasihan berupa uang dari orang lain yang percaya dengan cerita karangannya. Padahal sebenarnya mereka baik-baik saja. Nah, sulitnya, bagaimana cara saya bisa mengetahui orang ini memang benar-benar memiliki masalah atau hanya mengarang cerita untuk mendapatkan uang sebagai bentuk belas kasihan? Tapi, sepertinya perempuan muda yang datang ke meja kami kali ini berbohong karena dia tidak terlihat seperti orang yang tidak punya uang sama sekali. Rambutnya terawat, bajunya bersih, dan kelihatannya dia sehat-sehat saja.


Saya membuang tatapan saya ke bawah sesaat karena saya tidak yakin apa yang harus saya lakukan. Dia mendatangi teman saya. Saya tidak tahu apa yang teman saya katakan padanya. Tapi, ketika saya kembali mengangkat kepala, perempuan tersebut sudah pergi dari warung tempat kami makan sambil masih terus memainkan rambutnya. Setelah perempuan itu menjauh, teman saya mengatakan bahwa dia pernah melihat perempuan itu melakukan hal yang sama beberapa waktu yang lalu. Nah, berarti benar dugaan saya, perempuan itu berbohong.


Kami kembali meneruskan obrolan. Tiba-tiba datang seorang ibu-ibu ke dalam warung. Nah, ibu-ibu ini sudah tidak asing lagi di mata saya. Dialah jenis orang-orang yang sering duduk di pinggir jalan atau di depan restoran untuk meminta-minta. Dia memakai topi, baju, dan kain yang sudah lusuh. Kulitnya berwarna sangat gelap karena sering terbakar matahari. Dia menyodorkan sebuah gelas minuman bekas kepada kami. Terkadang, orang-orang seperti ini pun tidak selalu benar-benar (maaf) pengemis. Mereka terkadang adalah orang-orang yang menyamar menjadi fakir miskin, padahal sebenarnya hidupnya tidak sesusah itu. Tapi, daripada menimbang hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting lebih baik saya bersedekah. Tidak penting bagi saya bahwa dia benar-benar fakir miskin atau tidak. Saya mengambil uang dari dompet dan memberikannya pada ibu tersebut. Dia berterimakasih dan pergi dari warung tempat kami makan.


Setelah ibu itu pergi, saya jadi merenungkan sesuatu. Kapankah terakhir kali saya bersedekah? Sejak saya tinggal di Bandung, saya jarang bertemu dengan fakir miskin yang biasa duduk di pinggir jalan. Otomatis, frekuensi sedekah saya menjadi jauh lebih jarang dibanding ketika saya tinggal di Jakarta. Paling saat shalat Jumat saja saya memasukkan uang ke dalam kotak amal. Berarti, saya hanya bersedekah seminggu sekali.


Hal ini jadi mengingatkan saya akan kejadian sekitar dua atau dua setengah tahun silam. Saat itu, saya sedang menikmati libur setelah lulus SMA. Saya berencana untuk makan di sebuah restoran hotdog favorit saya di daerah Bintaro sambil membaca buku. Sesampainya saya di sana, saya memesan satu hotdog dan memakannya sebagai makan siang saya.


Restoran tersebut adalah restoran terbuka. Jadi saya bisa melihat ke jalan raya selagi duduk di restoran. Di sebelah restoran, terdapat sebuah tong sampah besar tempat pelayan biasanya membuang bungkus hotdog yang ditinggalkan pelanggan di meja setelah selesai makan. Saya melihat ada yang bergerak-gerak di balik tong sampah besar itu. Karena penasaran, saya pindah tempat duduk ke tempat yang bisa melihat jelas apa yang ada di balik tong sampah. Sungguh saya terkejut, ternyata ada seorang pria gendut yang duduk di samping tong sampah besar itu. Pria tersebut memakai kemeja bermotif bunga-bunga yang sudah robek di beberapa bagian, topi putih yang sudah lusuh, dan celana pendek berwarna abu-abu. Di sampingnya, tergeletak sebuah, entah tas, entah karung yang digunakannya untuk menyimpan barang-barangnya.


Saya memerhatikan pria itu dengan seksama. Saya heran, apa yang dilakukannya di samping tong sampah di tengah teriknya matahari. Pria itu hanya duduk sambil memandangi kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Lalu, pria itu mulai bergerak. Dia memutar tubuhnya ke arah tong sampah, tangannya memegang pinggir tong sampah dan menariknya hingga tonga sampah miring ke arahnya.


Ya Tuhan, saya menyaksikan sebuah pemandangan yang sungguh menyedihkan. Pria itu memasukkan tangannya ke dalam tong sampah dan mengais-ngais sampah di dalamnya. Dia menarik keluar sebuah kotak bekas hotdog dari tong sampah dan membukanya. Diambilnya sebuah timun yang berlumur saus tomat dari dalam kotak dan...Ya Tuhan....dimakannya tanpa ragu. Pria itu tidak hanya memakan satu, tapi tiga potong timun dari dalam kotak. Hati saya tergetar melihat pemandangan menyedihkan itu. Betapa terkejutnya saya melihat ketegaran pria itu yang bertahan hidup hanya dari memakan makanan sisa dari tong sampah.


Pria itu benar-benar mengais sampah dan memakan apapun yang ditemukannya. Kejadian ini mungkin sudah pernah kamu dengar atau baca dalam cerita fiksi tentang perjuangan hidup orang miskin. Tapi percayalah, ini bukan cerita fiksi, saya tidak berbohong. Ini benar-benar terjadi di kehidupan nyata dan saya menyaksikannya dengan mata saya sendiri. Badan pria tersebut memang gemuk, tapi gemuknya tidak bagus. Dia bukan gemuk karena banyak makan, tapi karena makanannya setiap hari hanyalah makanan yang berlemak dan berkolesterol seperti hotdog dan saus tomat. Mungkin tidak jarang pula dia memakan makanan yang sudah mulai basi.


Ternyata, keterkejutan saya tidak selesai sampai di situ saja. Ketika pria itu melanjutkan mengais-ngais sampah, seorang pelayan datang sambil membawa beberapa kotak bekas hotdog. Kemudian, pelayan tersebut melempar begitu saja kotak-kotak bekas hotdog ke dalam tong sampah yang tengah diaduk-aduk oleh pria itu. Bukan main, saya tidak dapat berkata apa-apa melihat kejadian itu. Betapa pelayan itu tidak memiliki rasa simpati ataupun rasa hormat pada sesama manusia. Bayangkan, dia melempar sampah ke dalam tong sampah yang sedang diaduk-aduk oleh orang lain. Dia melemparnya dengan ringan seperti sedang memberi makan binatang peliharaannya.


Yang membuat saya lebih terkejut lagi, pria tersebut tidak marah pada perlakuan sang pelayan. Justru pria itu segera memeriksa isi kotak-kotak bekas yang baru saja dilemparkan ke tong sampah. Saya sangat terkejut melihat bagaimana seorang manusia tega memperlakukan sesamanya layaknya seekor hewan.


Cukup, saya tidak tahan lagi. Saya ingin membelikan makanan yang layak untuk pria malang itu. Tapi, di sekitar sana tidak ada yang menjual makanan selain restoran hotdog itu karena sebenarnya, itu adalah daerah perumahan. Uang saya pun juga tidak banyak tersisa. Akhirnya, saya membeli sebuah hotdog lagi.


Selesai membeli, saya datangi pria malang itu. Saya berjongkok di depannya, menyodorkan kotak berisi hotdog yang masih utuh dan berkata, "Pak, ini saya ada makanan untuk Bapak." Pria itu menerimanya tanpa melihat ke arah saya. Dia mengendus kotak berisi hotdog yang saya berikan. Kemudian, dia menempelkan kotak hotdog itu ke keningnya seperti tanda sedang berterimakasih, entah kepada saya atau kepada Tuhan.


Pria itu menaruh kotak yang masih hangat itu ke dalam tas karungnya. Sepertinya akan dia simpan untuk makan malam nanti. Tak satupun kata keluar dari mulutnya. Tak sekalipun matanya menatap ke arah saya. Entah apakah pria itu tidak bisa melihat, tidak dapat berbicara, atau memang sudah terganggu secara mental.


Sungguh saya ingin melakukan sesuatu untuk mengubah hidup pria malang ini. Tapi, uang sayapun tidak banyak. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya bisa berdoa agar Tuhan mempermudah hidupnya dan melancarkan rezekinya.


Maaf ya, percayalah, saya sama sekali tidak ada niat untuk menyombong bahwa saya telah bersedekah. Saya menceritakan cerita ini semata-mata untuk mengingatkanmu bahwa ada banyak saudaramu yang tidak seberuntung dirimu.


Wahai Kawan, bersedekahlah, walaupun hanya sedikit. Sisihkanlah sebagian dari hartamu kepada orang-orang yang membutuhkan. Ketika kamu makan dengan enak, ada saudara-saudaramu yang tidak punya uang untuk makan. Ketika kamu bisa tidur di kasur yang empuk, banyak saudaramu yang rumah saja tidak punya. Ketika kamu mengeluh karena hidupmu tidak sesuai dengan keinginanmu, ada saudaramu yang rela makan dari tong sampah hanya untuk bertahan hidup. Menyisihkan sebagian dari hartamu tidak akan merugikanmu. Cobalah sesekali kamu memberikan uang kepada fakir miskin. Ketika mereka mengucapkan "terima kasih" sambil tersenyum kepadamu, kamu akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa besarnya. Coba saja kalau kamu tidak percaya.


Melihat ke atas akan mengajarkanmu untuk tidak cepat puas dan selalu maju untuk menjadi lebih baik. Tapi, terus-menerus melihat ke ataspun juga tidak baik. Kamu akan menjadi ambisius dan tidak pernah puas atas apa yang telah kamu dapat. Cobalah sesekali melihat ke bawah. Dengan melihat ke bawah, kamu akan belajar untuk bersyukur dan menerima dirimu apa adanya.


Kitapun juga membutuhkan sedekah. Ketika kita memberikan uang sebagai sedekah untuk mereka, senyuman adalah sedekah mereka untuk kita. Mereka "menyedekahkan kebahagiaan" untuk kita :)


 
 
 

Comments


RECENT POSTS:
  • b-facebook
  • Twitter Round
  • Instagram Black Round
bottom of page