Metamorfosis
- Indra Ajidarma Sadewo
- Jan 13, 2017
- 22 min read
Dua post yang lalu, saya berjanji akan menceritakan tentang bagaimana saya "bertahan hidup" di kuliah ya? Lho, kenapa bertahan hidup? Apakah nyawa saya terancam selama kuliah? Tentu saja itu sebuah metafora. Ya, sebuh metafora yang cukup tepat untuk menggambarkan kehidupan saya di sini.
Kamu tahu Doraemon? Doraemon adalah tokoh kartun robot masa depan berbentuk kucing yang dapat mengeluarkan alat-alat super canggih seperti alat untuk teleportasi, memutarbalikkan waktu, memperpanjang waktu, mengingat apapun dalam sekejap, dan lain-lain. Nah, jika kamu kuliah di jurusan teknik industri di kampus saya, kamu akan membutuhkan Doraemon. Kenapa? Karena di jurusan ini, kamu akan belajar untuk melakukan yang tidak mungkin dan menahan yang tak tertahankan. Mari saya ceritakan kisah perjuangan saya.
Awal masuk kuliah semester 1 adalah masa-masa yang cerah bagi saya. Suasana baru menyelimuti saya di kota yang lain dari biasanya, teman-teman yang lain dari biasanya, dan lingkungan yang lain dari biasanya. Kini saya sudah mahasiswa dan saya bebas.
Hmm, bebas ya? Sebenarnya, apa sih arti bebas bagi kamu? Kakak saya pernah berkata pada saya, "Bebas itu tanggung jawab. Walaupun kamu bebas pergi sampe malem, bebas ngapain aja, tapi di sana, kamu hanya bisa bersandar pada diri kamu sendiri. Apa-apa sendiri, ngurus apapun sendiri. Jadi walaupun bebas, kamu harus bebas yang bertanggung jawab." Ya, betul sekali apa kata kakak saya. Katakanlah, saya bebas pergi makan atau sekedar hang out sampai tengah malam. Tapi konsekuensinya, seandainya esok harinya ada tugas atau kuis, saya belum sempat belajar ataupun mengerjakan tugas. Tidak ada yang bisa menolong saya kecuali Tuhan dan diri saya sendiri. Jadi apapun yang saya lakukan akan selalu ada konsekuensinya.
Sebagian besar mata kuliah di semester 1 tergolong mudah.......yah, mudah jika dibandingkan dengan mata kuliah yang akan datang. Tapi, kata "mudah" sangatlah relatif. Yang mudah bagi seseorang belum tentu mudah bagi orang lain. Tapi, di perkuliahan, semua orang harus bisa mencapai standar yang sudah ditentukan. Tidak peduli kamu rajin atau malas, pintar atau kurang pintar, kamu harus bisa mencapai standar tersebut. Ketika dalam ergonomi dikenal istilah "Fit the job to the man" di sini, mau tidak mau, yang berlaku adalah "Fit the man to the job".
Kalau menurut saya, kategori orang yang "pintar" atau "bodoh" itu tidak ada. Yang membedakan otak kita dengan orang lain adalah daya tangkap. Ada orang yang menangkap pelajaran dengan cepat dan mengerti dengan baik. Tapi, ada juga orang yang tidak bisa menangkap pelajaran dengan cepat. Mereka perlu dijelaskan pelan-pelan atau harus diulang berkali-kali, baru mereka mengerti. Nah, saya adalah orang yang masuk dalam kategori kedua.
Daya tangkap saya bisa dikatakan lebih lambat jika dibandingkan dengan kebanyakan teman-teman saya. Entah apa yang menyebabkan hal ini. Seringkali, ketika dosen menjelaskan materi dan menanyakan apakah semua orang mengerti, kebanyakan teman-teman saya akan menjawab "Ya" atau mengangguk, sedangkan saya masih harus mencerna apa yang tadi dijelaskan. Bahkan, seringkali ketika dosen sudah masuk ke materi selanjutnya, saya masih saja berpikir keras untuk mengerti apa yang dijelaskan sebelumnya. Ketika saya sudah berhasil untuk mengerti, materi yang sudah dijelaskan dosen selama saya berpikir tadi sudah keburu jauh sehingga akhirnya saya tertinggal pelajaran.
Jujur saja, saya ini orang yang mudah bosan. Saya tidak tahan duduk diam untuk memperhatikan pelajaran dalam waktu yang lama. Kurang lebih, saya hanya bisa tahan selama 1 jam. Lebih dari 1 jam, saya cenderung mengantuk atau pikiran saya melayang ke mana-mana. Bisa dikatakan, saya alergi dengan kebosanan.
Nah, kedua hal di atas adalah penghalang utama saya dalam belajar. Seringkali, saya merasa, saya ikut kelaspun hampir tidak ada gunanya karena saya tidak mengerti apapun. Dosen sudah menjelaskan materi yang lebih lanjut, tapi saya masih belum mengerti materi yang sebelumnya. Pada beberapa mata kuliah, tidak masuk sekali saja, berarti kemunduran drastis. Dalam satu sesi kelas, materi yang dijelaskan akan sangat banyak sehingga jika saya tidak masuk, saya bisa hilang arah.
Kunci untuk dapat bertahan di jurusan saya adalah kamu harus bisa menemukan cara belajarmu yang tepat. pada umumnya, cara belajar manusia terbagi menjadi 3, yaitu auditori, kinestetik, dan visual. Auditori adalah orang yang bisa belajar dengan efektif apabila belajar dengan cara mendengar. Orang-orang auditori lebih suka belajar dengan cara dijelaskan oleh orang lain atau belajar sambil mendengarkan musik. Orang-orang yang kinestetik adalah orang-orang yang suka belajar dengan melibatkan gerakan. Misalnya, mereka bisa belajar efektif dengan cara merangkum materi dengan menulis atau belajar sambil memainkan pulpen atau benda lainnya. Terakhir adalah visual, orang yang bertipe belajar visual dapat belajar efektif hanya dengan membaca atau melihat.
Tapi, tetap, apa yang saya sebutkan di atas hanyalah sebuah teori. Pada kenyataannya, banyak orang yang terkadang cenderung ke auditori tapi juga cenderung ke kinestetik. Ada juga orang yang pada saat tertentu, senang belajar sambil mendengarkan musik, tapi terkadang tidak bisa berkonsentrasi jika belajar sambil mendengarkan musik. Jadi, pada intinya, kita harus mengenal diri kita sendiri dengan baik agar dapat menentukan cara belajar kita yang cocok.
Pada awal semester 1, saya tidak tahu apa tipe belajar saya dan itulah yang saya cari tahu dari awal perkuliahan hingga detik ini. Saya harus mulai mengadakan beberapa eksperimen untuk mengenal diri saya lebih dalam lagi.
Pekan UTS (Ujian Tengah Smester) untuk semester 1 telah tiba. Saya masih menggunakan cara belajar sewaktu saya masih SMA. Kamu tahu sistem kebut semalam? Nah, sistem tersebut adalah andalan saya pada saat itu. Saya bisa puas bermain dan bersantai hingga matahari mulai tenggelam, baru saya panik dan mengurung diri di kamar untuk belajar. Selama UTS, saya lebih banyak belajar sendiri dengan membaca dan latihan soal. Saya berpikir bahwa saya sudah cukup bisa menghadapi UTS jika soal-soal yang keluar adalah seperti apa yang saya kerjakan malam itu.
Sayang sekali, ujian di perkuliahan tidak seindah itu kawan. BUM! Saya shock ketika melihat soal ujian yang saya hadapi. Soal ujian yang muncul banyak yang jauh berbeda dari soal-soal yang saya kerjakan dari catatan sewaktu perkuliahan. Oh salah, bukan jauh berbeda, tapi jauh lebih sulit. Soal-soal yang muncul lebih kompleks dari soal-soal yang biasa diajarkan saat perkuliahan.
Begitulah yang terjadi selama UTS. Meremehkan. Ya, itu yang saya lakukan terhadap UTS perdana saya. Begitu nilai-nilai ujian keluar, saya hanya dapat menghela napas, khususnya nilai UTS untuk beberapa mata kuliah yang melibatkan perhitungan. Meskipun begitu, saya diberitahu bahwa nilai-nilai saya masih bisa diselamatkan dengan nilai tugas dan UAS (Ujian Akhir Semester). Saya pun berusaha dengan lebih keras.
Kini, pekan UAS berada di depan hidung saya. Belajar dari kesalahan yang lalu, saya mengumpulkan banyak soal dan bahan unutk belajar dari berbagai sumber. Ada yang saya beli dari koperasi, ada yang saya minta dari senior, ada yang dari kelas lain, ada juga beberapa soal yang rumornya adalah kisi-kisi ujian. Saya tidak yakin ujian di perkuliahan masih memiliki kisi-kisi, tapi saya ambil saja contoh soalnya daripada saya kurang bahan.
Percobaan kedua dimulai. Saya mencoba belajar dengan bahan yang lebih banyak. Dengan bahan yang lebih banyak, saya memerlukan waktu yang lebih lama. Untuk belajar mata kuliah yang melibatkan perhitungan, musik adalah mutlak bagi saya. Jika tidak ada musik, suasana akan terkesan garing dan saya akan cepat jenuh. Jika musik yang saya sukai terus berputar selama saya belajar, saya bisa mengerjakan soal selama berjam-jam lamanya.
Ketika saya mengerjakan ujian, BUM! Saya kembali shock. Soal-soal yang muncul bukan lebih sulit, tapi memiliki pola yang berbeda dari soal-soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Saya kembali mengalami kesulitan. Metode belajar saya masih salah. Saya harus menggali lebih dalam. Akhirnya, nilai-nilai saya banyak yang lulus dengan nilai pas-pasan, atau bahkan lulus dengan nilai kurang bagus. Di jurusan saya, nilai D bisa dihitung lulus, tapi nilai itu terbilang buruk. Totalnya, saya mendapatkan 3 mata kuliah yang bernilai D dari 9 mata kuliah.
Oke, jangan tanyakan berapa IP saya. Jika pada umumnya, kita tidak boleh menyinggung SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan), di kampus, kami di antara mahasiswa adalah tidak dianjurkan untuk menyinggung SARAI (Suku, Agama, Ras, Antar golongan, dan Indeks Prestasi). Yah, kebanyakan mahasiswa beranggapan begitu, khususnya mahasiswa baru.
Saya rasa, nilai-nilai saya masih cukup bagus atau sebut saja tidak terlalu buruk untuk semester 1. Saya pernah mengobrol dengan seorang senior. Dari dia, saya mendapatkan flow nilai yang umumnya dialami anak TI. Biasanya, pada semester 1 nilai-nilai menjulang tinggi karena masih tergolong mudah. Pada semester 2 nilai-nilai akan turun karena mata kuliah yang ada tergolong sulit. Pada semester 3, kebanyakan nilai akan mulai naik. Pada semester 4, nilai-nilai akan kembali tinggi. Lalu, semester-semester selanjutnya tidak dapat diprediksikan karena menyangkut keterampilan pribadi. Saya pikir, "Ah, itu kan hanya angka rata-rata. Harusnya saya bisa terus menaikkan nilai saya." Apakah pikiran saya betul?
Semester 2 tiba, saya bertekad akan meningkatkan nilai-nilai saya atau setidaknya mempertahankannya. Kurang lebih, mata kuliah di semester 2 adalah kelanjutan dari mata kuliah yang sudah dipelajari di semester 1. Jadi menjalani semester 2 seperti menjalani semster 1 dalam level yang lebih tinggi. Sejauh ini, rasanya tidak ada mata kuliah yang terlampau sulit ataupun mengkhawatirkan. Yah sebenarnya ada satu praktikum yang memang sangat amat sulit. Mungkin bukan sulit ya, hanya saja, kebanyakan orang tidak dapat memahami konsep dasar dari praktikum tersebut sehingga segalanya terasa buram dan tidak jelas.
Pekan UTS tiba. Belajar dengan mengurung diri dalam kamar sudah terbukti tidak efektif bagi saya. Walaupun saya punya banyak bahan, tapi saya tidak punya solusi yang tepat, apa gunanya? Akhirnya saya memutuskan untuk belajar bersama teman-teman saya.
Yah, mungkin sewaktu saya SMA, belajar bersama adalah hal yang dianggap terlalu rajin. Tetapi, pada saat kuliah, belajar bersama adalah hal yang lumrah. Bahkan, mungkin sudah menjadi kebutuhan. Di dunia perkuliahan, Tuhan akan mereduksi "kebesaran"-mu. Kamu tidak akan selamat di perkuliahan jika kamu keras kepala menganggap bahwa dirimu tidak memerlukan bantuan orang lain.
Mari saya perkenalakan dengan salah seorang teman saya yang menjadi "guru" saya selama ujian.

Namanya Nathasya Natalia, biasa dipanggil Tasya, Taca, Aca, Ca.........yah, banyaklah panggilannya. Semangat dan kemampuan mengatur waktu cewek satu ini memang luar biasa. Walaupun dia sibuk dengan berbagai kegiatan, tapi nilai ujian dan segala tugasnya tetap terjaga. Tasya adalah orang yang sering mengajari saya materi mata kuliah yang melibatkan perhitungan saat pekan ujian. Daya tangkap dan kinerja otaknya sangat cepat dalam menangkap materi maupun dalam menghitung.
Kami biasa belajar dalam kelompok, sekitar 6 atau 7 orang. Kadang lebih, kadang kurang. Ternyata memang berbeda belajar bersama dengan belajar sendiri. Kisi-kisi atau bahan soal yang bisa dikerjakan jadi lebih banyak, solusi yang didapat juga terasa lebih kompleks. Suasana belajar bisa terasa lebih santai karena ada banyak teman yang bisa diajak mengobrol atau bercanda sebagai selingan.
Yang menghambat saya adalah daya tangkap saya yang relatif lambat. Seringkali, jika Tasya sedang menerangkan cara penyelesaian soal, saya harus berpikir ekstra cepat untuk mengejar apa yang dijelaskannya. Setelah dijelaskanpun, seringkali, saya masih harus meneliti dan menganalisis soal tersebut dan mencocokkan dengan penjelasan dari Tasya, baru saya benar-benar mengerti.
Jujur saja, materi yang harus dipelajari dari setiap mata kuliah terhitung luar biasa banyak sehingga ,seringkali, waktu belajar bersama masih kurang untuk berhasil mempelajari seluruh materi untuk ujian. Biasanya, apabila waktu belajar bersama masih kurang, kami akan memfotokopi catatan dan soal apapun yang berkaitan dengan materi ujian esok hari. Setelah itu, kami bubar dan melanjutkan belajar sendiri di rumah atau kost masing-masing.
Keesokan harinya, ujian dimulai. Saya cukup percaya diri saat akan menghadapi ujian. Ternyata, soal-soal yang muncul di ujian kali ini tergolong sulit......oke, setidaknya sulit bagi saya. Saya seharusnya sudah menguasai semua materi yang diujikan. Tetapi, ada yang kurang dari belajar saya. Saya kurang latihan. Ada sekitar 1 hingga 2 soal tidak berhasil saya kerjakan karena saya kurang mengenal variasi dari soal-soal yang mungkin muncul.
Mari saya jabarkan kesalahan saya. Sekali lagi, saya telah meremehkan soal. Dalam latihan-latihan yang saya kerjakan ketika belajar bersama, saya terlalu menekan pada "Yang penting tahu jalannya." Yah betul. Teorinya, asal saya tahu langkah-langkah penyelesaian soal, saya pasti bisa mengerjakan soal seperti apapun. Tapi, apabila saya tidak bisa melakukan perhitungan matematis dengan benar, apa gunanya saya tahu langkah pengerjaannya?
Ketika latihan, saya cenderung tidak mengerjakan soal sampai selesai. Saya hanya mengerjakan soal sampai pada poin-poin tertentu yang perhitungan selanjutnya adalah perhitungan matematis dasar seperti metode substitusi, eliminasi, konversi ini-itu, invers, determinan, dan lain-lain. Semua itu sudah saya kuasai sejak SMA. Tapi saya lupa bahwa perhitungan matematis dasar pada tingkat kuliah seringkali lebih kompleks dan lebih bervariasi dengan variabel yang lebih banyak. Intinya, saya hanya mengerti konsepnya tanpa pernah menerapkannya.
Saat nilai UTS keluar, saya melihatnya sambil menepuk dahi, menopang dagu, menghela napas, dan sesekali diselingi "alhamdulillah" ketika saya melihat nilai mata kuliah yang cukup bagus. Saya tidak akan mengulang kesalahan yang sama di UAS nanti. Saya bertekad untuk lebih rajin memerhatikan penjelasan dosen, mengerjakan latihan yang diberikan dosen, dan mencatat sebanyak-banyaknya sampai pernah tangan saya salah urat.
Pekan UAS akan segera tiba. Saya kembali belajar dengan Tasya dan kawan-kawan. Kali ini, materi yang diujikan lebih banyak dari UTS dan relatif lebih sulit. Hal ini menyebabkan, seringkali, kami kekurangan waktu untuk belajar bersama sehingga kami meneruskan mempelajari sisa-sisa materi dengan belajar sendiri. Nah, di sinilah kesalahan saya.
Ketika teman-teman lain mungkin melanjutkan belajar hingga batas waktu tertentu. Saya selalu berencana untuk beristirahat atau sekedar refreshing dulu sebelum melanjutkan belajar. Apa yang saya sebut dengan "refreshing" di sini, seringkali , memakan waktu yang terlampau lama. Sesampainya di kost, saya mungkin makan dulu, menonton TV dulu, membaca buku dulu, bermain dulu, sehingga akhirnya saya mengantuk dan tertidur hingga pagi.
Pagi harinya, saat alarm berbunyi, baru saya kalang kabut melanjutkan belajar dan berdoa semoga Tuhan melambatkan lajunya waktu. Alhasil, saat menghadapi ujian, dari total 3 hingga 4 soal, satu atau dua soal tidak bisa saya kerjakan karena belum sempat saya pelajari di hari sebelumnya.
Ada juga kasus lain yang terjadi. Ada satu mata kuliah yang memiliki materi ujian yang luar biasa banyak. Ada banyak metode yang digunakan untuk menyelesaikan berbagai soal. Saya berusaha mati-matian untuk belajar dan mengerti semuanya dan akhirnya saya berhasil menguasai semua metode. Tetapi, pada saat mengerjakan ujian, saya sadar bahwa saya melupakan satu poin penting. Saya lupa mempelajari bagaimana cara menentukan metode mana yang cocok untuk mengerjakan soal yang ada. Alhasil, waktu ujian banyak saya habiskan untuk berpikir keras dan akhirnya saya tidak berhasil mengerjakan soal ujian dengan lengkap karena kurangnya waktu.
Di kampus saya, ada yang dinamakan semester pendek. Semester pendek adalah semester tambahan berdurasi kurang lebih 2 bulan yang dikhusukan untuk mahasiswa yang ingin mengulang mata kuliah yang masih bernilai buruk atau yang ingin mengambil mata kuliah umum. Daripada mata kuliah saya yang perlu diulang semakin menumpuk, lebih baik saya mengambil semester pendek. Tetapi, ada harga yang harus saya bayar, saya akan kehilangan liburan yang kurang lebih berdurasi 3 bulan.
Semester pendek dimulai, saya mengambil dua mata kuliah hitungan yang masih mendapat nilai buruk. Ternyata, sensasi semester pendek sungguh berbeda. Semester biasa, biasanya, akan berdurasi selama 4 bulan. Tetapi, semester pendek hanya berdurasi 2 bulan saja dan dengan materi yang sama dengan semester biasa. Jalannya materi lebih cepat dari semester biasa, waktu untuk belajar sebelum ujianpun juga akan lebih cepat.
Kamu pikir saya akan kesulitan di semester pendek karena daya tangkap saya lambat? Salah, Kawan. Dengan jalannya materi yang mau tidak mau harus cepat dan ringkas, saya justru lebih bisa mengerti konsep dasar dari tiap mata kuliah. Pada semester biasa, semua detil materi dijabarkan dengan berbagai variasi soal yang kemungkinan akan keluar. Hal itu akan membuat saya merasa materi yang akan diujikan terlampau banyak. Secara alam bawah sadar, saya telah tertekan oleh anggapan saya terhadap banyaknya materi. Tapi, di semester pendek, semua materi terasa ringkas dan tidak terlalu banyak. Hal ini membuat saya tenang dan bisa belajar dengan fokus.
Tak terduga, ternyata hasil semester pendek cukup cemerlang. Saya berhasil meningkatkan nilai saya yang tadinya D menjadi B. Ternyata inilah kuncinya, saya harus membuat segalanya menjadi ringkas agar saya merasa bahwa materi yang akan diujikan sedikit.
Tibalah semester 3. Kebanyakan, mata kuliah di semester 3 lebih aplikatif. Yang saya maksud dengan aplikatif adalah mata kuliah yang benar-benar bisa langsung diterapkan di pekerjaan, seperti ekonomi yang berhubungan dengan investasi, menghitung biaya dan keuntungan perusahaan, menganalisis efektivitas dan efisiensi gerakan pekerja, dan company management. Bagus, saya lebih suka mata kuliah yang seperti ini, saya tahu dengan jelas apa yang saya pelajari beserta kegunaannya.
Seperti semester pendek, saya berencana untuk "membuat" materi pada semester ini menjadi ringkas. Bagaimana caranya? Tidak, saya tidak meringkas materi dengan menulis rangkuman. Saya tidak pernah bisa belajar dengan menulis rangkuman. Pernah saya mencobanya dan hasilnya adalah setelah saya selesai merangkum, saya harus membaca ulang rangkuman saya dari awal lagi. Saya tidak bisa merangkum sambil belajar. Hal itu akan memakan waktu lama sedangkan materi yang harus dirangkum sangat banyak.
Saya mencoba "meringkas" materi kuliah dengan mengurangi perhatian saya pada materi ketika sedang mengikuti kelas. Saya tahu, cari ini memang sedikit gila. Tapi, siapa tahu efektif bagi orang seperti saya? Begitulah, selama sebelum UTS, saya banyak tidak memerhatikan penjelasan tentang materi kuliah. Bahkan, beberapa kali tidak masuk karena saya merasa jenuh masuk kelas terus menerus. Saya butuh istirahat.
Bicara soal jenuh ya? Jika saya lihat kembali, semester 3 adalah masa di mana saya benar-benar merasa jenuh dengan kuliah. Sejujurnya, saya tidak jenuh dengan perkuliahan, saya hanya jenuh dengan rutinitas saya yang setiap harinya begitu-begitu saja. Pagi kuliah, selesai kuliah sore, sehabis itu mungkin mencari makan atau sekedar jalan-jalan dengan teman-teman, lalu pulang. Esok harinya begitu lagi, dan esoknya lagi juga begitu. Begitu terus hidup saya selama setahun.
Satu-satunya libur yang paling panjang yang saya dapatkan hanyalah sekitar sebulan pada saat libur semester ganjil. Tapi, selama saya libur, bisa dikatakan saya tidak melakukan apapun yang produktif ataupun sekedar berekreasi. Jadwal libur saya dengan jadwal libur kebanyakan teman-teman saya di Jakarta selalu saja tidak cocok. Ketika saya libur, mereka sibuk kuliah. Ketika saya sudah mulai masuk semester baru, mereka baru saja akan libur. Belum hilang jenuh saya, saya sudah harus kembali masuk kuliah. Kejenuhan saya membuat niat saya untuk belajar memudar.
Setelah beberapa lama saya "meringkas" materi kuliah, pekan UTS tiba. Tadinya, rencana saya dalam metode belajar "meringkas" ini adalah pada saat UTS, saya akan menanyakan kepada teman-teman saya apa saja materi yang dipelajari dan, otomatis, saya akan mendapat materi-materi yang akan diujikan dalam bentuk poin. Ini akan memudahkan saya untuk belajar karena materi sudah terasa ringkas. Sayangnya, hidup tidak semudah itu.
Memang benar dugaan saya, saya mendapatkan materi yang akan diujikan dalam bentuk ringkas. Tapi, pengetahuan saya tentang materi yang akan diujikan benar-benar sedikit karena saya jarang memperhatikan penjelasan dosen, sehingga ketika belajar bersama, saya harus minta diajarkan dari awal lagi. Ternyata, metode ini adalah ide paling buruk yang pernah muncul dalam otak saya. Hampir setiap mata kuliah membuat saya kaget akan materi-materi yang benar-benar asing bagi saya. Akhirnya, saya akan membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dari yang tersedia untuk belajar.
Hancurlah nilai-nilai UTS saya. Ini adalah nilai-nilai UTS saya yang paling buruk sepanjang sejarah. Ketika kebanyakan teman-teman saya menginjak batu lompatan pada semester 3, saya justru tersandung batu dan jatuh ke tanah. Saya sangat menyesal akan kesalahan saya kali ini.
Masih ada yang mengganjal di hati saya. Sekarang saya bingung bagaimana cara saya "meringkas" materi-materi kuliah. Saya sudah jera tidak memperhatikan dosen ataupun bolos kelas..........yah, kecuali jika saya bolos karena terlambat bangun, semua mahasiswa pasti pernah terlambat bangun.
Tenang, masih ada UAS. Oke, kali ini, saya akan tetap memerhatikan penjelasan dosen dan rajin mengikuti perkuliahan. Semua materi akan saya kenali satu per satu, walaupun belum sepenuhnya mengerti. Tiba-tiba saya mendapat ide. Mengapa tidak mempelajari dan berusaha menguasai beberapa materi yang sering ditekankan oleh dosen saja? Saya tahu, ini juga ide gila dan berisiko tinggi. Tapi, saya merasa lebih baik benar-benar menguasai beberapa materi yang sering muncul daripada mempelajari semua materi yang sangat banyak tapi hanya bisa mengerjakan setengah-setengah.
Metode belajar ini saya sebut dengan gambling. Metode ini mencoba menerka-nerka materi apa saja yang akan keluar, sisanya , terserah Tuhan. Saya perhatikan selama kuliah, materi mana saja yang ditekankan oleh dosen dan materi mana saja yang sering ditanyakan dalam ujian tahun-tahun sebelumnya. Saya kumpulkan hasil penelitian saya dan saya ambil kesimpulan. Saya akan berusaha benar-benar menguasai semua materi yang sering keluar di ujian dan yang, selama kuliah, ditekankan oleh dosen. Saya bukannya tidak mempelajari materi-materi yang jarang keluar di ujian, saya hanya memprioritaskan yang sering keluar di ujian. Yang jarang keluar di ujian tetap saya pelajari, namun tidak terlalu dalam.
Berhasil! Saya berhasil menguasai materi-materi yang sering keluar di ujian. Saya hapal langkah-langkah pengerjaannya, saya mengerti konsepnya, dan saya bisa melakukan perhitungan-perhitungan yang diperlukan. Kini, saya bisa menghadapi UAS dengan percaya diri.
Seperti halnya gambling, apa yang saya pelajari bisa jadi keluar, bisa juga tidak. Saya sudah menguasai sekitar 70% dari seluruh materi. Sayangnya, soal ujian yang muncul kali ini, kebanyakan, adalah 30% sisanya. Sial! prediksi saya banyak yang meleset. Akhirnya, dari total 3 soal, saya hanya bisa mengerjakan 2 soal. Walaupun ada yang 3 soal berhasil saya kerjakan, pasti tidak sampai pada jawaban akhir, alias setengah-setengah.
Ternyata metode gambling ini tidak efektif. Maka, dengan ini, nilai-nilai semester 3 saya, mayoritas, buruk. Lebih buruk dari nilai-nilai di semester 2. Saya hanya dapat menghela napas melihat nilai-nilai di semester 3.
Oke, ini tidak boleh terus berlangsung. Saya sudah menempuh 3 semester tanpa menemukan metode belajar yang cocok untuk saya. Mau sampai kapan nilai-nilai saya buruk? Saya harus segera menemukan cara belajar yang cocok untuk saya sebelum mata kuliah yang perlu saya ulang semakin menumpuk.
Sebenarnya, masih ada satu cara belajar yang terbersit di kepala saya tapi belum pernah saya coba. Cara ini sebenarnya adalah cara yang telah diakui selalu efektif. Tapi, cara ini membutuhkan sesuatu yang saya tidak sering lakukan. Cara ini dinamakan dengan mencicil pelajaran. Cara ini membutuhkan ketekunan dan pelakunya harus rajin mencicil. Saya tidak pernah melakukan cara belajar yang satu ini karena saya kenal dengan banyak orang bernilai bagus dari SMA dan kuliah tidak pernah melakukan hal ini. Mereka cenderung sama dengan saya. Mereka hanya belajar apabila akan ada kuis, tugas, dan ujian.
Saya adalah orang yang santai, terlalu santai bahkan. Melakukan sesuatu, apalagi "sesuatu" itu adalah belajar, secara rutin adalah hal yang asing bagi saya. Saya lebih suka melakukan segala hal secara berkala, tapi tidak setiap hari. Tetapi, cara ini harus dicoba jika saya ingin nilai-nilai saya membaik.
Semester 4 telah tiba, eksperimen kembali dimulai. Saya sudah membeli sebuah buku catatan baru. Buku ini akan saya gunakan untuk mengulang pelajaran setiap hari. Yah, rencananya begitu.
Sayang sekali, Kawan, proses mencicil saya hanya bertahan selama seminggu. Pada minggu kedua semester 4, rasa malas saya sudah mengalahkan niat saya untuk mencicil pelajaran. Saya tidak tahan jika harus belajar terus setiap hari. Mungkin lebih tepatnya, tidak biasa. Akhirnya, saya ubah cara belajar saya dari mencicil pelajaran setiap hari jadi setiap minggu. Saya berencana, setiap hari Jumat atau Sabtu, saya akan mengulang kembali semua pelajaran yang saya dapatkan selama seminggu tersebut.
Sayang sekali, proses cicilan mingguan ini juga hanya bertahan selama seminggu. Saya heran dengan diri saya sendiri. Saya adalah orang yang tekun dan rajin apabila saya mempelajari sesuatu yang saya sukai. Tapi, apabila mengenai akademik, saya seringkali terlalu malas. Saya menemukan bahwa mencicil setiap minggu berarti mengulang semua materi yang saya dapatkan dari sekian banyak mata kuliah. Ternyata, hal itu memakan waktu yang lama dan membuat saya kelelahan pada hari-hari yang seharusnya saya gunakan untuk beristirahat.
Pada semester 4, banyak mata kuliah yang bersifat aplikatif sehingga mahasiswa banyak diberikan tugas kunjungan pabrik untuk meneliti sistemnya sesuai dengan subjek mata kuliahnya. Pada semester 4 ini, juga ada sebuah praktikum yang mengharuskan mahasiswa mengumpulkan laporan dan tugas pendahuluan setiap minggu. Jadi, bisa dikatakan, semester 4 adalah semester yang sibuk akan tugas dan laporan. Tapi tanpa disadari, semua tugas tersebut telah membantu mahasiswa untuk lebih mengerti mengenai materi masing-masing mata kuliah.
Saya akan ubah sistem cicilan saya dari setiap minggu menjadi setiap ujian. Oke, mungkin terdengar sama saja dengan sistem kebut semalam. Tapi, kali ini, saya menambahkan waktu belajar seminggu sebelum ujian. Jadi, totalnya, saya akan belajar dua kali untuk setiap mata kuliah, seminggu sebelum ujian dan sehari sebelum ujian.
Ada satu mata kuliah yang saya benar-benar tidak mengerti. Walaupun saya sudah mencoba memerhatikan penjelasan dosen, saya tetap tidak mengerti apapun. Akhirnya, seminggu sebelum UTS, saya meminta Rio untuk mengajarkan saya mata kuliah tersbeut. Masih ingat Rio? Ini orangnya jika kamu lupa.

Rio mengajarkan saya mengenai mata kuliah yang satu ini. Saya hanya belajar bertiga waktu itu dengan teman saya. Setelah Rio mengajarkan saya, setidaknya saya mengerti 3/4 dari seluruh materi. Untungnya, waktu itu, materinya belum terlalu banyak, sehingga materi masih bisa terkejar. Saya hanya perlu latihan untuk memantapkan pengertian.
Untuk mata kuliah lain, saya sanggup mengulang sendiri tanpa bantuan orang lain karena saya pikir saya sudah cukup mengerti. Hari-hari sebelum ujian saya belajar dengan banyak orang, terkadang dengan Tasya, kadang dengan Rio, kadang juga belajar sendiri juga bisa.
Tak terduga, ternyata, hasil UTS saya lebih bagus dari biasanya kecuali untuk mata kuliah yang kurang saya kuasai. Akhirnya, setelah sekian lama, saya bisa tersenyum melihat nilai UTS saya. Berhasil! Saya menemukan cara belajar yang cocok untuk saya.....atau setidaknya, saya pikir saya menemukan cara belajar yang cocok.
Mari saya perjelas lagi. Jika dipikir-pikir, saya mendapat nilai UTS yang yang cukup baik karena, sejak awal, saya sudah mengerti materi-materi yang akan diujikan. Tapi bagaimana jika saya banyak tidak mengerti materi-materi yang akan diujikan? Nah, hal itu terjadi saat akan UAS.
Setelah UTS, materi dari setiap mata kuliah yang diajarkan cenderung lebih sulit dan kompleks. Metode-metode yang digunakan semakin banyak. Dikarenakan banyaknya tugas dan laporan yang harus dikerjakan pada semester ini, saya kehilangan fokus akan materi kuliah.
Hingga seminggu sebelum UAS, saya hampir tidak mengerti apa-apa. Saya minta diajarkan Rio tentang mata kuliah yang waktu itu pernah diajarkannya pada saya, dia mengatakan bahwa dia juga tidak mengerti untuk materi UAS. Kemudian, saya tanya Tasya, ternyata dia juga belum mengerti tentang materi mata kuliah tersebut karena belum mengulang materi. Saya mulai panik. Apa yang harus saya lakukan?
Setelah pekan UTS selesai, Rio dan beberapa teman dari jurusan pindah dari kostnya dan mengontrak rumah. Rumah ini sering dipakai sebagai tempat berkumpul, bermain, dan belajar. Sehari sebelum UTS, saya bingung harus belajar dengan siapa dan hari sudah keburu malam. Saya belum belajar sama sekali. Tiba-tiba saya mendengar ada kabar bahwa banyak teman-teman yang belajar bersama di kontrakan Rio. Daripada saya tidak belajar sama sekali, lebih baik saya belajar bersama di sana.
Kamu tahu, Kawan? Ternyata, belajar bersama di kontrakan Rio adalah ide yang sangat bagus. Begitu saya masuk ke dalam, ada banyak teman seangkatan saya yang belajar dalam kelompok. Ada yang belajar di ruang tengah, ada yang belajar di kamar, dan ada yang belajar di teras.
Semua belajar berkelompok. Dalam setiap kelompok, ada "guru"-nya masing-masing yang sudah menguasai beberapa materi. Misalnya, saya sedang belajar materi A di ruang tengah. Setelah saya mengerti materi A, saya hanya perlu berjalan ke ruangan lain dan menanyakan "apakah ada yang mengerti materi B?" Jika ada, maka saya akan minta diajarkan oleh teman saya di sana bersama teman-teman lain yang belum mengerti tentang materi B. Di sana, saya telah banyak diajari oleh Dira dan Michael. Ini dia orangnya.


Kelebihan belajar di kontrakan adalah di sana berkumpul teman-teman seangkatan yang berasal dari berbagai kelas. Dengan begitu, bahan soal untuk latihan akan lebih banyak, tips-tips untuk mengerjakan soal akan lebih banyak, teman-teman yan mengerti berbagai materi juga lebih banyak. Tapi, jika belajar di kontrakan, saya harus kuat begadang. Biasanya, kami belajar di kontrakan apabila esok harinya, ujian diadakan pada siang hari atau pagi menuju siang. Siklusnya begini : belajar dimulai pada malam hari, sekitar jam 8 atau 9 malam. Kemudian, kami akan belajar terus menerus hingga dini hari. Setelah kami merasa siap, kami menginap dan tidur di sana hingga pagi tiba. Saat pagi tiba, kami bisa pulang ke rumah dan kost masing-masing untuk mandi dan bersiap-siap atau kami meneruskan belajar dan menumpang mandi di kontrakan. Baru setelah itu kami berangkat ke kampus untuk ujian.
Strategi dari setiap orang pun berbeda-beda. Ada yang tidur terlebih dahulu sekitar beberapa jam sebelum mulai belajar dan belajar terus hingga pagi. Ada yang belajar terlebih dahulu, ditengah-tengah baru tidur beberapa jam dan paginya kembali belajar. Ada yang menginap. Ada yang pulang dini hari. Semua orang belajar dengan strateginya masing-masing. Menurut saya, hal itu cukup lucu dan kesan kebersamaan di sini sangat terasa.
Saya belajar seperti itu selama pekan UAS berlangsung. Luar biasa, ternyata, hasil UAS saya cukup bagus dan berhasil mendongkrak nilai-nilai saya yang jatuh pada semester-semester yang lalu. Saya sampai terheran-heran sendiri. Untuk pertama kalinya, dalam satu semester, saya hanya perlu mengulang satu mata kuliah saja. Sisanya, lulus!
Sebenarnya, nilai-nilai saya tidak meningkat hanya karena ujian. Nilai-nilai ujian saya sejujurnya tidak terlalu bagus, bisa dikatakan menengah ke atas. Tapi, jika dibandingkan dengan nilai-nilai ujian saya pada semester-semester yang lalu, nilai ujian saya kali ini cukup bagus. Yang benar-benar mendongkrak nilai saya, ternyata, adalah nilai tugas dan kuis. Oke, saya tidak menjamin nilai kuis saya bagus, tapi saya mengumpulkan dan mengerjakan semua tugas yang diberikan. Ternyata, nilai tugas saya bisa dikatakan tinggi dan hal itu benar-benar mendongkrak nilai saya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa mendapat tugas yang banyak memang menyebalkan dan menyita waktu. Tapi, jika dilihat sisi baiknya, tugas sangat membantu saya untuk mengerti materi kuliah dan mendongkrak nilai-nilai ujian saya. Jangan pernah remehkan tugas, Kawan.
Tunggu dulu, cerita belum selesai. Sekarang, saya sedang menempuh semester 5 dan saya baru saja melewati pekan UTS. Mata kuliah di semester 5 yang melibatkan perhitungan bisa dikatakan hanya sedikit. Selama sebelum pekan UTS, kami, para mahasiswa, mendapatkan banyak tugas dan laporan yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang tertentu. Tugas-tugas tersebut terhitung banyak dan kami harus mengorbankan banyak waktu istirahat kami untuk menyelesaikan tugas.
Dalam waktu seperti ini, sakit adalah hal yang harus saya hindari. Untungnya, Tuhan memberikan saya karunia daya tahan tubuh yang cukup kuat sejak kecil sehingga ketika saya kurang istirahat, saya tidak mudah sakit. Tapi, hali ini bukan berarti saya tidak bisa sakit. Jika saya terus kekurangan waktu tidur dan terus merasa kelelahan, cepat atau lambat, saya yakin saya akan sakit. Untuk menghindari itu, saya lebih banyak tidur pada pagi hari setelah tugas diselesaikan. Tapi, ada harga yang harus saya bayar untuk mendapatkan waktu istirahat. Saya harus mengorbankan beberap absen saya. Saya sudah beberapa kali tidak masuk kelas dan, tentu saja, saya telah tertinggal beberapa materi kuliah. Biasanya, saya hanya mengerti setengah dari sekian banyak materi.
Keadaan saya kurang lebih seperti keadaan saya pada saat sebelum pekan UAS di semester 4 yang lalu. Saya tidak mengerti sebagian besar materi kuliah. Hari ketiga UTS semester 5 adalah ujian yang melibatkan perhitungan. Seperti biasa, saya belajar di kontrakan Rio. Sepertinya, materi mata kuliah ini tidak sesulit mata kuliah semester 4 karena ketika saya sampai di kontrakan, teman-teman yang belajar tidak sebanyak biasanya. Selama di kontrakan, saya diajarkan oleh teman saya, namanya David, ini dia orangnya.

Pada hari kesekian, mata kuliah yang akan diujikan adalah mata kuliah yang perhitungannya cukup sulit sehingga saya membutuhkan teman untuk belajar. Hari sudah malam, saya pun menghubungi senior saya yang dua tahun lebih tua dari saya, Erik, ini dia orangnya.

Coba saya ceritakan dulu tentang Erik. Pertama kali saya kenal dengan Erik adalah di suatu komunitas perkusi di kampus saya. Erik adalah orang yang spontan dan suka bercanda. Saya suka mengobrol dengannya dan bertukar cerita karena pikirannya terbuka dan topik yang bisa dibicarakan sangat fleksibel, mulai dari hal yang serius sampai hal yang melantur.
Erik adalah orang yang rela berkorban dan senantiasa membantu orang lain yang membutuhkan pertolongannya. Selama semester pendek kedua, saya selalu diajari oleh Erik karena kami kebetluan mengambil mata kuliah yang sama. Tak peduli, siang, pagi, ataupun malam, jika saya meminta diajarkan untuk ujian ataupun kuis, Erik akan membantu saya.
Malam itu, saya belajar dengan Erik. Sayangnya, saat itu, Erik juga belum mengerti mata kuliah yang saya tanyakan. Dia hanya mengerti konsep dasarnya saja, tapi kurang mengerti soal hitungan. Maka, sayapun diajarkan oleh Erik hingga saya benar-benar mengerti konsep dasarnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Saya masih harus belajar mengenai hitungan, jika tidak, saya tidak akan bisa mengerjakan ujian besok. Saya bingung harus belajar di mana lagi. Kemudian, saya menghubungi teman saya, Bowo.

Sewaktu kuis, saya duduk di sebelah Bowo, dan saya melihat bahwa dia mengerjakan dengan cukup lancar. Maka saya memutuskan untuk belajar dengannya malam ini. Kami belajar di kost teman yang berada di daerah Tubagus Ismail bersama dengan teman-teman yang lain.
Kami belajar berenam semalaman. Ternyata, di antara kami berenam, tidak ada yang benar-benar menguasai materi. Tapi, hal itu bukanlah penghambat. Namanya juga belajar bersama, artinya di sana semua orang belajar. Kami berpedoman pada slideshow yang ditampilkan pada saat kelas dan buku cetak. Kami mulai dari materi paling awal hingga paling akhir. Setiap soal yang kami kerjakan benar-benar kami diskusikan hinga didapat jawaban yang tepat. Setelah jawaban kami dapatkan, kami melihat jawaban yang tercantum pada slideshow dan mencocokkannya dengan jawaban kami. Jika hasil jawaban kami cocok, maka kami akan lanjut. Jika jawaban kami tidak cocok, kami akan kembali berdiskusi dan memikirkan kembali mengapa jawaban kami salah dan mengapa jawaban di slideshow menggunakan cara yang lain.
Memang, mungkin cara ini membutuhkan waktu yang lama. Tapi, apa yang saya alami di sana, kami saling bertanya, kami saling menjelaskan, dan kami saling berdiskusi. Dengan bertanya, kami akan mendapatkan jawaban yang benar. Dengan menjelaskan, kami jadi tahu benar mana yang kami benar-benar mengerti dan mana yang kami pikir kami telah mengerti. Semua orang ingin mendapatkan jawaban yang benar. Oleh karena itu, kami memaksa diri kami masing-masing untuk berpikir. Ternyata, hal itu telah membuat materi yang kami pelajari benar-benar masuk ke otak. Suasana belajarpun sangat santai dan menyenangkan. di sela-sela soal kami bercanda dan tertawa-tawa semalaman. Santai, tapi kondusif.
Keesokan harinya, saya kurang lebih bisa mengerjakan ujian. Yang menghambat saya adalah kasus soal yang jarang atau tidak pernah saya lihat sebelumnya, seperti soal-soal yang membutuhkan asumsi tersendiri, variabel perhitungan yang lebih banyak dari biasanya, dan lain-lain. Jika soalnya tidak serumit itu, saya yakin saya dapat mengerjakan semuanya.
Kawan-kawan, begitulah kurang lebih kisah perjuangan saya dalam bertahan hidup di dunia perkuliahan. Terlihat bukan, perbedaan siswa dengan mahasiswa? Ketika kamu masuk ke dunia perkuliahan, kamu akan mengalami perubahan yang signifikan. Singkatnya, kamu harus bisa bermetamorfosis. Jangan terlalu lama menjadi ulat, jangan pula terlalu lama juga menjadi kepompong. Tapi, jangan terlalu cepat juga menjadi kupu-kupu. Carilah caramu sendiri untuk segera berubah menjadi kupu-kupu secara bertahap. Belajar itu berjalan, bukan berlari, bukan merangkak, bukan berguling, bukan melompat.
Kuliah di jurusan ini memang jauh dari mudah. Jangan kamu pikir bahwa saya tidak pernah berpikir untuk pindah jurusan. Wah, sering, beberapa kali saya terpikir untuk mundur. Tapi, ada satu hal yang membuat saya tetap bertahan di sini. Saya melihat bahwa banyak teman-teman saya yang bisa mendapatkan nilai bagus dan terus bertahan meskipun kegiatan di luar kuliahnya juga banyak. Mengapa saya tidak bisa? Saya yakin saya bisa, saya hanya belum mendapatkan cara yang tepat. Selama dua tahun ini, saya terus berusaha mengenali diri saya sendiri. Saya terus berusaha untuk mendapatkan cara belajar yang tepat untuk saya. Intinya, saya hanya penasaran. Hal yang membuat saya terus bertahan adalah saya penasaran dengan diri saya sendiri, kenapa nilai-nilai saya terus terjatuh sedangkan banyak teman-teman saya yang bisa mendapatkan nilai yang cukup bagus.
Jangan takut untuk bereksperimen, Kawan. Kenalilah dirimu sebaik-baiknya. Bahkan, sampai sekarang, saya masih belum mendapatkan cara yang benar-benar tepat untuk belajar. Tapi, pada akhirnya, saya sadar bahwa tidak ada cara yang benar-benar tepat, yang ada hanya cara yang lebih tepat.
Dari cerita ini, pelajaran yang bisa kita petik adalah kita harus sadar bahwa kita membutuhkan orang lain untuk hidup. Sudah kodratnya, Kawan, manusia adalah makhluk sosial. Sehebat apapun seorang dokter, dia akan tetap membutuhkan dokter lain ketika dia sakit. Sehebat apapun seorang pemimpin, dia akan tetap membutuhkan bawahan-bawahannya untuk mencapai tujuannya. Sehebat apapun saya, saya tidak ada apa-apanya di sini tanpa adanya keberadaan teman-teman saya.
Dengan cerita ini, saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Tasya, Rio, Dira, David, Michael, Erik, dan semua teman-teman lain yang telah berjasa membantu saya dalam belajar yang tak bisa saya sebut satu per satu di sini. Kalian semua penting bagi saya, kalian semua pahlawan saya, dan kalian semua adalah inspirasi bagi saya. Saya harap, kita bisa terus saling membantu dalam belajar hingga tiba waktunya kita bisa mengenakan toga dan topi sarjana dengan bangga, Amiin :).
"I have no special talent, I am only passionately curious"
- Albert Einstein
Comments