Cinta Sejati
- Indra Ajidarma Sadewo
- Jan 13, 2017
- 11 min read
Jarang ya saya membahas tentang cinta? Bukan, saya bukan seorang pakar cinta kok. Pacar saja saya tidak punya, menikah juga belum, tahu apa saya soal cinta? Kalau saya ditanya apa itu definisi cinta, saya tidak bisa jawab. Saya hanya tahu bahwa cinta itu adalah perasaan yang melibatkan kasih sayang dan perhatian yang mendalam. Saya tidak peduli dengan penyebabnya, entah karena hormon yang dihasilkan oleh otak atau karena ditimbulkan oleh organ imajiner yang biasa kita sebut "hati".
Dari mana saya bisa belajar dan sekarang sok tahu membahas soal cinta kalau saya sendiri saja tidak mengerti? Apalagi judul pos saya ini "Cinta Sejati". Cinta saja sudah susah dijelaskan, pakai ada kata "Sejati" segala.
Kawan-kawan, saya belajar tentang cinta dari kakek saya. Ini bukan kakek yang saya ceritakan di pos sebelumnya, itu ayah dari ayah saya. Kakek saya yang satu ini adalah ayah dari ibu saya, dari beliaulah saya belajar mengenai cinta yang tulus.
Bapak H. R. Hertatijanto, biasa saya panggil Eyang Kung Kemang (Penambahan nama "Kemang" bisa kamu lihat penyebabnya di pos saya sebelumnya) atau Eyang Kung saja, adalah seorang pejuang kemerdakaan di masa mudanya. Setelah melepas jabatan di militer, beliau bekerja di sebuah media cetak menjadi seorang wartawan sekaligus jurnalis. Saya rasa, kemampuan saya menulis berasal dari beliau.
Eyang Kung memiliki sifat yang sangat santun, jujur, disiplin, bijaksana, dan lembut. Selama hidup saya, tidak pernah sekalipun saya melihatnya berwajah masam. Senyum hampir tidak pernah terhapus dari wajahnya. Orang akan secara otomatis merasa senang dan nyaman jika berada di dekatnya.
Jujur saja selama ini, saya kurang dekat dengan Eyang Kung. Percakapan cukup panjang yang pernah kami lakukan adalah pada saat kami sedang makan siang di rumah sakit. Saat itu, Eyang Putri, istri dari Eyang Kung, sedang dirawat di rumah sakit. Saya, ibu saya, dan Eyang Kung sedang mejenguknya. Waktu sudah menunjukkan pukul 1, sudah waktunya makan siang. Ibu saya harus menjaga Eyang Putri di kamar rawatnya, sedangkan saya dan Eyang Kung pergi ke kantin.
Eyang Kung memesan nasi tim kesukaannya di kantin rumah sakit dan saya memesan spaghetti. Kami tidak banyak bercakap-cakap selama makan siang. Saya pun berpikir, sepertinya saya kurang mengenal Eyang Kung. Saya tidak tahu masa lalunya, saya tidak tahu karir pekerjaannya dulu, saya tidak tahu apa keahliannya. Saya hanya tahu bahwa dia pernah bekerja di Bank Indonesia dan salah satu keahliannya adalah bermain harmonika.
Saya tahu orang yang sudah tua sangat senang bercerita. Sayapun memulai percakapan dengan menanyakan tentang masa lalunya. Eyang terlihat antusias begitu mendengar pertanyaan saya. Eyang mulai bercerita dari masa kecilnya yang tak cukup beruntung untuk mengenal ayahnya karena beliau sudah meninggal sebelum Eyang lahir. Setelah menamatkan SMA, Eyang masuk akademi militer untuk berperang melawan penjajah. Hidupnya sungguh keras di masa penjajahan.
Setelah beberapa lama, Eyang melepas jabatannya di militer sebagai letnan 2 muda untuk meneruskan studinya di Universitas Indonesia. Beliau mengambil jurusan hukum di UI. Eyang tinggal di sebuah rumah kost selama kuliah. Ibu kostnya memiliki beberapa anak perempuan, di sanalah Eyang Kung bertemu dengan Eyang Putri, cinta sejatinya.
Setelah Eyang Kung lulus kuliah dengan gelar Sarjana Hukum, beliau bekerja di sebuah media cetak untuk menjadi seorang reporter dan jurnalis. Perjalanan berkarirnya sungguh tidak mudah, bahkan harus mempertaruhkan nyawa. Pernah suatu kali Eyang ditugaskan untuk meliput berita di Mesir. Saat itu, di Mesir sedang ada perang yang menyebabkan negara tersebut sulit untuk dimasuki oleh warga negara asing. Eyang telah berhasil masuk ke Mesir dan berhasil meliput berita. Tapi, ada sebuah masalah, Eyang mengalami kesulitan untuk keluar dari Mesir.
Akibat keadaan perang di sana, lalu lintas untuk masuk dan keluar negara tersebut sangat terhambat. Beberapa rekan kerja Eyang telah gugur dalam perjuangan meliput berita. Tapi, entah bagaimana, Eyang mendapat kesempatan untuk membeli tiket pesawat untuk kembali ke Indonesia dari seorang temannya. Akhirnya, Eyang membeli tiket pesawat dan akhirnya pulang ke Indonesia dengan selamat. Tuhan masih melindungi Eyang.
Setelah beberapa lama bekerja di media cetak, Eyang keluar dari media cetak dan mencoba untuk melamar kerja ke Bank Indonesia. Setelah diwawancara, ternyata beliau diterima bekerja di sana. Setelah itu, Eyang terus bekerja di BI hingga pensiun.
Begitulah kira-kira yang beliau ceritakan kepada saya. Saya pun saat itu sedang menjadi seorang jurnalis sebuah majalah di jurusan saya. Mendengar itu, Eyang senang karena cucunya mengikuti jejaknya menjadi seorang jurnalis. Kami terus mengobrol hingga kami kembali ke kamar rawat Eyang Putri. Dengan percakapan itulah saya jadi lebih mengenal Eyang Kung. Eyang pun ternyata telah menulis sebuah buku biografi hidupnya yang dicetaknya sendiri untuk dibagikan ke keluarga dan kerabat dekatnya. Tahulah saya darimana kegemaran menulis saya berasal.
Umur Eyang Kung sudah mendekati 90 tahun, umur yang sudah tergolong tua. Tapi, Eyang masih terlihat gagah ketika berjalan. Di saat rata-rata orang tua seumurannya sudah memerlukan kursi roda untuk berpindah tempat, Eyang Kung masih bisa berjalan sendiri hanya dengan bantuan sebuah tongkat. Penyakit yang dideritanyapun terhitung sedikit.
Nah, soal cinta yang tadi saya katakan saya pelajari dari Eyang, Eyang tidak mengajarkan saya secara lisan ataupun tulisan seperti kuliah. Saya hanya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri bagaimana perlakuan Eyang terhadap orang yang beliau cintai.
Pernah suatu hari, Eyang dan sekeluarga besar, termasuk saya, pergi ke bandung untuk berlibur. Kami menginap di sebuah rumah penginapan di daerah Tubagus Ismail. Saat itu, kami berencana untuk berjalan-jalan di kota. Semua orang sudah ganti baju dan bersiap untuk berangkat, Eyang Kung pun turut serta. Saat kami mulai berjalan keluar rumah, tampak Eyang Putri sedang duduk sendirian di ruang tamu.
"Kamu nggak ikut?" Tanya Eyang Kung pada Eyang Putri.
"Nggak, aku lagi capek," jawab Eyang Putri. Sejenak, Eyang Kung terlihat diam di tempat sambil menatap Eyang Putri. Tiba-tiba Eyang Kung berjalan menuju sofa yang diduduki Eyang Putri.
"Lho, kamu nggak jadi pergi?" Tanya Eyang Putri kebingungan.
"Nggak ah, aku nemenin kamu di sini aja, kasian kamu sendirian," kata Eyang Kung sambil duduk di samping Eyang Putri. Kami sekeluarga tersenyum melihat perlakuan manis Eyang Kung pada istri tercintanya.Sehari-hari, mereka menjalani hidup bersama, merasakan sepinya rumah yang sudah ditinggalkan anak-anaknya bersama, merasakan suasana ramai saat keluarga mengunjunginya bersama, menghabiskan pagi, siang, sore dan malam bersama. Eyang tidak tega membiarkan Eyang Putri duduk sendirian dalam sepi tanpa dirinya. Maka, duduklah pasangan suami istri tersebut sambil menonton televisi, melengkapi diri mereka satu sama lain.
Eyang Putri sudah banyak menderita berbagai penyakit di masa senjanya. Tidak jarang Eyang Putri harus dirawat dirumah sakit, bahkan harus berobat ke Singapore. Eyang Putri juga termasuk kuat dan tegar dalam melawan penyakitnya, meskipun beliau seringkali jenuh dengan pengobatan yang harus dijalaninya secara rutin.
Jika Eyang Putri sedang dirawat di rumah sakit, Eyang Kung akan datang setiap hari untuk menjenguk Eyang Putri. Terus bepergian setiap hari seharusnya akan membuat orang seumuran Eyang Kung kelelahan. Tapi tidak bagi Eyang Kung, menjenguk Eyang Putri setiap hari adalah suatu keharusan baginya. Setiap kali aku menjenguk Eyang Putri di rumah sakit, saya selalu melihat Eyang Kung setia duduk di sampingnya.
Ketika Eyang Putri harus berobat ke Singapore, Eyang Kung akan turut serta menemaninya. Tidak, Eyang Kung ikut ke Singapore bukan untuk colongan pergi berlibur. Eyang Kung ikut serta, murni, untuk menemani dan menjaga Eyang Putri. Selama di sana pun, Eyang Kung tidak pernah meninggalkan sisi Eyang Putri. Saat Eyang Putri pergi, maka Eyang Kung akan ikut pergi bersamanya. Jika Eyang Putri istirahat di hotel, Eyang Kung pun akan menemaninya beristirahat di hotel. Bukan main, meskipun umurnya sudah tua, Eyang Kung masih tetap mengingat dan melaksanakan kewajibannya sebagai suami untuk menjaga istrinya.
Eyang Kung sangat menyayangi seluruh keluarganya. Beliau tahu apa makanan kesukaan cucu-cucunya sejak kecil. Setiap kali kami sekeluarga mengunjunginya di rumah pada hari Minggu malam, beliau akan memesankan Bakmi Gajah Mada kesukaan cucu-cucunya untuk dihidangkan di meja makan. Beliau bahkan menyajikan beberapa makanan yang sebenarnya tidak boleh dimakannya karena bisa memengaruhi tekanan darahnya. Beliau sengaja menyajikannya khusus untuk anak dan cucu-cucunya. Betapa Eyang peduli dan sangat mencintai seluruh keluarganya.
Eyang Kung adalah orang yang rajin beribadah dan cinta kepada Tuhan. Beliau tidak pernah memaksa kami untuk menunaikan shalat, beliau hanya mengajak. Eyang tahu bahwa shalat yang dilakukan karena terpaksa bukanlah ibadah yang baik. Shalat yang ditunaikan oleh hamba Allah adalah shalat yang dilakukan berdasarkan cintanya pada kepada Sang Pencipta. Jika kita sudah cinta dengan Tuhan, maka tidak ada yang tidak akan kita lakukan untuk-Nya. Eyang telah menemukan cintanya pada Tuhan dan kepada Tuhanlah Eyang berserah diri. Eyang begitu dekatnya dengan Tuhan sehingga beliau sudah siap untuk menghadap Tuhan kapanpun Tuhan memanggil.
Suatu hari, terjadi sebuah tragedi yang tak disangka-sangka. Pada malam hari, tiba-tiba listrik di rumah Eyang mati. Eyang Kung menyadari bahwa dirinya adalah kepala keluarga dan bertanggung jawab pada apa yang terjadi dalam rumahnya. Beliau berencana bangun dan mengambil senter untuk memastikan Eyang Putri tidak bangun sendiri dan berjalan dalam gelap. Beliau kuatir Eyang Putri bisa tersandung sesuatu ketika berjalan karena keadaan dalam rumah sangat gelap. Eyang Kung berusaha untuk bangun dengan memegang sisi tempat tidur sebagai topangan. Tak disangka, ternyata tangannya meleset, tangannya tidak mendarat di sisi tempat tidur. Hal tersebut membuat Eyang Kung yang sudah setengah berdiri kehilangan keseimbangan dan jatuh ke depan.
Kepala bagian kiri Eyang Kung membentur dinding dengan cukup keras. Benturan membuat kepalanya lebam dan bengkak. Saat itu, tak ada yang dapat menolongnya kecuali Tuhan dan dirinya sendiri. Beliau berusaha untuk berdiri dan menelepon paman saya untuk minta tolong diantar ke rumah sakit.
Anak-anaknya segera berdatangan ke rumahnya dan mengantarnya ke rumah sakit di daerah Pondok Indah. Eyang Kung dibawa ke unit gawat darurat dan segera mendapatkan penanganan medis. Tapi, lambat laun kesadaran Eyang Kung semakin menurun hingga akhirnya tak sadarkan diri.
Saya tidak bisa menceritakan detilnya karena saya sedang menjalani pekan ujian akhir semester di Bandung pada saat itu. Saya tidak tahu menahu soal kejadian tersebut. Yang saya dengar, Eyang Kung segera menjalani proses CT Scan untuk memeriksa apakah terjadi sesuatu pada otaknya atau tidak. Ternyata, hasilnya adalah telah terjadi pendarahan pada selaput pelindung otak. Pendarahan tersebut telah menekan otaknya hinga mencapai kedalaman 4 cm. Hal tersebut telah membuatnya kehilangan kesadaran.
Setelah hasil CT Scan keluar, Eyang segera menjalani operasi untuk mengeluarkan darah yang telah menekan otaknya. Alhamdulillah, operasi berjalan lancar dan Eyang ditempatkan di ICCU (Intensive Coronary Care Unit). Saat itu Eyang diberikan semacam obat bius untuk menidurkannya hingga, maksimal, dua hari agar otaknya diistirahatkan.
Dua hari telah berlalu, seharusnya pengaruh obat bius sudah hilang. Tapi, Eyang Kung masih terkulai lemas di tempat tidur rumah sakit, tak sadarkan diri. Setelah didiagnosa oleh dokter, secara resmi dokter telah menyatakan bahwa Eyang Kung dalam keadaan koma. Bahkan, kata dokter, kemungkinan sembuhnya kurang dari 10%.
Setelah selesai ujian, saya segera kembali ke Jakarta untuk menjenguk Eyang Kung. Sungguh sedih saya melihatnya terbaring tak sadarkan diri, tak bisa bergerak, tak bisa bicara. Dapat saya lihat bekas lebam dan jahitan di kepala bagian kirinya. Keadaan tekanan darah, napas, dan denyut jantungnya dipantau oleh mesin. Denyut jantungnya di bawah normal, tekanan darahnya di bawah normal, napasnya juga hanya dilakukan oleh mesin. Otaknya sudah tidak mampu memberi perintah pada paru-paru untuk bernapas.
"Eyang, cepet bangun ya, Eyang masih mau baca tulisanku kan? Nanti aku mau nulis tentang Eyang. Aku mau membuat dunia mengenal siapa Eyang, betapa santunnya Eyang, betapa dispilinnya Eyang, betapa lembutnya Eyang, betapa Eyang telah ngajarin aku apa arti cinta sejati," ujar saya kepada Eyang sambil memegang dan mengelus tangannya. Mata saya sudah berkaca-kaca dan suara saya tersendat karena menahan tangis. Eyang Kung adalah pembaca setia blog saya ini. Ibu saya pernah mencetak beberapa pos awal saya dan memberikannya pada Eyang Kung untuk dibaca. Eyang sangat senang membaca tulisan saya dan ingin terus membaca tulisan-tulisan saya selanjutnya.
Kawan, jika kamu pernah mendengar bahwa orang yang sedang dalam keadaan koma sebenarnya sadar, itu benar adanya. Hari pertama hingga ketiga sejak Eyang Kung koma, anak-anak dan cucu-cucunya yang menjenguknya masih seringkali meneteskan air mata. Kami terus mengajaknya berbicara dan mengobrol untuk menemani hari-harinya. Setiap kami mengajaknya bicara, tekanan darahnya yang tadinya di bawah normal naik jadi mendekati normal.
Pada hari keempat, Bayu, kakak saya, pulang ke Jakarta khusus untuk menjenguk Eyang. Bayu, salah satu cucu kebanggan Eyang Kung telah pulang dan bertemu dengan Eyang Kung. Bayu mengajaknya berbicara dan mengelus tangannya, tapi Eyang Kung tak kuasa untuk memeluk dan mencium cucunya.
"Eyang, bangun yuk, kita makan Bakmie Gajah Mada lagi sama-sama," kata Bayu pada Eyang Kung yang tak bergerak. Aku mengamati monitor pemantau keadaan Eyang saat itu. Seperti biasa, tekanan darah Eyang naik menujur ke arah normal. Tapi ada yang aneh, tekanan darah Eyang semakin lama semakin naik, bahkan melewati batas normal hingga mencapai angka 200. Detak jantungnya juga naik yang tadinya 50 menjadi 76. Kami sedikit panik bercampur harap meliat kondisi Eyang yang tiba-tiba membaik secara drastis, bahkan agak berlebihan.
Kami memanggil dokter untuk memeriksa keadaanya karena tekanan darah yang terlalu tinggi akan berbahaya untuk orang seumuran Eyang. Dokter pun memeriksa Eyang dengan cermat. Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang Eyang dan mengatakan bahwa tetap tidak ada respon dari otaknya. Keadaannya sebenarnya masih sama saja dengan hari-hari sebelumnya. Tekanan darah dan detak jantungnya yang naik secara tiba-tiba disebabkan oleh respon emosional yang dirasakan Eyang Kung. Ini membuktikan bahwa Eyang mendengar dengan jelas kata-kata yang diucapkan Bayu.
Malam itu juga, Bayu kembali ke Bali untuk menyusul teman-temannya yang menunggu di sana. Saya dan keluarga juga kembali ke rumah. Saya hanya dapat mendoakan yang terbaik untuk Eyang Kung.
******
Waktu menunjukkan pukul 04.40, ibu saya sedang menunaikan shalat subuh. Tiba-tiba telepon rumah berbunyi, firasat saya tidak enak. Telepon yang berdering pada saat subuh mengingatkan saya akan telepon yang dulu membawa berita yang mengatakan bahwa keadaan Eyang Kung Pattimura sedang kritis. Ibu saya sedang menunaikan shalat subuh, ayah saya sedang berada di ruang keluarga. Hanya aku yang berada paling dekat dengan telepon yang berdering.
Saya memberanikan diri untuk mengangkat telepon. Terdengar suara sepupu saya, Luthfi, yang menginap di rumah sakit untuk menjaga Eyang Kung. Firasat saya benar, kejadian 6 tahun yang lalu terulang kembali. Telepon tersebut membawa kabar bahwa Eyang Kung sedang dalam keadaan kritis.
Saya segera menunaikan shalat subuh dan berdoa pada Allah, saya meminta apa yang terbaik bagi Eyang Kung. Saya serahkan Eyang pada Tuhan. Aku beritahukan kabar tersebut pada ibu saya dan kami segera berangkat ke rumah sakit.
Sesampainya kami di rumah sakit, kami segera menuju ruangan ICCU. Degupan jantung yang dua kali lipat lebih cepat dari biasanya mengiringi setiap langkah kaki kami. Koridor rumah sakit terasa sangat panjang dan ruang ICCU terasa begitu jauh. Saat kami mencapai di ruang tunggu ICCU, saya melihat beberapa orang sedang tidur nyenyak. Mereka menunggui keluarga mereka yang sedang dirawat di ruang ICCU. Kemarin, kamilah yang sedang tidur nyenyak di sana. Kini kami berlari-lari kecil, terburu-buru menuju pintu masuk ICCU. Berat untuk mengatakannya, tapi kami semua tahu bahwa ini adalah saat-saat terakhir Eyang Kung. Eyang Kung sudah dijemput oleh Sang Malaikat.
Sesampainya kami di sana, hanya ada paman saya dan Luthfi yang menemani Eyang. Saya melihat monitor pemantau, detak jantung Eyang hampir hilang, tekanan darahnya sudah mencapai angka 40-an. Sudah sekitar 3 kali Eyang diusahakan untuk tetap hidup dengan cara pompa jantung yang biasa kita lihat di film-film. Beberapa dari kami sudah mulai membacakan kalimat-kalimat Allah untuk mengiringi kepergian Eyang Kung.
Tiba-tiba datang seorang tante saya, anak bungsu dari Eyang Kung, ke ruang ICCU. Ibu dan tante saya sudah mulai menangis. Masih belum lengkap, anak tertua Eyang Kung masih dalam perjalanan. Dokter jaga di ruang ICCU masih melakukan terapi pompa jantung pada Eyang Kung dan Eyang masih terus kembali kepada kita. Beliau tidak mau pergi dulu.
Akhirnya, anak tertua Eyang datang ke ruang ICCU. Sudah lengkap, ketiga anak beliau sudah hadir. Anak tertua Eyang mengucapkan kalimat-kalimat Allah di telinga Eyang. Malaikat pencabut nyawa telah hadir di antara kami, siap mengambil Eyang dari sisi kami , menembus tabir dimensi menuju ke alam lain.
Sekitar dua menit kemudian, dokter ICCU mengatakan, "Keluarga, Bapak sudah tidak ada." Pecahlah tangis ketiga anaknya sambil memeluk keluarganya masing-masing. Ibu memeluk ayah dan aku memeluk Ibu. Sungguh sakit mendengar tangisan Ibu yang biasanya tegar dan kuat. Setelah itu saya memeluk Luthfi, sepupu terdekatku. "Pahlawan kita udah pergi, Pi," kata saya padanya.
Eyang Kung kami tercinta telah pergi. Beliau menunggu hingga ketiga anaknya lengkap, hadir di sampingnya, baru beliau rela untuk pergi. Bahkan, Malaikat Maut memberikan beliau toleransi waktu untuk menunggu anak tertuanya tiba. Eyang Putri tidak hadir saat itu, tapi beliau pasti tahu, cinta sejatinya telah pergi.
Kamu boleh percaya, boleh tidak. Eyang Kung meninggal dengan sangat tenang, wajahnya tersenyum damai. Saya dengar, ketika mendekati waktu adzan subuh, Eyang mengangkat kedua tangannya ke samping telinganya, persis seperti orang yang sedang melakukan takbir ketika shalat. Bahkan, Eyang melakuakn takbir sebanyak dua kali, sesuai dengan jumlah rakaat dalam shalat subuh. Takbir yang pertama disaksikan oleh suster ICCU dan takbir yang kedua disaksikan oleh paman saya.
Subhanallah, di ujung kehidupan Eyang, Allah mengizinkan Eyang untuk shalat subuh. Maha Kuasa Allah, dengan kehendak-Nya, Eyang yang sedang dalam keadaan deep comma bisa melakukan takbir. Bukan main, Eyang meninggal di waktu subuh, pada bulan Ramadhan, dan hal terakhir yang dilakukannya adalah shalat subuh.
Cinta Eyang sungguh besar. Cinta kepada istrinya, cinta kepada keluarganya, dan cinta kepada Tuhan. Itulah cinta sejati, menurut saya. Terserah apa arti cinta sejati bagimu, tapi bagi saya, itulah cinta sejati. Mungkin yang berat bagi Eyang Kung adalah harus meninggalkan Eyang Putri. Namun, hidup dan mati sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Cinta sejati bukan hanya memiliki, tetapi juga merelakan. Dengan ini, lengkap sudah hidup Eyang, tiada sesal yang terasa di akhir kehidupannya. Ketika meninggal pun, Eyang Kung tetap mempertahankan sesuatu yang hampir tak pernah terhapus dari wajahnya.
Wajah Eyang Kung Tersenyum.....
Tulisan ini dipersembahkan untuk Eyang Kung kami tercinta,

H. R. Hertatijanto
8 Juli 1923 - 29 Juli 2013
Comments