Kini, Ia Telah Berpulang
- Indra Ajidarma Sadewo
- Jan 13, 2017
- 11 min read
"Hehehe"....
Itulah suara yang sering terdengar dari nenek saya yang biasa saya panggil Eyang Putri. Pada pos Cinta Sejati, saya telah menceritakan tentang Eyang Kakung kan? Nah ini adalah cerita mengenai istri tercintanya. Eyang Putri adalah sosok paling ceria yang pernah saya kenal. Jika Eyang Kung selalu tersenyum, Eyang Putri hampir selalu tertawa. Tawa khasnya dengan suara, "Hehehe" selalu terdengar ketika saya berkunjung ke rumahnya.
Saya memiliki banyak kenangan dengan Eyang Putri. Ketika saya dan kakak saya masih kecil, kami sering dititipkan di rumah Eyang selama ayah dan ibu saya pergi bekerja dan kami akan dijemput kembali pada malam hari. Saat itu, saya masih dalam umur yang mengharuskan saya untuk tidur siang. Bahkan, saya belum bisa mandi sendiri.
Ketahuilah, Kawan, saya dan kakak saya adalah dua anak laki-laki yang tidak bisa diam. Kami berlarian sekeliling rumah, main tanah, masuk gudang, naik pohon, meloncati kolam ikan, naik sepeda dalam rumah, dan bergelantungan di tiang seperti monyet. Kami hanya bisa diam ketika menonton kartun di televisi atau bermain video game SEGA yang sering dimainkan oleh ibu dan tante saya ketika mereka masih kecil.
Eyang Putri selalu mengurus kami selama kami dititipkan di rumahnya. Beliaulah yang menemani kami untuk tidur siang setiap hari, walaupun pada akhirnya Eyang Putrilah yang tertidur duluan. Terkadang, ketika Eyang sudah tidur, saya dan kakak saya akan berjingkat-jingkat keluar kamar dan menutup pintu seakan tidak terjadi apa-apa. Apabila kami berhasil menyelinap keluar, kami akan berlari ke ruang keluarga dan menonton televisi sambil bersembunyi di bawah meja dan memonopoli remote. Seringkali, ketika Eyang Kung sudah bangun dari tidur siang, dia mendapati ruang makan sudah ramai akan suara TV yang menyala dan terkadang bisa berganti-ganti saluran dengan sendirinya. Dengan polosnya, kami merasa selama kami bersembunyi di bawah meja, tidak ada sesuatupun yang dapat menemukan kami. Strategi kami berhasil! Eyang Kung tidak melakukan atau mengatakan apapun, sepertinya Eyang Kung tidak tahu keberadaan kami di bawah meja..............atau, tepatnya, pura-pura tidak tahu.
Ketika sore tiba, Eyang Putri akan memandikan kami berdua. Biasanya kami akan mandi di dalam sebuah ember besar berisi air hangat. Kami memiliki ritual sendiri setiap kali akan mandi di rumah Eyang. Eyang harus menuangkan sebuah cairan entah apa yang apabila diaduk akan menimbulkan busa atau buih di permukaan air. Kami sering membawa bebek mainan yang dapat mengapung atau barang apapun yang bisa mengapung di atas air. Begitulah, hampir setiap sore kami dimandikan oleh Eyang Putri dalam ember merah berisi air berbusa.
Selepas mandi, Eyang Putri akan mengeringkan badan kami dengan handuk. Ketika Eyang berbalik untuk mengambil baju kami di lemari, kami akan berlarian di sekitar rumah dalam keadaan tak berbaju sehingga Eyang harus mengejar-ngejar kami untuk mencegah terjadinya pornoaksi di sekitar rumah. Jika Eyang Kung melihat aksi kami, beliau akan menunjuk-nunjuk kami sambil berkata, "Hiii wudo! ('wuda' atau 'wudo' adalah bahasa Jawa untuk kata 'telanjang')" sambil tertawa kecil. Mendengar itu, kami justru senang dan semakin bersemangat melakukan aksi kami. Barulah, setelah malam tiba, ibu kami akan menjemput kami dan membawa kami pulang selepas makan malam.
Sungguh Eyang Putri adalah orang yang sangat sabar dalam mengurus kami. Apapun yang kami lakukan, apapun yang kami katakan, perabotan dan pajangan apapun yang kami hancurkan, Eyang Putri tidak pernah memarahi kami sekalipun. Beliau hanya menasihati kami sebentar sambil tertawa kecil. Eyang Puri sangat menyayangi cucu-cucunya dengan sepenuh hati.
Keluarga besar kami memiliki tradisi berkunjung ke rumah Eyang untuk makan malam. Inilah saat yang mungkin adalah saat yang paling ditunggu oleh Eyang Putri dan Eyang Kung, saat berkumpulnya seluruh anak-anak, menantu, dan cucu-cucu kecilnya. Kehangatan dan keramaian kembali mengisi seluruh penjuru rumah yang biasanya sepi itu. Saat itu pulalah saya dan sepupu-sepupu saya berkumpul. Saat itu pulalah kerusuhan akan terjadi. Jika kamu kira saya dan kakak saya sudah cukup rusuh, kamu salah, Kawan. Jika saya dan sepupu-sepupu saya sudah berkumpul, tingkat kerusuhan dalam rumah Eyang akan meningkat drastis. Akan semakin banyak tuyul-tuyul yang berlarian di sekitar rumah sambil sesekali menyenggol dan memecahkan berbagai pajangan yag terbuat dari beling. Kami mainkan apapun yang dapat kami temukan. Koleksi boneka-boneka Eyang yang dikumpulkan dari berbagai negara sering kami keluarkan dari lemari kaca dan kami buat pertunjukkan boneka dengan kakak saya sebagai dalangnya dan jemuran handuk sebagai panggungnya. Kami tertawa terbahak-bahak dengan banyolan-banyolan yang dilontarkan oleh kakak saya menggunakann boneka-boneka tersebut. Jika sudah bosan dengan pertunjukan boneka, kami sering bermain perang bantal-guling di kamar tidur Eyang Putri sampai kamarnya berantakan tak keruan. Tak jarang ada botol parfum atau vas yang pecah gara-gara kami. Tapi, sekali lagi, Eyang Putri tidak pernah marah, justru beliau tertawa ketika melihat kamar tidurnya yang rapi sudah kami sulap menjadi reruntuhan Atlantis.
Semua rasanya baik-baik saja hingga pada suatu hari, Eyang Putri didiagnosis menderita diabetes melitus atau sering disebut dengan penyakit gula. Dengan penyakit diabetes di tubuhnya, Eyang Putri telah diharuskan untuk minum obat sepanjang hidupnya. Jika tidak, ketidakseimbangan kadar gula dalam darah bisa menyebabkan hal-hal serius seperti stroke, serangan jantung, katarak, pingsan secara tiba-tiba, dan lain-lain. Kini, Eyang Putri harus menjaga pola makannya untuk menyetabilkan kadar gula dalam darahnya. Selang beberapa lama, keadaan Eyang Putri memburuk sehingga beliau harus menyuntikkan insulin ke dalam tubuhnya setiap kali beliau makan karena hatinya sudah tidak bisa memproduksi insulin yang bertugas untuk menyerap gula dari dalam darah. Meskipun telah menderita penyakit permanen, senyum dan tawa Eyang Putri masih terus terhias di wajahnya setiap kali saya bertemu dengannya.
Ternyata, Sang Pencipta Alam Semesta masih menyiapkan cobaan lain untuk Eyang. Setelah mendapatkan diabetes, Eyang didiagnosis telah menderita kanker ovarium. Beliau diharuskan untuk menjalani operasi untuk mengangkat organ ovariumnya agar sel-sel kankernya tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain. Namun, melihat Eyang yang sudah lanjut usia, Eyang membutuhkan penanganan medis yang sangat hati-hati. Oleh karena itu, Eyang berobat ke Singapore karena kemajuan ilmu kedokteran di Singapore relatif lebih maju dari Indonesia dan, pada umumnya, dokter di rumah sakit di Singapore tidak berpindah-pindah praktik ke rumah sakit lain sehingga dokter selalu siap sedia. Di Singapore, Eyang menjalani operasi dan menetap di sana selama beberapa waktu untuk perawatan paska operasi. Namun, untuk mengatasi kanker, operasi saja tidaklah cukup. Pengobatan terus dilanjutkan dengan kemoterapi yang dilakukan setiap 3 minggu sekali selama 6 bulan. Jadi, setiap 3 minggu sekali selama 6 bulan, Eyang harus pergi ke Singapore untuk menjalani kemoterapi. Setiap pulang dari Singapore pun Eyang harus dirawat beberapa hari di rumah sakit karena kondisinya lemah akibat kemoterapi. Sungguh berat apa yang harus dijalani oleh Eyang untuk mengatasi penyakitnya. Namun, Eyang tetap bersabar dan menjalani perawatan dengan disiplin
Kemoterapi yang dijalani Eyang telah membuat rambutnya rontok sehingga beliau menggunakan tutup kepala sehari-hari. Jika diabetes tak dapat menghapus keceriaan Eyang, kanker mampu mengguncangnya. Saya mulai menyadarinya ketika melihat Eyang tidak lagi sering tertawa. Beliau mulai terlihat sering murung Ketika itu saya masih polos dan justru menanyakan, "Kok Eyang Putri gak seceria dulu sih?" ketika seluruh keluarga besar sedang makan malam di ruang makan. Tidak ada yang menjawab pertanyaan saya, semua terdiam. Eyang hanya memaksakan senyum dan berkata, "Masa sih?".
Setelah Eyang Putri menjalani perawatan yang berat itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahi Eyang kesehatan. Keceriaan Eyang Putri sudah mulai terlihat kembali dan tawanya sudah kembali sering terdengar. Tetapi, Allah Subhanahu wa Ta'ala masih memberikan cobaan untuk menguji iman Eyang. Sekitar 2 tahun setelah Eyang sembuh dari kanker ovarium, Eyang didiagnosis terjangkit kanker payudara. Untungnya, kankernya terdeteksi ketika masih dalam tahap dini.
Oleh karena kanker payudaranya, Eyang kembali harus menjalani operasi untuk mencegah sel kankernya menyebar lebih luas lagi. Tetapi, setelah operasi, Eyang tidak perlu menjalani kemoterapi seperti ketika terjangkit kanker ovarium. Eyang hanya diharuskan untuk meminum obat khusus selama 5 tahun. Sayangnya, obat tersebut dapat menyebabkan pengeroposan tulang. Oleh karena itu, Eyang diberikan obat penguat tulang yang juga harus diminum selama 5 tahun untuk melawan efek samping dari obat kankernya. Ditambah lagi dengan obat untuk diabetesnya yang harus diminum seumur hidupnya. Sungguh berat tantangan yang harus dihadapi oleh Eyang. Senyum Eyang semakin lama semakin pudar. Beliau hanya tersenyum atau tertawa ketika ada sesuatu yang lucu ketika kami sekeluarga sedang berkumpul untuk makan malam.
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala, setelah 5 tahun, Eyang dinyatakan telah sembuh dari kanker payudara. Eyang hanya perlu melakukan PET (Positron Emission Tomography) Scan sekali setiap tahun. Kami sekeluarga bisa kembali menghela napas lega. Meskipun begitu, segala penyakit yang menyerang Eyang beserta pengobatannya telah memberi tekanan mental kepada beliau hingga seringkali suasana hati beliau buruk dan mudah tersinggung. Sungguh, saya maklum dengan sikap Eyang. Jika saya diserang penyakit bermacam-macam yang dapat dikatakan dapat membahayakan nyawa berkali-kali, saya pasti akan merasa tertekan.
Waktu terus berjalan, tidak terasa beberapa tahun sudah lewat. Eyang hidup damai tanpa ada lagi penyakit berbahaya yang menyerangnya. Tetapi, suatu hari, terjadi sebuah insiden yang datang begitu tiba-tiba dan tak terduga. Eyang Kung, suami tercinta Eyang Putri, mengalai kecelakaan seperti yang sudah saya ceritakan pada pos "Cinta Sejati". Hanya selang beberapa hari, Eyang Kung meninggal dalam damai. Tragedi meninggalnya Eyang Kung membuat Eyang Putri sangat terpukul. Ketika mendengar berita duka tersebut, Eyang Putri menangis tersedu-sedu di tempat tidurnya sambil memeluk cucunya. Beliau terus menyebut-nyebut "Sudah 60 tahun menikah" dan "Sudah 60 bersama" berkali-kali sembari menangis.
"Kenapa kamu ninggalin aku, Pah?", Eyang berkata. Matanya menangis, mulutnya berkata, hatinya berteriak. Tidak ada anggota keluarga yang dapat menahan kesedihannya melihat Eyang Putri menangis tersedu-sedu ditinggal suami tercinta.
********
Berbulan-bulan sudah lewat sejak Eyang Kung meninggal. Keluarga telah merelakan kepergian Eyang Kung, tapi tidak bagi Eyang Putri. Beliau masih sering menangis ketika berziarah ke makam Eyang Kung, bahkan sering juga menangis secara tiba-tiba baik ketika sedang sendirian di rumah maupun ketika kumpul keluarga. Sungguh dalam cintanya pada Eyang Kung. Kematian Eyang Kung meninggalkan luka yang begitu dalam dalam hatinya.
Sudah sangat amat jarang aku melihat Eyang Putri tertawa atau tersenyum. Eyang Putri semakin mudah marah dan tersinggung. Tawa khasnya yang kurindukan sudah tidak lagi pernah kudengar. Keluarga sungguh prihatin dan kuatir pada keadaan mental Eyang Putri. Tapi, tak ada yang bisa kami lakukan selain menemani dan menghiburnya sesering yang kami bisa. Ketika makan malam bersama, sebisa mungkin, kami tidak membicarakan tentang Eyang Kung. Satu sebutan "Eyang Kung" saja sudah dapat membuat Eyang Putri menangis.
Beberapa bulan setelah kepergian Eyang Kung, kondisi kesehatan Eyang Putri menurun drastis. Sepertinya kepergian Eyang Kung mengguncang mental Eyang Putri hingga akhirnya berdampak pada kesehatannya. Kini, Eyang Putri telah didiagnosis mengalami gagal ginjal. Ginjalnya tidak lagi dapat berfungsi dengan baik untuk mengeluarkan racun dari dalam tubuhnya. Menurut analisis dokter, ginjal Eyang hanya dapat berfungsi sekitar 8%. Hal itu menyebabkan Eyang Putri harus menjalani hemodialisis atau lebih dikenal dengan sebutan "cuci darah".
Hemodialisis adalah proses pemisahan sel darah dengan racun dalam tubuh. Melalui selang, darah Eyang ditransfer ke dalam alat hemodiaisis. Setelah darah dan racun terpisahkan, darah yang bersih kembali ditransfer ke dalam tubuh Eyang. Jangan anggap proses hemodialisis itu hanya membutuhkan waktu singkat, Kawan. Ketahuilah, untuk sekali proses hemodialisis, dibutuhkan waktu sekitar 4 jam dan Eyang harus melakukan hemodialisis sebanyak 3 kali minggu. Bayangkan, Kawan, hemodialisis 3 kali seminggu dan setiap hemodialisis membutuhkan waktu selama 4 jam.
Eyang sudah tidak kuat untuk berjalan sendiri sehingga membutuhkan kursi roda ke mana-mana. Anak-anaknya bergantian membawa Eyang ke rumah sakit untuk menjalani hemodialisis. Meskipun hatinya terluka dalam, terpaksa harus bergantung pada orang lain, dan lelah akan perawatan rutin dan panjang tersebt, Eyang tidak pernah menyerah untuk terus bertahan hidup. Baginya, hidup adalah augerah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang paling berharga dan patut dipertahankan. Eyang pun terus berusaha untuk menjaga tubuhnya tetap bugar dengan berolahraga kecil. Olahraga yang sangat kecil, lebih tepatnya, seperti menggerak-gerakkan tangannya setiap beberapa menit, meremas-remas bola karet.
Meskipun Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan cobaan yang luar biasa berat bagi Eyang, Eyang tidak pernah berpaling dari-Nya. Dalam keadaan tubuhnya yang tidak terdapat banyak tenaga, beliau tetap menunaikan shalat dan berserah diri pada Allah Yang Maha Kuasa. Eyang terus berjuang untuk hidup walaupun hidup saja sudah cukup berat baginya. Eyang terus menjalani hemodialisis dengan rutin dan disiplin selama sekitar setahun lamanya.
*****
Saya sedang di tengah-tengah pekan Ujian Tengah Semester (UTS). Karena ingin mendapatkan nilai yang bagus, saya belajar dengan keras. Tiba-tiba, ada salah satu anggota keluarga yang mengirim foto Eyang sedang dalam keadaan tak sadarkan diri di ICCU (Intensive Coronary Care Unit) di grup keluarga pada aplikasi Whatsapp. Saya sangat terkejut melihat foto itu karena saya tidak mendengar kabar apapun mengenai kondi Eyang masuk ke ICCU.
Saya segera menelepon ibu saya dan menanyakan keadaan Eyang. Ternyata gagal ginjal yang diderita Eyang semakin memburuk dan menyebabkan komplikasi pada paru-paru dan jantung. Pada akhirnya Eyang mengalami kondisi yang disebut dengan multiple organ failure, yaitu terjadinya kegagalan pada banyak organ dalam. Hal itu menyebabkan Eyang kehilangan kesadaran sehingga dipindahkan ke ICCU. Ternyata ibu saya sengaja tidak memberitahu saya mengenai hal itu karena takut saya kuatir terhadap Eyang dan tak dapat konsentrasi belajar untuk ujian.
Ketika hari terakhir ujian tiba, setelah ujian, saya segera kembali ke Jakarta untuk menjenguk Eyang. Selama perjalanan dari Bandung ke Jakarta, saya tidak bsia diam karena kuatir terhadap keadaan Eyang.
Ketika saya sudah sampai di rumah sakit, saya segera memasuki ruang ICCU. Akhirnya, saya bertemu dengan Eyang. Seperti Eyang Kung dulu, detak jantung, tekanan darah, dan napas Eyang Putri dipantau ketat oleh monitor. Saya memegang lengan Eyang sambil menatap wajahnya. Kulitnya yang sudah tipis dan keriput terasa agak dingin. Setiap kali Eyang menarik napas, terdengar suara seperti orang yang sedang tercekik. Sungguh sedih melihat Eyang Putri dalam keadaan seperti ini.
Saya berbicara pada Eyang bahwa saya berada di sampingnya dan menyemangatinya untuk segera sembuh. Beberapa kali, mulut Eyang bergerak-gerak seperti sedang melafalkan huruf "I" dan "A", huruf vokal dalam nama saya. Entah itu hanya kebetulan atau Eyang memang memanggil nama saya dari alam bawah sadarnya. Apapun itu, saya tidak peduli. Saya berkata kepada Eyang Putri, "Iya, Indra di sini, Yang. Eyang cepet sembuh ya". Selepas menjenguk Eyang, saya segera kembali ke Bandung malam itu juga karena saya harus menghadiri kuliah pada keesokan harinya.
Setelah sekitar 2 bulan sejak terakhir saya menjenguk Eyang, pada suatu malam, saya disuruh menyalakan Skype saya. Ibu saya memberitahu saya bahwa Eyang Putri sedang dalam keadaan kritis. Sejujurnya, saya sudah tidak terkejut lagi akan berita ini karena sejak Eyang masuk ICCU dan sejak saya mengetahui kondisi tubuh Eyang, saya tahu bahwa hal ini akan terjadi, cepat atau lambat. Saya segera menyalakan Skype saya dan menghubungi Skype ibu saya. Setelah gambar live dapat ditransfer ke layar laptop saya, saya melihat wajah ibu saya yang matanya sudah memerah karena sedang menangis.
"Dek, tolong adzanin Eyang ya", ujar ibu saya. Kemudian layar telepon genggamnya dihadapkan pada wajah Eyang Putri yang sedang dalam keadaan kritis. Speaker dari telepon genggam ibu saya dikeraskan hingga maksimal dan berkumandanglah adzan dari mulut saya. Saya kumandangkan adzan beberapa kali dan membacakan beberapa surat pendek dari Al-Qur'an untuk mengantar kepergian Eyang. Setelah saya selesai mengaji dan mengumandangkan adzan, ibu saya meminta saya untuk mendoakan Eyang Putri. Kemudian sambungan Skype putus.
Saya duduk terdiam untuk beberapa saat. "Satu lagi Eyang tersayang akan meninggal", batin saya. Sekitar 30 menit kemudian, ibu saya mengirim pesan tertulis yang mengabarkan bahwa Eyang Putri sudah meninggal.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'uun", ujar saya dalam duka. Saya bangkit dari kursi dan membuka pintu kamar. Saya termenung di depan kamar sambil memandang langit kosong tak berbintang. Angin malam Bandung yang dingin menerpa tubuh saya, hanya saja, kali ini dinginnya menusuk ke dalam hati saya. Berputarlah sebuah lagu dari laptop saya dan berbunyi melalui speaker, menemani duka saya.
Mengenangmu di hari itu
Di saat ku masih bisa melihat senyumanmu
Menyapamu di pagi itu
Di saat kau masih bisa bercanda dan berbagi tawa
Namun kini kau telah pergi dan takkan kembali
Semoga kau dapatkan tempat terbaik
Di sisi-Nya
Bilakah kau bersedih bila ku menangis
Kan ku hapus tangisku asalkan kau bahagia
Dan bilakah kini kau telah di sisi-Nya
Kuharap di sana kau tetap selalu
Tersenyum....ceria
("Lagu Untuk Riri" - RAN)
Hati saya menangis. Eyang Puri yang dulu mengurus dan merawat saya dan kakak saya kini telah meninggal. Eyang Putri yang dulu mengalami kenakalan saya dan kakak saya telah pergi. Eyang Putri yang dulu membesarkan saya dan kakak saya telah berpulang kepada-Nya. Eyang Putri yang dulu selalu tertawa dan memberikan keceriaan dalam suasana kekeluargaan telah tiada. Ini sudah hukum alam. Jika kita menyayangi seseorang, suatu saat kita pasti akan kehilangan dia. Jika kita mencintai seseorang, suatu saat kita harus mengikhlaskannya.
Saya telah belajar banyak dari Eyang tentang semangat hidup. Sesakit apapun, sesulit apapun, hidup yang telah diaugerahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kita harus terus diperjuangkan hingga titik penghabisan. Eyang begitu kuat dan sabar dalam menghadapi penyakitnya. Bertahun-tahun terserang penyakit yang berbeda-beda, tapi tetap terus berjuang. Dari beliau masih dapat berlari sampai melangkah saja sudah sulit, Eyang tetap tegar. Walaupun terus diberikan cobaan, Eyang tetap dekat dengan Sang Pencipta Alam Semesta. Walaupun harus menahan kesedihan yang mendalam karena ditinggal cinta sejatinya, Eyang tetap melangkah ke depan hingga malaikat maut menjemputnya.
"Eyang, terima kasih yang sebesar-besarnya aku haturkan untuk Eyang atas jasa Eyang yang tak terhitung besarnya. Terima kasih telah merawat aku dan kakak ketika kecil. Terima kasih telah memberikan kasih sayang yang sangat besar hingga kami besar. Aku mohon maaf apabila kami telah merepotkan Eyang dengan kenakalan kami. Eyang telah memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk aku. Selamat jalan Eyang, jangan kuatir, kami akan baik-baik saja. Kini, Eyang Putri sudah menyusul Eyang Kung. Semoga Eyang Putri dan Eyang Kung mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya dan bisa kembali bertemu dengan Eyang Kung di surga nanti. Amin."

Comments