Eyang Kung Tersayang
- Indra Ajidarma Sadewo
- Jan 13, 2017
- 8 min read
Saya punya sebuah pertanyaan yang jawabannya belum saya dapatkan hingga sekarang, "Mengapa seorang kakek atau nenek sangat menyayangi dan memanjakan cucu-cucunya?" Bagi kamu yang cukup beruntung masih bisa bertemu dan mengenal kakek dan nenekmu, tentunya kamu mengerti maksud pertanyaan saya. Jika kita datang ke rumah mereka, mereka akan senantiasa menjamu kita dengan makanan-makanan favorit kita dan bermacam-macam kue yang enak rasanya. Mereka seperti tidak mengenal kata 'kenyang'. Berapa kali pun kita mengatakan "Sudah kenyang, terima kasih", mereka akan menjawab dengan, "Ayo makan lagi" sambil menyodorkan sebakul nasi atau setoples kue.
Lucu memang kelakuan mereka. Mereka seperti ingin menahan keluarganya yang datang mengunjunginya selama mungkin. Bahkan, jika memungkinkan, mereka ingin kita menginap di rumahnya. Bagaimana tidak? Coba kamu bayangkan, umur mereka sudah tidak lagi muda, anak-anak mereka sudah memiliki keluarga masing-masing dan tinggal di rumah mereka sendiri. Sehari-harinya hanya mereka lewatkan berdua saja. Banyak pekerjaan yang mungkin ingin mereka lakukan untuk mengisi waktu luang, tapi tubuh mereka yang sudah tua mengurangi kelincahan dan menguras kapasitas energi yang dapat mereka tampung. Jika saya menjadi mereka, saya pasti sangat bosan dengan rutinitas sehari-hari.
Jika keluarga mengunjungi mereka, suasana rumah akan kembali ramai dan mereka ada banyak teman untuk mengobrol. Ditambah lagi dengan hiburan yang dipersembahkan oleh kenakalan dan kelincahan cucu-cucunya yang masih kecil. Mungkin itu sebabnya mereka tidak ingin kita cepat-cepat pulang jika sedang mengunjungi mereka. Hanya satu alasannya, mereka kesepian.
Cerita yang akan saya ceritakan adalah kisah tentang kenangan saya bersama dengan alamarhum kakek saya. Saya memiliki seorang kakek yang penyayang dan berhati besar, saya biasa memanggilnya "Eyang Kung Pattimura" karena rumahnya berada di jalan Pattimura. Memang lucu kebiasaan keluarga kami, entah kenapa, kami biasa memanggil kakek dan nenek kami dengan mencantumkan nama daerah tempat tinggalnya. Seperti "Eyang Pattimura" atau "Eyang Kemang". Saya punya paman dan tante yang tinggal di daerah Jeruk Purut. Saya jadi bertanya-tanya, ketika mereka sudah punya cucu, cucu mereka akan memanggil mereka siapa ya? Mungkin "Eyang Jeruk" atau "Eyang Purut"?
Kembali ke cerita. Eyang adalah seorang veteran atau pejuang perang. Umurnya boleh tergolong tua, tapi kegagahannya tak perlu dipertanyakan. Di lingkungan kerja, Eyang Kung dikenal sebagai pemimpin yang tegas. Meskipun begitu, ketika beliau dipertemukan dengan cucu-cucunya, beliau berubah menjadi orang sangat amat lembut dan humoris.
Waktu saya kecil dulu, saya dan sepupu-sepupu saya sering berkunjung ke kantornya. Tak peduli beliau sedang rapat atau sedang santai, ketika kami datang, kami selalu disambut dengan hangat oleh Eyang. Kami seperti tuyul-tuyul yang berlarian ke sana-sini, bermain dan mengutak-atik barang apapun yang kami temukan, menggonta-ganti channel televisi, dan tak henti-hentinya mengrecoki Eyang yang sedang sibuk bekerja. Biasanya, Eyang akan memberikan kami makanan atau kue agar kami bisa diam sambil asyik menonton televisi.
Seperti umumnya seorang kakek, beliau sangat senang ketika cucu-cucunya berkunjung ke rumahnya. Lemari es di rumahnya dipenuhi dengan es krim, coklat, minuman, dan camilan-camilan yang khusus disediakannya untuk cucu-cucunya.
Saya dan sepupu-sepupu saya tergolong anak-anak yang sangat aktif ketika kecil. Kami sering berlarian di halaman rumah Eyang, melahap habis semua es krim, cokelat, dan kue-kue di rumah Eyang, bermain-main dengan pajangan-pajangan di rumahnya sehingga seringkali terjatuh dan pecah. Tapi, Eyang tidak pernah marah. Beliau cukup menikmati suasana ramai dan hangat ketika keluarganya berkunjung ke rumahnya.
Eyang Kung adalah orang yang penuh nasihat. Setiap kali kami bertemu dengannya, kami selalu diberi dan dibekali nasihat tentang etika, masa depan, dan hidup. Dari Eyanglah saya banyak belajar mengenai akhlak baik dan budi pekerti.
Pernah suatu saat, Eyang Kung berkunjung ke rumah saya. Beliau tidak pernah menolak makanan atau camilan apapun yang kami berikan. Bahkan seringkali beliau meminta untuk menambah makanan. Beliau berkata kepada saya, "Kamu kalau berkunjung ke rumah teman atau keluarga, tidak apa-apa kamu makan semua makanan yang ditawarin. Kalo kamu masih laper, ya minta tambah aja, tidak apa-apa." Awalnya, saya tidak mengerti dengan pesan Eyang tersebut. Menurut saya, hal seperti itu justru cenderung tidak sopan. Tetapi, setelah saya besar, baru saya mengerti maksud Eyang. Jika teman atau keluarga berkunjung ke rumah dan saya suguhi makanan, saya akan merasa senang apabila mereka menyukainya dan terus memakannya, saya merasa dihargai. Jika mereka tidak memakan makanan yang sudah saya suguhkan karena alasan malu atau sudah kenyang, hal itu akan membuat saya sedikit kecewa. Itulah pertama kalinya saya belajar tentang etika. Sejak itu, saya tidak pernah segan-segan untuk memakan makanan yang disuguhkan oleh tuan rumah apabila saya berkunjung ke rumah teman atau keluarga karena saya tahu itu akan membuat mereka senang dan merasa dihargai.
Eyang memiliki sebuah kebiasaan baik. Beliau membiasakan diri untuk menabung uang receh di tabungan yang biasa terbuat dari keramik dan berbentuk ayam. Setiap tahun, Eyang akan menabung dengan tekun di celengan ayamnya. Pada saat Hari Raya Idul Fitri tiba, beliau akan menaruh celengan ayamnya di halaman rumah, dan mengundi nama anggota-anggota keluarga dan rekan kerjanya. Ketika satu nama terpilih, beliau akan memecahkan celengannya dan memberikan semua uang receh di dalamnya pada orang yang beruntung tersebut.
Di situ, Eyang tidak asal memberikan uang kepada orang untuk menghidupkan suasana atau untuk sekedar bersenang-senang. Eyang secara tidak langsung telah mengajarkan keluarga dan rekan kerjanya untuk menabung dan tidak meremehkan uang receh. Beliau telah membuktikan, meskipun hanya uang receh, uang yang terkumpul banyak dapat menghasilkan nilai yang besar. Biar sedikit, lama-lama jadi bukit. Sejak saat itu, saya jadi membiasakan diri saya untuk menabung uang receh di suatu wadah dan kebiasaan itu masih bertahan hingga sekarang.
Eyang adalah orang yang pertama kali mengajarkan saya untuk bersedekah. Hampir setiap Hari Raya Idul Fitri, saya dan keluarga besar menunaikan shalat Idul Fitri bersama Eyang. Selesai menunaikan shalat Id, banyak (maaf) pengemis yang meminta sedekah berdiri di pinggir jalan. Eyang akan mengeluarkan sekumpulan uang kecil yang sudah diikat dengan karet. Beliau memberikan uang itu kepada para fakir miskin yang meminta sedekah satu per satu. Jika uang kecil itu masih tersisa, beliau akan menggunakannya untuk membelikan cucu-cucunya balon berisi gas helium.
Hampir setiap malam tahun baru, keluarga besar akan berkumpul di rumah Eyang dan bermain kembang api. Suasana hangat menyelimuti rumah Eyang setiap kami berkumpul. Cucu-cucu Eyang bermain kembang api sambil berlarian di halaman. Eyang duduk di kursi goyang favoritnya sambil menyaksikan cucu-cucunya bermain dengan gembira. Kehadiran Eyang melengkapi kami, kehadiran kami pun melengkapi Eyang.
Suatu hari, kami mendapatkan kabar buruk. Eyang terkena stroke dan dirawat di rumah sakit. Saya terpukul mendengar berita tersebut. Keesokan hairnya, saya dan keluarga menjenguk eyang di rumah sakit. Saya buka pintu kamar tempat Eyang dirawat. Saya lihat Eyang sedang terbaring tidur di tempat tidur. Saya dengar bahwa Eyang kini sudah lumpuh sebagian yang disebabkan oleh stroke yang dialaminya. Hati saya sakit melihat malaikat kami yang penuh kasih sayang terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur rumah sakit.
Eyang tidur dengan mulut terbuka, saya lihat lidahnya kering. Saya dengar Eyang tidak boleh minum air dengan cara diteguk karena beliau sudah tidak sanggup untuk menelan. Beliau hanya boleh minum air dari sendok teh karena jika tidak, beliau akan tersedak. Eyang menghabiskan waktunya dengan tidur. Hanya sesekali dia terbangun, itupun hanya sebentar, setelah itu dia akan kembali tidur dengan cepat. Otaknya seperti tidak bisa menjaga tubuhnya tetap bangun dalam waktu yang lama.
Saya dengar, pernah sekali dia terbangun dan meminta diambilkan kertas dan pulpen. Beliau menulis sesuatu di atas kertas dan segera kembali tertidur. Setelah dilihat, ternyata di kertas itu tertulis jadwal rapat yang seharusnya diadakan hari itu dan beberapa hal yang harus diselesaikan dalam pekerjaannya. Bahkan dalam keadaan seperti itu, beliau masih memikirkan kewajibannya untuk mencari nafkah.
Saya duduk di sisi tempat tidur Eyang sambil memikirkan apa yang akan terjadi pada Eyang. Sebelumnya, Eyang sudah beberapa kali menderita sakit yang cukup parah sehingga harus menjalani operasi dan beliau selalu berhasil melewatinya dan kembali sehat. Tapi, kali ini yang terserang adalah otak, salah satu sistem terpenting dalam tubuhnya.
Tiba-tiba Eyang terbangun, beliau bergumam, "miyum...miyum." Kami mengerti beliau bermaksud untuk mengatakan "minum" tapi kemampuannya untuk mengucapkan kata-kata pun sudah berkurang. Kami meneteskan air dari sendok teh ke mulutnya yang kering. Setelah minum beberapa tetes air, beliau kembali menutup mata. Saya pikir beliau kembali tertidur. Tiba-tiba, Eyang berkata pada saya, "Indra, tolhong piyit kaki Eyang." Saya pun memijit kakinya dengan lembut. Persis dengan ayah saya, Eyang sangat senang dipijit.
Selagi saya memijit kakinya, Eyang berkata dengan segenap kemampuannya, "Eyang shakit, tapi mashih kherja, kamu contoh itu." Ya, saya mengerti maksud Eyang. Eyang berpesan pada saya bahwa sakit bukanlah halangan untuk terus bekerja keras dan berusaha. Sakit bukanlah alasan untuk menyerah. Itulah semangat pantang menyerah yang diajarkan Eyang pada saya.
Tidak lama kemudian, Eyang tertidur. Saya dan keluarga pamit untuk pulang. Saya berdoa untuk kesembuhan Eyang, walaupun dalam hati saya sedikit ragu Eyang bisa kembali normal. Saya dan keluarga keluar dari kamar Eyang dan kembali pulang. Namun, tak pernah saya kira, nasihat Eyang tadi adalah kata-kata terakhir yang beliau ucapkan pada saya. Pelajaran terakhir yang beliau ajarkan pada saya.
Saat itu adalah bulan Ramadhan, saya sedang sahur dengan keluarga saya. Saat saya menunaikan shalat subuh, tiba-tiba telepon rumah berdering. Saya mendapat firasat buruk, telepon yang datang pada jam seperti ini pastilah membawa kabar darurat. Ayah saya mengangkat teleponnya dan bercakap-cakap sebentar, kemudian menutupnya. Saya tidak tahu siapa yang menelepon, namun saya tahu, entah kenapa saya tahu bahwa telepon tersebut ada hubungannya dengan keadaan Eyang. Ketika telepon berbunyi, saya tengah berdoa. Sata saya mendapat firasat buruk, saya berdoa pada Tuhan, "Ya Allah tolong berikanlah kesembuhan bagi Eyang. Tolong jangan ambil dulu Eyang dari sisi kami. Namun, apabila ini sudah kehendak-Mu, hamba mohon ampunilah segala dosa-dosanya dan terimalah beliau di sisi-Mu. Amin"
Keesokan paginya, saya mendengar dari ibu saya bahwa Eyang sedang dalam keadaan kritis. Kami pergi ke rumah sakit secepat yang kami bisa. Jalanan hari itu cukup ramai dan kami mengalami macet di beberapa tempat. Setelah beberapa lama, kami akhirnya sampai di pintu rumah sakit. Tiba-tiba, Ibu saya mendapat SMS. Setelah membaca SMS tersebut, ibu saya berkata, "Dek, Eyang Kung meninggal."
Mata saya terbelalak, mulut saya terbuka, saya tak sanggup mengatakan apapun. Saya hampir tidak percaya Eyang Kungku tersayang sudah meninggal. Ibu saya sudah terisak-isak mendapat berita yang tiba-tiba itu. Kami terlambat sampai di sana. Eyang sudah lebih dulu meninggalkan kami. Saya tidak menangis. Saya tidak mampu menangis.
Sesampainya kami di ruangan tempat jasad Eyang Kung berada, kami lihat keluarga kami sudah berkumpul. Beberapa dari mereka sedang menangis sambil menatap sebuah tempat tidur yang ditutupi sebuah kain putih. Saya dan ibu saya menghampiri tempat tidur itu. Tante saya menyibakkan sedikit kain putih itu dan terlihat wajah Eyang. Kulitnya sudah berwarna pucat, matanya terpejam. Ibu saya mengelus kepalanya sambil terisak dan memanggil-manggilnya. Panggilan yang tak akan membawa Eyang kembali ke dunia ini.
Baru di saat itulah saya mulai terisak, air mata mengalir deras di wajah saya. Eyang Putri, istri dari eyang Kung, memandang wajah eyang Kung dengan penuh kepedihan. Beliau kemudian memukul pelan sisi tempat tidur dan berkata, "Aduh, ini mati beneran ya..." Sungguh kasihan Eyang Putri, beliau seperti tidak dapat mempercayai kenyataan bahwa Eyang Kung sudah meninggalkannya.
Saya dan ibu saya segera memeluk ayah yang sedang duduk di pojok ruangan. Ayah saya memeluk kami berdua, beliau juga tidak kuasa untuk menahan air matanya. Tangis kami pecah dalam pelukan ayah, menggema ke seluruh ruangan. Hari itu, Jumat, tanggal 14 September 2007, di Bulan Ramadhan, Eyang Kung kami tersayang telah meninggal dunia. Eyang Kung meninggal di hari yang sangat baik dan di bulan yang terbaik. Saya berharap beliau diampuni dosanya dan diterima di sisi-Nya. Amin.
Setelah kepergian Eyang, saya dirundung kesedihan hampir setiap hari. Saya benar-benar kehilangan Eyang. Sudah bertumpuk surat yang saya tujukan pada Eyang yang berisikan ucapan terima kasih dan ungkapan betapa saya merindukannya. Saya tulis di kertas, bahkan sudah saya lipat, siap untuk dimasukkan ke amplop. Tapi saya tidak punya perangko. Tidak ada perangko yang dapat menujukan surat saya ke surga. Baru setelah lewat beberapa bulan, saya bisa melepas kepergian Eyang dengan ikhlas.
Itulah, Kawan, kenapa saya selalu membahas dan berkali-kali menyebut "semangat pantang menyerah" dalam cerita-cerita saya. Semangat pantang menyerah adalah pelajaran terakhir dari Eyang Kung kepada saya. Eyang Kung telah membuktikan kepada saya bahwa semangat pantang menyerah bisa membawanya kepada kesuksesan. Semangat pantang menyerahpun telah berkali-kali membangkitkan saya dari keterpurukan. Pelajaran ini benar-benar berharga bagi saya. Terima kasih, Eyang.

"Terima kasih, Eyang, atas pelajaran-pelajaran yang telah engkau berikan padaku. Aku berjanji akan mengamalkan nasihat terakhirmu. Beristirahatlah dengan tenang, semoga suatu hari, dari atas sana, Eyang bisa menyaksikan cucumu ini meraih sukses sepertimu. Semoga Eyang diterima di sisi-Nya. Amin"
- Indra Ajidarma Sadewo, di depan makam Eyang Kung
Comentarios