Jangan Menyerah, Kawan!
- Indra Ajidarma Sadewo
- Jan 13, 2017
- 9 min read
"I have not failed. I've just found 10000 ways that won't work"
- Thomas A. Edison
Bagi orang awam, Thomas A. Edison adalah Bapak Penerang Dunia atau Bapak Bola Lampu Dunia. Bagi saya, Thomas A. Edison adalah Bapak Pantang Menyerah Dunia. Kisahnya telah menginspirasikan saya untuk tidak akan pernah menyerah. Untuk berhasil membuat bola lampu, Edison telah melakukan ratusan bahkan ribuan eksperimen. Beliau terus mencoba walaupun berulang kali gagal , mencoba lagi, gagal lagi, coba lagi, gagal lagi, coba lagi...dan tetap juga gagal. Tapi Edison tidak menyerah, beliau pantang menyerah dan terus mencoba hingga akhirnya berhasil.
Selama masih gagal, Edison bukanlah siapa-siapa. Tetapi setelah berhasil, nama Thomas A. Edison mendunia bahkan menjadi bagian dari sejarah manusia. Hal ini membuktikan bahwa sukses hanyalah satu di antara ribuan langkah. Selama kamu terus melangkah, suatu saat, kamu akan mencapai langkah yang membawa kamu pada kesuksesan. Kamu tidak akan tahu sudah seberapa dekat kamu dengan kesuksesan yang kamu cari.
Cerita yang akan saya ceritakan adalah sebuah cerita berdasarkan pengalaman pribadi tentang semangat pantang menyerah. Cerita ini masih berkaitan dengan post saya yang berjudul "Perubahan Besar dalam Hidup Saya", jadi saya sarankan untuk membaca post saya yang sebelumnya sebelum membaca yang ini.
Saat itu saya sedang menjalani semester pendek tahun pertama dalam kuliah saya. Saya melihat di papan pengumuman, ada sebuah pengumuman open recruitment untuk menjadi pengurus himpunan mahasiswa. Saya pun tertarik untuk mengikutinya untuk mencari pengalaman yang kelak akan berguna nantinya. Saya mengikuti screening atau wawancara untuk penyeleksian anggota pengurus himpunan baru. Saya mengikutinya dengan penuh kepercayaan diri. Setelah screening-pun saya dapat melangkah keluar dengan senyum lebar.
Beberapa hari setelahnya, benar-benar tak saya sangka, saya mendapat SMS yang mengabarkan bahwa saya tidak diterima di kepengurusan himpunan. Hal ini juga berarti saya baru bisa mencoba untuk masuk himpunan tahun depan. Yah, sudahlah, mungkin memang kapabilitas saya kurang untuk bisa menjadi pengurus himpunan. Hari-hari pun berjalan seperti biasa.
Tidak lama setelah open recruitment himpunan, ada lagi perekrutan panitia OSPEK atau di kampus saya disebut INAP (Inisiasi dan Adaptasi). Saya berencana untuk melamar menjadi mentor yang bertugas untuk membimbing mahasiswa baru mengenal dunia mahasiswa dan budaya-budaya di kampus serta jurusan ini. Saya pun mengikuti screening untuk menjadi mentor. Pada saat saya melakukan screening.....yah, menurut saya, tidak bisa dibilang sukses tapi juga tidak gagal. Saya menjawab pertanyaan dan melakukan simulasi dengan mantap dan saya rasa cukup baik.
Beberapa hari kemudian, saya mendapat kabar bahwa saya tidak diterima menjadi mentor dalam kepanitiaan INAP. Kandaslah sudah harapan saya untuk mengikuti salah satu kegiatan paling seru dalam program kerja himpunan. Jadi, yah begitulah, di saat teman-teman saya sibuk mengurus INAP untuk angkatan baru, saya hanya diam di rumah.
Semester 3 tiba, saya melihat ada perekrutan baru untuk sebuah acara pentas seni yang merupakan acara paling besar dari jurusan saya. Selama ini, saya selalu menjadi staff dana usaha, logistik, konsumsi, dan keamanan. Kali ini, saya ingin mencoba menjadi staff acara agar pengalaman saya bertambah dan wawasan saya juga menjadi lebih luas. Saya mendaftarkan diri dan kembali akan mengikuti screening. Pada saat melakukan screening, saya sangat percaya diri. Saya menjawab semua pertanyaan dengan tegas, lugas, dan mantap. Hanya satu kesalahan saya, saya lupa tema dari acara tersebut.
Beberapa hari kemudian, saya kembali mendapatkan kabar buruk. Lagi-lagi saya tidak diterima dalam kepanitiaan. Sungguh saya kesal dan dongkol bukan main. Ada yang salah dengan sistem screening ini. Tugas dari himpunan mahasiswa adalah menghimpun mahasiswa program studi tersebut dan memberikan wadah untuk mencari pengalaman dan menggali kreativitas. Sekarang, apabila memang, yah katakanlah, yang tidak lulus screening memang tidak dipandang memiliki kapabilitas yang cukup, bagaimana cara mahasiswa-mahasiswa tersebut berkembang jika tidak diberitahu apa kekurangan mereka yang menyebabkan mereka tidak diterima? Selama ini, kabar yang saya terima dari orang yang mewawancarai saya hanyalah kalimat-kalimat seperti, "Maaf, Anda tidak diterima dalam anggota divisi ini. Harap tidak berkecil hati dan tetap berpartisipasi dalam membantu kepanitiaan. Coba lagi tahun depan."
Jika pikiran saya masih seperti anak kecil, saat itu, saya akan merajuk dan tidak akan peduli dengan apapun yang terjadi dalam jurusan saya. Namun, untungnya, saya sudah dikaruniai pikiran positif oleh Tuhan yang mendorong saya agar tidak berkecil hat dan tidak menaruh dendam pada himpunan.
Waktu terus berjalan, tibalah akhir dari semester 4. Pada akhir semester ini, kembali dibuka perekrutan anggota kepengurusan himpunan. Ini adalah tahun terakhir saya untuk mempunyai kesempatan menjadi anggota kepengurusan himpunan. Kesempatan ini tidak boleh saya sia-siakan. Maka, untuk kedua kalinya, saya mengikut screening untuk masuk ke dalam kepengursan himpunan.
Entah sudah skenario Tuhan atau memang nasib saya yang sial, sehari sebelum screening saya jatuh sakit. Saya mengalami demam dan lemas luar biasa. Pilek dan batuk pun tidak lupa ikut serta. Selama sehari itu, saya tidak bisa berpikir untuk menyiapkan konsep yang akan saya presentasikan kepada orang-orang yang akan mewawancarai saya nanti. Sekeras apapun saya berpikir, saya tidak bisa membuat kemajuan apapun. Otak saya seperti mobil yang masuk persneling netral, mesinnya bisa berputar tapi tidak kunjung maju.
Keeseokan harinya, demam saya sudah turun dan badan saya sudah lebih bugar sedikit. Baru pada saat mandi pagilah saya bisa memikirkan dan mengembangkan konsep-konsep saya. Alhasil, konsep-konsep saya tidak matang.
Screening dimulai. Ketua himpunan, koordinator divisi, dan wakil ketua himpunan sudah berada di depan saya. Saat itu, saya memakai jaket karena udara pagi di luar cukup dingin. Ternyata di dalam ruangan tempat dilakukannya screening panas dan pengap bukan main. Jendelanya tidak ada yang dibuka, kipas angin berdiri di pojok tapi tidak dinyalakan. "Ya Tuhan, kenapa harus sepanas ini?" pikir saya dalam hati.
Nasib sial ternyata masih menghantui saya. Dengan suhu sepanas itu, ditambah lagi dengan ketegangan saya, saya berkeringat. Saya dalam situasi yang sulit. Membuka jaket di tengah screening akan menciptakan suasana yang sangat canggung dan pewawancara bisa mengira saya gugup. Tapi jika tidak saya lepas, keringat saya akan semakin bercucuran. Kondisi saya masih lemah karena belum sembuh benar dari sakit semalam. Berkeringat akan menyebabkan tubuh saya kembali merasa lemas. Benar saja, di tengah screening, tiba-tiba, badan saya terasa lemas. Otak saya kembali tidak bisa berpikir, persnelingnya kembali berpindah ke gigi netral. Saya menjawab pertanyaan dengan terbata-bata. Catatan kecil yang saya bawa tidak banyak membantu. Ini adalah screening terburuk yang pernah saya jalani.
Saya keluar ruangan dengan kepala tertunduk sambil menghela napas. Saat itu, sudah tidak ada lagi tempat dalam kepala saya untuk menaruh pikiran positif. Kalimat "Tidak akan diterima" terngiang-ngiang dalam kepala saya. Saya duduk di warung kopi favorit saya sambil minum teh lemon panas untuk meredakan batuk. Saya hampir tidak memedulikan teman-teman saya yang lalu lalang di depan saya. Jika mereka tidak menyapa saya, saya tidak menyapa mereka.
Saya begitu iri dengan para koordinator divisi di himpunan yang tak perlu melakukan screening apapun sudah bisa ditunjuk menjadi koordinator divisi dan menyeleksi bawahan-bawahannya. Saya bertanya-tanya dalam hati, "Kenapa bukan saya yang ditunjuk menjadi koordinator divisi? Apa yang membuat ketua himpunan memercayai mereka menjadi koordinator divisi? Saya juga sering ikut kepanitiaan. Saya juga sering menunjukkan kapabilitas. Saya yakin saya juga bisa menjadi koordinator divisi. Kenapa? Kenapa harus mereka?" Ibu saya pun sudah bersusah payah menghibur saya dan menyadarkan saya akan kelebihan-kelebihan yang saya miliki. But, nothing works.
Saat itu, pikiran dan hati saya sudah dikuasai oleh perasaan iri dan dengki. Saya harusnya ikut berbahagia karena teman-teman saya bisa menjadi orang yang maju. Tapi, yang saya rasakan hanyalah rasa iri terhadap mereka. Seharusnya ketertinggalan saya bisa saya jadikan motivasi untuk lebih maju lagi. Tapi, yang saya lakukan hanyalah meratapi nasib dan menyalahkan orang lain. Setan dalam diri saya sudah mencapai permukaan.
Beberapa hari kemudian, diumumkan siapa yang diterima menjadi pengurus himpunan. Benar prediksi saya, nama saya tidak ada dalam daftar. Dalam film, biasanya situasi ini akan diakhiri dengan ternyata saya diterima dan sukses. Tapi ini bukan film drama, ini bukan sinetron, ini bukan novel, ini relita. Hari itu, merupakan hari yang suram bagi saya. Yang saya kerjakan hanyalah berbaring di kamar, mendengarkan musik, mengutuk nasib, dan menyalahkan keadaan.
Koordinator divisi yang divisinya ingin saya masuki adalah teman sekelas saya. Saya merasa bersalah kepadanya karena saya sudah banyak menjanjikan konsep dan meninggikan harapannya terhadap saya. tapi, ternyata performansi saya dalam screening tidak memuaskan. Saya mengirim pesan pendek padanya dan meminta maaf. Kau tahu kawan? inilah jawaban yang dia berikan pada saya, "Justru gua yang harusnya bilang makasih karena lu udah ngikutin screening, Ndra. Honestly, lu termasuk top choices lho di daftar kandidat. Tapi, sayangnya, program kerja yang mau lu pegang saingannya banyak dan emang susah." Sekilas, jawaban itu hanyalah kalimat hiburan biasa. Tapi, entah kenapa, saya merasa jauh lebih baik setelah mengetahui bahwa saya adalah salah satu top choices candidates. Ah, memang luar biasa teman saya yang satu ini, Rio namanya. Ini dia orangnya .

Setelah saya merasa lebih baik, saya mencoba untuk lebih rileks agar saya bisa berpikir jernih. Tiba-tiba playlist musik laptop saya memainkan lagu "Eye of The Tiger" oleh Survivor. Bagi yang belum tahu lagunya dapat didengarkan di video di bawah ini.
Saya dengarkan liriknya secara seksama,
Risin' up, back on the street
Did my time, took my chances
Went the distance, now I'm back on my feet
Just a man and his will to survive
So many times, it happens too fast
You trade your passion for glory
Don't lose your grip on the dream of the past
You must fight just to keep them alive
It's the Eye of The Tiger, It's the thrill of the fight
Rising up to the challenge of our rival
And the last known survivor stalks his prey in the night
And he's watching us all with the Eye of The Tiger
Saya tercengang. Saya sadar, saya tidak boleh menyerah. Saya masih punya mimpi yang harus saya raih. Kalimat " just a man and his will to survive" seperti merujuk pada diri saya yang hanya seorang manusia yang ingin menggapai cita-citanya. Kalimat "You trade you passion for glory" seakan menyindir saya yang selama ini berusaha menjadi orang yang maju agar dilihat hebat oleh orang lain. Saya sadar bahwa yang saya incar di sini ternyata hanyalah kejayaan semata. Saya tidak melakukannya untuk diri saya sendiri. Saya melakukannya untuk dilihat orang lain.
Kalimat "Don't lose your grip on the dream of the past, you must fight just to keep them alive" mendorong saya untuk tidak menyerah pada mimpi saya. Untuk menjaga mimpi saya saja, saya harus bertarung dan berjuang. Akan dibutuhkan perjuangan yang lebih keras lagi untuk mewujudkannya.Terakhir, kalimat "Rising up to the challenge of our rival" seperti menyuruh saya untuk berdiri dan siap berkompetisi untuk menggapai cita-cita saya. Saya harus bisa menerima tantangan dari saingan-saingan saya. Inilah hukum alam, "Yang kuat bukanlah yang menang, yang menanglah yang kuat" (Franz Beckenbauer).
Saat itulah saya bangkit. Saya ingat dengan mimpi saya, yakni, melihat dunia. Mungkin Tuhan memang tidak merencanakan saya untuk masuk ke kepungurusan himpunan. Mungkin Tuhan merencanakan saya berada di organisasi yang lain. Tiba-tiba terbersit sebuah nama organisasi dalam benak saya, sebuah organisasi internasional. Organisasi tempat berkumpulnya para petualang tangguh dan orang yang cakap dari seluruh dunia. Nama organisasi itu adalah AIESEC.
Kemudian, saya melihat tweet dari seorang sahabat saya yang berkuliah di Semarang yang juga seorang anggota AIESEC, Nida namanya. Ini dia orangnya.

Nida adalah seorang petualang sejati, seorang pemberani yang tak kenal kata menyerah. Baginya, hidup adalah petualangan, hidup adalah perjuangan. Tidak ada yang tidak mungkin baginya. Jika diumpamakan, Nida adalah seekor burung yang tak akan pernah berhasil dikandangi. Sekeras apapun dunia berusaha mengekangnya, dia selalu bisa lolos dan dia akan terbang ke mana pun dia mau. Sudah berkali-kali semangat saya yang sedang redup kembali dinyalakannya hanya dengan membaca kata-katanya dan mendengar cerita hidupnya yang penuh petualangan dan begitu inspiratif. Dia masuk dalam daftar orang-orang yang sangat saya kagumi.
Saat itu, Nida meng-share sebuah link dari tumblr yang berjudul "Date an AIESECer". Bagi yang penasaran dengan isi link tersebut, bisa diakses dari link berikut :
http://thenadology.tumblr.com/post/50651585313/date-an-aiesecer .
Tulisan tersebut berisikan penjelasan mengapa seorang AIESECer bisa menjadi pasangan yang menyenangkan. Hidup seorang AIESECer adalah petualangan seru yang tiada habis-habisnya. Seorang AIESECer adalah orang yang dapat diandalkan. Melihat itu saya sadar bahwa begitu banyak keuntungan yang bisa saya petik dengan menjadi seorang AIESECer. Bayangkan, selain bisa mendapatkan banyak kenalan di luar negeri, kemampuan kepemimpinan juga meningkat, pengalaman bertambah, wawasan meluas, bahkan juga bisa menjadi seorang pasangan yang menyenangkan. Saya terdorong untuk menjadi seorang AIESECer. Ya, saya memutuskan untuk mencoba masuk ke AIESEC. Saya akan harus melewati proses wawancara yang cukup sulit, tapi siapa takut? Saya adalah cucu dari seorang pejuang kemerdekaan, adik dari seorang petualang, dan anak dari seorang penjelajah dan seorang pekerja keras. Saya yakin saya bisa. Hari itu, tanggal 22 Mei 2013, adalah hari saya mengambil langkah pertama dalam perjalanan meraih mimpi.
Keesokan harinya, saya berjanji bertemu dengan seorang junior saya yang sudah menjadi seorang anggota AIESEC, Yosefine namanya, biasa dipanggil Pipin. Ini dia orangnya.

Pipin juga adalah seorang petualang sejati. Baru sebentar masuk ke AIESEC saja, dia sudah pergi ke Cina untuk menjalani sebuah social project mengajar bahasa inggris. Hari ini, tanggal 28 Mei 2013, dia berangkat ke Cina yang rencananya akan menetap di sana selama 2 bulan, good luck Pin! :D.
Pipin juga seorang manusia yang memiliki cita-cita besar, usahanya pun juga tidak tanggung-tanggung. Saya tidak tahu isi kepala orang ini, tapi yang pasti sangat ramai akan pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa besar dunia, ada berapa macam orang di dunia, ada berapa macam budaya di dunia, dan saya yakin dia akan pergi melihat dunia untuk mencari jawabannya . Yang diinginkannya hanyalah pengalaman. Apapun jadinya dirinya nanti, pengalaman adalah nomor satu baginya.
Hari itu, saya mengobrol banyak dengan Pipin tentang AIESEC dan mimpi kami masing-masing. Sungguh saya kagum dengan semangatnya. Saya pun tidak mau kalah. Semakin mantaplah tekad saya untuk masuk ke AIESEC. Pipin mengatakan pada saya akan segera mangabari saya apabila AIESEC di kampus kami membuka perekrutan anggota baru. Saya prediksikan, waktu perekrutan tidak akan lama lagi. Oleh karena itu, kini, saya sedang mempersiapkan kemampuan berbahasa inggris dan kemampuan berbicara serta berkomunikasi dengan fasih agar pewawancara saya nanti dapat melihat semangat saya dengan jelas. Meskipun saya menemukan kegagalan, saya tidak akan menyerah! Sekali lagi, SAYA TIDAK AKAN MENYERAH !
Begitulah teman-teman, cerita yang dapat saya sampaikan yang membuktikan bahwa selalu ada hikmah di balik setiap musibah. Bayangkan, jika jalan saya masuk ke dalam kepanitiaan lancar-lancar saja, mungkin saya tidak akan berpikir untuk mengambil langkah untuk meraih mimipi saya. Bahkan, nama AIESEC mungkin tidak akan terbersit di kepala saya. Oleh karena itu, janganlah menyerah, Kawan! Parameter kesuksesan ada pada diri kita sendiri. Tidak alat ukur maupun satuan khusus untuk mengukur tingkat kesuksesan.
Jangan merasa dirimu lebih rendah dari orang lain, setiap orang mempunyai kelebihannya masing-masing. Hidup itu seperti berselancar. Masalah itu seperti ombak. Kita tidak akan bisa berselancar jika tidak ada ombak. Tergulung ombak itu pasti. Tapi, tidak ada peselancar profesional yang tidak pernah tergulung ombak. Live your own life in your own way!
"Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid"
- Albert Einstein
Opmerkingen