Harta yang Sesungguhnya
- Indra Ajidarma Sadewo
- Jan 13, 2017
- 11 min read
Pada tanggal 24 September 1989, di sebuah rumah sakit di Jakarta, lahirlah seorang bayi laki-laki. Bayi tersebut adalah kakak saya. Arti dari namanya adalah angin. Dia adalah seorang anak laki-laki sulung dari ayah dan ibu saya.

Di atas adalah foto kakak saya ketika masih bayi. Dapat kamu lihat ekspresi damai pada wajah dan matanya. Menurut cerita ibu saya, kakak saya adalah bayi yang tidak bisa diam, selalu ada saja yang dilakukannya. Ibu saya juga bercerita, selama kakak saya masih di kandungan, ibu saya mengidam udang. Hampir setiap hari ayah saya mengantar ibu saya keluar untuk makan udang. Jadi, bisa dikatakan, nutrisi yang diterima oleh kakak saya selama masa kandungan sebagian besar berasal dari udang.
Tiga tahun kemudian, pada tanggal 12 Desember 1992, dilahirkan seorang bayi laki-laki lagi. Bayi tersebut diberi nama Indra Ajidarma Sadewo, itulah saya. Sejujurnya, saya tidak yakin dengan arti nama "Indra" itu sendiri. Menurut agama Hindu, Indra adalah nama dari Dewa Hujan & Petir. Tapi, ayah saya mengatakan bahwa arti nama saya di sini berarti Bumi atau Dewa Bumi. Jadi, asumsikan saja bahwa arti nama saya adalah Bumi.

Nah, foto di atas adalah foto saya ketika masih bayi. Bisa kamu lihat tatapan mata saya yang memancarkan keingintahuan. Menurut cerita ibu saya, selama saya masih dalam kandungan, ibu saya tidak mengidam apapun. Justru ibu saya sering sekali mual dan muntah. Saya jadi berpikir, apakah bisa dikatakan saya anak yang bikin mual? Mudah-mudahan tidak, kakak saya saja tidak dilahirkan dengan otak udang hehe.
"Angin" dan "Bumi" telah dilahirkan di dunia. Yang satu berupa zat gas sedangkan satunya lagi berupa zat padat, dua unsur yang tak dapat disatukan. Apakah benar saya dan kakak saya adalah seorang adik kakak yang tidak dapat disatukan sesuai dengan nama kami?
Bagaimana? Terlihat harmonis bukan? Yah, jika kamu berpikir bahwa hubungan kami harmonis, kamu SALAH BESAR. Ketahuilah, Kawan, masa kecil kami adalah medan perang. Ketika saya masih kecil, kakak saya memang kakak yang teladan. Bahkan, saya pernah melihat foto Bayu sedang mengancingkan baju saya karena saya belum bisa mengancing baju saya sendiri. Tetapi, ketika saya sudah mulai besar sedikit, kakak saya mulai sering menjahili saya.
Masa-masa kejayaannya adalah ketika umur saya masih mengharuskan saya memakai popok, di saat saya masih belum bisa berpikir dan cenderung mengikuti segala perintahnya. Foto di bawah ini adalah bukti perkataan saya di atas.

Kamu lihat anak kecil yang sedang mendorong mobil-mobilan dari belakang? Nah, itu saya. Yang sedang duduk dengan tenang di atas mobil-mobilan yang saya dorong adalah Bayu. Seharusnya, seorang kakak akan senantiasa mendorong mobil-mobilan yang sedang diduduki adiknya. Tapi, pada foto di atas, dapat kamu lihat bahwa hal itu sudah berbalik 180 derajat.
Masa kecil kami adalah kompetisi, kami selalu bersaing. Hampir setiap hari kami bertengkar. Sebagian besar pertengkaran kami biasanya terjadi ketika kami sedang bermain berdua. Kakak saya hampir tidak pernah tidak curang jika sedang bermain dengan saya, baik itu permainan monopoli, kartu, ular tangga, maupun playstation. Sebenarnya kakak saya tidak curang, hanya saja saya sangat mudah ditipu dan kakak saya tidak bersedia untuk mengalah. Untuk sebuah pembenaran, saya katakan kakak saya curang. Sekeras apapun saya berusaha, saya tidak pernah bisa menang dari dia.
Tidak jarang juga kami berdebat. Jika kami berdebat, sudah dapat dipastikan saya pasti kalah. Senjata saya untuk mempertahankan diri adalah ibu saya. Jika kakak saya membuat saya menangis, saya akan lari ke ibu saya dan mengadukan perbuatannya. Biasanya, ibu saya akan memarahi kakak saya jika saya mengadu. Saat itu adalah saat-saat di mana saya merasa puas karena saya dibela. Tapi, pada akhirnya, kakak saya akan kembali memarahi saya karena saya mengadukan perbuatannya. Jadi, dapat dikatakan saya selalu kalah.
Kami memiliki beberapa kebiasaan yang selalu kami lakukan bersama-sama. Setiap malam, ketika ayah kami baru pulang dari kantor, kami akan langsung berlarian ke pintu dan memeluk ayah kami. Hampir setiap malam, kami minta diantar ke kamar tidur oleh ayah kami dengan cara digendong. Ayah akan menggendong Bayu di atas pundaknya dan saya akan memeluk kaki ayah, menggantung seperti monyet. Kami seperti tuyul-tuyul yang tidak pernah membiarkan ayah kami beristirahat dengan tenang.
Saat kami menginjak umur balita, ayah saya sudah tidak kuat lagi menggendong kami berdua sekaligus karena kami sudah semakin besar. Kami mengganti tradisi gendong-menggendong dengan meminta ayah dan ibu untuk mencium kepala kami setiap malam sebelum tidur. Tidak jarang pula ayah kami menemani kami tidur sambil menceritakan legenda Naga Baru Klinting dari Rawa Pening. Pada awalnya, cerita yang diceritakan ayah saya adalah benar-benar cerita legenda Naga Baru Klinting. Tapi, karena kami berdua terus meminta ayah untuk menceritakan cerita kelanjutannya setiap malam walaupun ceritanya sebenarnya sudah selesai, ayah saya terus menceritakan kelanjutan dari cerita Naga Baru Klinting yang beliau karang sendiri. Beliau menceritakan karangannya sendiri kalimat demi kalimat. Setiap jeda antar kalimat adalah waktu untuk ayah saya memikirkan kelanjutan ceritanya. Tidak heran, terkadang jedanya terlampau lama.
Keluarga kami memiliki seorang pembantu rumah tangga. Kami biasa memanggilnya Mbok Inem atau "Mbok" saja. Mbok Inem telah bekerja pada keluarga kami sejak Bayu masih bayi. Saat kami masih bayi, ayah dan ibu saya bekerja di kantor, Mbok Inemlah yang merawat kami selama ayah dan ibu kami bekerja. Beliau telah merasakan bagaimana kenakalan dan kebadungan kami. Beliaulah yang susah payah menyuapi kami yang seringkali susah makan dan berlari ke sana-sini.
Setiap hari, beliaulah yang memasak makanan untuk kami sekeluarga. Masakan Mbok adalah masakan yang paling enak yang pernah kami rasakan. Restoran manapun rasanya sulit untuk menandingi kelezatan masakan Mbok.
Saat kami remaja pun, Mbok tidak berhenti mengasuh kami. Beliau yang bersusah payah membangunkan kami setiap pagi untuk pergi ke sekolah. Di antara saya dan kakak saya, saya adalah yang paling sulit dibangunkan. Jika sudah dibangunkan, saya sering pura-pura duduk dan mengumpulkan nyawa. Setelah Mbok pergi dari kamar, saya kembali tidur. Bila itu terjadi, Mbok akan kembali membangunkan saya sambil mengomel menggunakan bahasa Jawa. Asal kamu tahu, Kawan, hal itu terjadi hampir setiap pagi. Sungguh besar jasanya bagi kami sekeluarga. Beliau sudah seperti anggota keluarga kami. Jika saya atau kakak saya akan pergi ke Bandung, kami selalu mencium tangannya untuk pamit. Ketahuilah, Kawan, Mbok Inem masih bekerja di rumah saya hingga sekarang.
Sejak kecil, saya dan kakak saya memiliki beberapa perbedaan yang signifikan. Dilihat dari fisik, wajah dan badan saya lebih mirip dengan ayah saya. Sedangkan, wajah kakak saya lebih mirip dengan ibu saya. Tapi jika dilihat dari sifat, saya memiliki sifat yang mirip dengan ibu saya. Sedangkan kakak saya memiliki sifat yang mirip dengan ayah saya. Jika dilihat dari segi kepribadian, kepribadian saya lebih mirip dengan ayah saya. Sedangkan, kakak saya memiliki kepribadian yang mirip dengan ibu saya. Lucu bukan? Gen kami seperti campuran gen ayah dan ibu saya yang dibagi dengan proporsi yang sama rata.
Kami juga memiliki ketertarikan yang sangat berbeda. Jika dilihat dari mainan kami, mainan saya cenderung berupa action figure dari para superhero beserta musuh-musuhnya. Cara bermain saya pun cenderung destruktif, tidak sedikit dari mainan-mainan saya yang tangan atau kakinya sudah putus. Bahkan, ada yang hanya tersisa kaki atau tangannya saja, sedangkan badannya hilang entah ke mana. Mainan-mainan kakak saya memiliki suasana yang damai seperti orang-orangan kerdil, binatang-binatangan, dan lego. Cara bermainnya pun juga sangat tenang. Kakak saya sangat senang menyusun mainannya satu per satu di suatu tempat hingga keramaian mainan-mainannya menggambarkan suatu suasana atau cerita. Sudah terlihat sejak kecil bahwa kakak saya adalah orang yang cermat dan teliti.
Dalam hal musik, ketertarikan kami pun berbeda. Sejak kecil, kakak saya senang mendengarkan musik-musik klasik dan instrumental. Setelah beranjak dewasa, ternyata kakak saya mengikuti orkestra mahasiswa yang sering memainkan musik-musik klasik.
Sejak kecil, saya adalah penggemar musik rock dan pop. Musik rock pertama yang saya dengar berasal dari grup band Bon Jovi. Ketika itu, lagu "It's My Life" adalah lagu sehari-hari saya. Kemudian saya mulai mendengarkan lagu-lagu yang lebih pop dan pelan seperti Michael Learns to Rock dan Peter Cetera. Setelah saya beranjak dewasa pun, ternyata saya menjadi seorang pemain band.


Seiring berjalannya waktu, kami berdua telah beranjak remaja. Kepribadian kami mulai terlihat dengan jelas. Kakak saya adalah seorang extrover dan sanguinis sejati. Dia selalu saja berbicara dan menceritakan apapun yang dia alami kepada banyak orang. Dalam keluarga kami, dia seperti radio yang senantiasa berbunyi siang malam. Bayu tumbuh menjadi orang yang terbuka dan aktif. Sedangkan, saya adalah seorang introver dan plegmatis. Saya tidak akan berbicara jika merasa tidak perlu bicara. Saya tumbuh menjadi seorang yang pendiam. Saya adalah orang yang tertutup, ibu saya sampai kuatir karena saya hampir tidak pernah menceritakan apapun yang terjadi di sekolah dan lingkungan pergaulan saya. Sudah kodratnya, Kawan, saya memang tidak bisa bercerita tentang hal-hal pribadi kepada sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu dan terpilih saja yang saya bisa merasa nyaman untuk bercerita. Jadi, bagi semua orang yang menjadi teman curhat saya, ketahuilah, kalian adalah orang-orang yang sangat spesial bagi saya :).
Ketika kami menginjak umur remaja, frekuensi pertengkaran kami berkurang. Kami lebih sering terlarut dengan dunia kami masing-masing. Kakak saya sering terlarut dengan dunia khayalannya dalam menggambar dan mendesain. Sedangkan, saya sering terlarut dengan dunia musik. Kedekatan kami terasa sangat longgar saat itu.
Waktu tak pernah berhenti berjalan, tibalah di saat kakak saya akan menjalani kuliah di Bandung. Pada awalnya, saya merasa lebih bebas karena tidak ada lagi yang akan memarahi dan mengatur-ngatur saya selama di rumah. Tapi, sekitar sebulan kemudian, saya merasa ada yang hilang. Suasana rumah terasa sangat sepi tanpa keberadaan kakak saya. Saya dan ayah saya adalah orang yang tidak banyak bicara. Suasana makan malam setiap harinya terasa hening. Ibu saya pun juga tidak banyak bicara jika kami tidak bicara. Biasanya, di saat makan malam, kakak saya selalu bercerita dan memberikan komentar yang lucu pada setiap topik pembicaraan. Piring-piring di rumah yang biasanya tertata rapi berjumlah empat, kini sudah berkurang menjadi tiga. Baru saya sadari, saya merindukan kakak saya.
Saya dan kakak saya selalu tidur di kamar yang sama sejak kecil. Sudah beberapa bulan lewat setelah saya mulai tidur sendiri di kamar. Setiap hari saya tidur dengan lampu menyala. Aneh rasanya tidur tanpa kawan. Biasanya, sebelum tidur, saya dan kakak saya selalu mengobrol dan terus mengobrol hingga salah satu dari kami tertidur. Tidak jarang pula kakak saya membuat saya tertawa terbahak-bahak dengan segala lelucon dan komentar lucunya. Sejak dia kuliah di Bandung, tidak ada yang mengajak saya mengobrol sebelum tidur. Sepi, hanya saya dan bantal guling yang kosong.
Apabila kakak saya sedang pulang ke Jakarta, itu adalah momen yang saya tunggu-tunggu. Walaupun setiap kali dia pulang ke rumah, saya selalu saja dimarahi karena saya selalu tidak mengembalikan buku komik yang sudah selesai saya baca ke raknya. Padahal, dia ingin semua buku sudah tertata rapi di raknya masing-masing ketika dia pulang. Tapi saya sudah cukup senang dengan kembalinya kakak saya ke rumah.
Tibalah saatnya saya berkuliah. Mengikuti jejak kakak saya, saya berkuliah juga di Bandung. Sejujurnya, saya pun enggan meninggalkan ibu dan ayah saya berdua di rumah. Jumlah piring di meja makan yang tertata setiap harinya berkurang dari tiga menjadi dua.Untungnya, tidak lama kemudian, kakak saya sudah menyelesaikan kuliahnya dan sudah kembali tinggal di rumah bersama ibu dan ayah kami.
Waktu tak pernah berhenti bergulir. Tibalah saatnya kakak saya akan meneruskan studi untuk mendapatkan gelar S2 di Australia. Saya, ibu, ayah, dan kakak saya sudah berada di Bandara. Detik demi detik, menit demi menit terus berjalan menuju ke waktu keberangkatan kakak saya ke Australia. Kami berempat berdiri di depan pintu yang akan memisahkan penumpang pesawat dengan pengantarnya.
Tiba-tiba, datang sekumpulan teman kakak saya ke tempat kami sambil membawa beberapa barang untuk kenang-kenangan. Mereka datang memberikan kejutan pada kakak saya untuk mengantar kepergiannya ke luar negeri. Mereka pun saling berpelukan dan bercanda ria. Bukan main hangatnya, inilah arti persahabatan yang sesungguhnya. Sebagian teman-teman kakak saya yang datang adalah teman kuliahnya yang tinggal di Bandung. Mereka rela datang jauh-jauh ke Jakarta dan pergi ke bandara hanya untuk mengantar keberangkatan kakak saya menempuh pengalaman baru.
Sudah tidak tersedia banyak waktu lagi untuk perpisahan, pesawat yang akan membawa kakak saya ke negeri orang akan segera berangkat. Kakak saya memeluk Ayah untuk mengucapkan 'sampai jumpa'. Ayah memeluknya dan mencium kepalanya. Kemudian, kakak saya memeluk Ibu, ibu kami tersayang. Cukup lama Ibu memeluknya, ibu saya sadar tidak akan bertemu anak sulungnya dalam waktu yang lama. Air matanya menetes satu demi satu dalam pelukan kakak saya. Kakak saya pun tak urung menahan air matanya. Setelah ibu saya mencium kedua pipi kakak saya, kakak saya beralih kepada saya.
Sejujurnya, saya cukup bingung dengan apa yang harus saya lakukan untuk mengucapkan 'sampai jumpa' padanya. Kami berdua adalah kompetitor sejati sejak kecil. Gengsi kami terlalu tinggi untuk melakukan hal yang terlalu melankolis. Haruskah saya memeluknya? Rasanya aneh karena kami belum pernah berpelukan seumur hidup.
Kakak saya mendatangi saya, sayapun mengangkat tangan saya. Niat saya adalah untuk melakukan tos atau hanya sekedar bersalaman dengannya. Tapi tidak, kakak saya mendatangi saya dan segera memeluk saya. Saya sedikit kaget sebenarnya, tapi ya sudahlah, saya pun membalas pelukannya.
Entah kenapa, tenggorokan saya sedikit tercekat ketika kakak saya melepaskan pelukannya. Kakak saya pun menyeka air matanya, mengangkat kopernya, dan berjalan ke pintu keberangkatan sambil melambaikan tangannya pada kami. Ada rasa panas pada mata saya ketika membalas lambaian tangannya. Setelah Bayu, melewati pintu keberangkatan, dia terus berjalan tanpa menengok ke belakang lagi. Teman-teman kakak saya dan keluarga saya pun mulai berjalan untuk kembali ke rumah. Saya terdiam sambil menatap punggung kakak saya yang semakin lama semakin menjauh.
Air mata saya menetes satu per satu dan semakin deras ketika kakak saya sudah hilang dari pandangan. Saya sadar saya tidak akan bertemu teman bermain saya sejak kecil untuk sekitar dua tahun lamanya. Tak ada lagi yang akan mengajak saya menonton film hampir setiap malamnya selama dua tahun ke depan. Tak ada lagi yang akan mengantar tidur saya dengan obrolan-obrolan lucu selama dua tahun ke depan. Tak pernah saya kira, air mata saya akan menetes deras ketika mengantar keberangkatan kakak saya ke Australia. Dengan berat hati, saya pun mulai berjalan ke mobil untuk pulang ke rumah.
Waktu berjalan terus, saya sudah selesai menempuh semester 4 dan sedang menempuh semester pendek. Saya memang mempunyai cukup banyak mata kuliah yang harus saya ulang, jadi saya mengikuti semester pendek. Sejujurnya, saya ingin merasakan liburan yang cukup lama. Beristirahat dari segala rutinitas kuliah yang membuat saya sibuk. Sayang sekali, situasi dan kondisi tidak memungkinkan.
Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat berita bahwa kakak saya akan kembali ke Jakarta. Wah, saya senang bukan main. Saya akan kembali bertemu kakak saya, padahal 2 tahun belum lewat. Saya sudah tak berjumpa dengannya sekitar setahun lamanya.
Pada tanggal 14 Juni 2013, saya kembali ke Jakarta bersama dengan sepupu saya yang kebetulan juga berkuliah di Bandung, Luthfi, ke jakarta untuk menyambut kedatangan kakak saya. Kakak saya akan mendarat di Indonesia pukul 18.35. Saya dan Luthfi berangkat ke Jakarta dari Bandung sekitar jam 4 sore. Tapi, pada akhir perjalanan kami, Luthfi terserang sakit dan demam. Kami pun beralih ke Rumah Sakit Pondok Indah untuk menemani Luthfi berobat ke dokter bersama kedua orang tuanya. Ibu saya sudah menjemput kakak saya di bandara dari sore dan sekarang sedang menuju ke RSPI untuk menjemput saya.
Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul setengah 9 malam. Saya, Luthfi dan keluarganya sedang makan malam di kantin rumah sakit. Saya sengaja tidak makan saat itu karena saya ingin makan malam di rumah dengan masakan Mbok yang selalu saya rindukan. Tiba-tiba dari pintu masuk kantin, datang ibu saya dan..........kakak saya!
Ah, wajah yang sudah lama tak kujumpa, sudah setahun lamanya. Kakak saya sudah kembali dari Australia. Tanpa ragu, kami segera berpelukan. Dari eratnya pelukan kakak saya, dapat saya rasakan kebahagiaannya bertemu kembali denganku, satu-satunya adik yang dia miliki. Sayapun sangat bahagia bisa kembali berjumpa dengan kakak saya, saingan setia saya sejak kecil.
Setelah berpamitan dengan Luthfi sekeluarga, kami pulang ke rumah. Saya dan kakak saya, dua anak laki-laki yang sudah jarang kembali berada di rumah telah kembali pulang ke rumah kami tersayang, walaupun hanya untuk sementara. Orang pertama yang kami temui adalah Mbok Inem, pengasuh setia kami sejak kecil. Dapat saya lihat kebahagiaannya yang meluap-luap ketika kembali bertemu dengan kakak saya. Beliau mengangkat kedua tangannya dengan semangat dan menyalami kakak saya. Senyumnya yang sederhana dan penuh kepuasan tersungging di wajahnya. Saya sungguh terharu melihat Mbok yang kini sudah tua berada di depan kakak saya, seorang anak kecil yang dulu terus menyusahkannya karena susah makan. Saya pun mencium tangan Mbok dengan haru, "Mbok, kedua bayi Mbok udah pulang ke rumah."
Kami berdua masuk ke dalam rumah. Kami melihat Ayah sedang menonton televisi di ruang tamu. Kami berdua berlarian mendatanginya, persis seperti yang kami lakukan setiap malam saat Ayah pulang kantor waktu kami kecil dulu. Ayah memeluk saya dan kakak saya sambil mencium kepala kami, persis seperti yang selalu beliau lakukan setiap kali kami akan tidur waktu kami kecil dulu. Saya melihat senyumnya yang jarang diperlihatkannya. Senyumnya yang begitu tulus dan memancarkan kebahagiaan yang teramat sangat.
Setelah kami menaruh barang-barang kami di kamar, kami sekeluarga makan malam bersama. Piring-piring di meja makan kembali berjumlah empat. Jumlah kursi yang diduduki pada saat makan malam kembali berjumlah empat. Suasana kekeluargaan yang begitu hangat kembali menyelimuti atmosfer rumah kami malam itu. Seluruh anggota keluarga kami, Ayah, Ibu, kakak saya, Saya, Mbok, bahkan kucing-kucing kami pun berkumpul di rumah dan makan malam bersama, tak kurang seorangpun. Ya, persis seperti dulu.
Sirna sudah segala beban pikiran yang saya tanggung selama saya di Bandung. Radio keluarga kami sudah kembali berbunyi. Lelucon-lelucon dan komentar lucu kakak saya kembali berkumandang. Saya, Ibu, dan Ayah yang biasanya tidak banyak berbicara jadi ikut tertawa dan mengobrol. Bukan main, saya sungguh bersyukur keluarga saya masih lengkap.
Teman-teman, saya harap cerita saya ini dapat menyadarkan kamu betapa berharganya keluargamu. Jangan malu untuk menemani ibumu berbelanja atau sekedar jalan-jalan. Beliaupun membutuhkan keberadaanmu. Bersyukurlah, kamu masih memiliki ibu. Hormatilah ayahmu, tanpa jasa ayah, kamu tidak akan setegar sekarang. Sayangilah adik dan kakakmu, merekalah teman bermainmu sejak kecil. Walaupun nantinya kalian akan memiliki keluarga masing-masing, terus jalinlah hubungan dengan mereka karena untuk selamanya, mereka adalah adik dan kakakmu.
Bersyukurlah, jika anggota keluargamu masih lengkap. Jika ada anggota keluargamu yang sudah meninggalkanmu lebih dulu, jangan lupa untuk terus mengenang dan mendoakan mereka. Meskipun jauh, merekapun juga ingin ikut makan malam bersamamu sekeluarga. Jika kamu kehilangan sesuatu yang berharga, berhentilah meratap dan lihatlah pada apa yang masih tersisa. Bersyukurlah.
"What's gone is gone. But ask yourself this, 'what remains?' "
- Jinbei, One Piece
Comentarios