top of page

Stress dari Tabir Maya

  • indrasadewo
  • Jan 12, 2017
  • 8 min read

Kedua ibu jari tangan mengetuk-ngetuk, mengelus, dan memainkan sebuah layar. Kedua mata terpaku pada sebuah layar terang, melihat, membaca, dan mengamati. Otak dipagari, disuapi informasi-informasi dari dunia yang tidak sepenuhnya ada, tetapi terlalu nyata untuk dipungkiri keberadaannya. Kaki tergantung, tertidur, tak bergerak. Terkadang terasa seperti sedang dirubungi sekawanan semut. Tahukah Kamu apa yang sedang saya bicarakan?


Baiklah, kegiatan tersebut adalah kegiatan yang sedang Anda lakukan. Perhatikan diri Anda, sekarang. Betul, bukan?


Nah, pos ini berhubungan dengan pos "Layar Hipnotis" yang pernah saya terbitkan beberapa bulan yang lalu. Namun, kali ini, saya akan membahas suatu hal yang lebih mendalam dan telah mengubah gaya hidup mayoritas manusia di seluruh dunia.


Kamu pernah mendengar yang namanya "Media Sosial"? Tentunya pernah. Tapi, terpikirkah Kamu perubahan gaya hidup seperti apa yang saya bicarakan? Ya, di pos "Layar Hipnotis" sudah saya jabarkan mengenai perubahan gaya hidup tersebut. Tapi, dunia maya tersebut telah mengubah sesuatu yang lebih dalam pada diri kita secara individual. Dunia maya, khususnya media sosial, telah berhasil mengorek diri kita hingga ke tahap yang lebih dalam dari sekedar pikiran, yaitu mental.

Apa sih yang kita lihat pada media sosial? Awalnya, media sosial digunakan untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang kita sayangi, tak peduli seberapa jauh mereka dari kita. Namun, semakin lama, penggunaan media sosial semakin bergeser. Kini, media sosial memberikan kita fasilitas untuk menguak hal-hal yang bersifat pribadi seperti foto kita, tempat tinggal kita, nomor telepon genggam kita, keberadaan kita pada waktu tertentu, isi pikiran kita, bahkan kenangan-kenangan kita dan menyebarluaskannya kepada "teman-teman" kita dengan begitu terbukanya macam artikel-artikel di majalah dinding sekolah.


Sumber : http://tinyurl.com/z97vbnk

Kini, media sosial telah menjadi bagian besar dalam hidup kita. Kita sudah menjadi buku yang terbuka lebar, dapat dibaca orang lain kapanpun dan di manapun. Jika tidak mengecek atau menggunakan media sosial rasanya ada yang kurang. Telah tumbuh rasa ingin tahu yang begitu besar dalam diri kita untuk mengeksplorasi kehidupan orang lain yang sebenarnya bukan urusan kita.


Saya sudah melakukan beberapa penelitian dan mewawancarai beberapa orang, khususnya mahasiswa, tentang pengaruh media sosial terhadap keadaan mental mereka. Dari penelitian tersebut, saya mendapatkan beberapa poin-poin penting dan telah membuktikan bahwa media sosial dapat menyebabkan stress pada diri kita.


1. Kecemburuan Sosial

Media sosial zaman sekarang memberikan kita fasilitas untuk melihat perjalanan hidup orang lain. Contohnya, Kamu dapat melihat foto-foto, isi pikiran, dan tempat-tempat yang orang lain telah kunjungi selama mereka masih memperbarui media sosial mereka.


Setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda. Tapi, sudah naluri kita sebagai manusia untuk membandingkan segala sesuatunya. Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau karena kita membandingkan dengan rumput di halaman rumah kita. Nah, itu hanya sebuah analogi. Namun, analogi tersebut memang terjadi di kehidupan kita. Bedanya zaman dulu dengan sekarang, kita tidak lagi membandingkan hijaunya rumput, tapi membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain. Dengan segala informasi yang tersedia di media sosial, kita dapat membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain. Misalnya, kamu sedang libur kuliah atau kerja dan hanya menghabiskan waktu di rumah. Lalu, kamu melihat foto-foto teman-temanmu sedang berlibur bersama-sama di Bali atau mungkin di luar negeri. Oh, jangalah Engkau berdusta, Kawan. Pasti ada, paling tidak, sedikit rasa iri terhadap teman-temanmu. Akan timbul keinginan dalam diri kamu untuk bergabung dengan mereka atau pergi pula liburan ke luar negeri. Tapi, apa daya, isi kantung tidak mencukupi.


Apakah, hanya dengan melihat foto-foto tersebut, kamu akan merasa tertekan? Mungkin ya, tapi hanya sedikit. Nah, masalahnya, kita melakukan hal itu setiap hari. Biar sedikit, lama-lama jadi bukit, bukan?


Contoh lain: Apabila ada foto temanmu sudah berkarir dengan sukses, sedangkan kamu masih saja menganggur atau, bahkan, mungkin belum lulus. Reaksi orang akan berbeda, ada yang menjadikan hal itu motivasi, ada juga yang justru bersedih dan berkecil hati.


Nah, itulah yang saya maksud dengan kecemburuan sosial. Kecemburuan tersebut dapat menimbulkan dua kemungkinan, yaitu menimbulkan masalah individual dan menghasilkan motivasi. Tapi, yang pasti, keduanya akan terjadi.


2. Cyberbullying

Kamu pernah mendengar tentang cyberbullying? Mungkin pernah, tapi tidak terlalu mengerti. Pada dasarnya, cyberbullying merupakan tindakan mempermalukan atau menyakiti orang lain melalui internet. Tindakan ini lebih diarahkan pada media sosial. Misalnya, kamu saya bicarakan di blog ini dengan foto dan nama yang jelas. Saya berikan deskrpisi kekuranganmu dan semua aib-aibmu di blog saya. Benar atau tidak, orang lain akan tahu dan mempertanyakannya. Kemudian, hal itu akan berkembang menjadi gosip. Seperti yang Kamu tahu, mayoritas, hasil dari gosip adalah penyimpangan dari fakta yang sebenarnya. Bisa jadi, berita yang tersebar jadi lebih buruk dari yang saya tuliskan di blog. Contoh lain, di sebuah grup media sosial, katakanlah, grup chat, saya mempermalukanmu dengan mengabarkan pada semua orang di grup tersebut segala aib-aibmu. Kamu tentunya tersakiti, bukan? Itulah cyberbullying.

Sayapun pernah melakukan cyberbullying. Saya menyindir orang lain di suatu media sosial. Dalam pikiran saya, itu tidak akan menyinggung siapapun karena tidak menyebut nama. Namun, orang yang berurusan dengan saya akan menyadari itu dan merasa dipermalukan. Akhirnya terjadilah sebuah masalah. Oleh karena itulah saya selalu mengatakan "Maaf apabila ada kata-kata saya yang tak berkenan di hati" di setiap pos saya. Hal itu saya tuliskan untuk mengatakan kepada pembaca bahwa apa yang saya tuliskan tidak dimaksudkan untuk siapapun dan bukan merupakan sindiran, sekecil apapun.


Biasanya, cyberbullying terjadi pada remaja yang sering ditekan di sekolah. Coba Kamu bayangkan, sudah ditekan di sekolah, di media sosial pun ditekan. Hal itu akan menimbulkan stress yang berkepanjangan.


3. Kesalahpahaman

Nah hal ini mencakup banyak fakor. Banyak sekali kesalahpahaman yang dapat terjadi dengan adanya media sosial. Misalnya, teman-teman saya pergi menonton di bioskop. Kemudian, mereka mengunggah informasi mereka sedang di mana dan bersama siapa. Kebetulan saya melihat unggahan tersebut dan saya tersinggung karena tidak diajak, padahal mereka teman-teman dekat saya. Jika tidak diluruskan, hal tersebut dapat menyebabkan perpecahan antara saya dengan teman-teman saya. Padahal, ternyata mereka tidak mengajak saya karena mereka ingin menonton film horor dan mereka tahu bahwa saya tidak suka film horor (jangan salah mengerti ya, Kawan, ini hanya contoh. Saya suka kok menonton film horor). Sederhana, bukan? Tapi kesalahpahaman yang sesederhana itu saja dapat menimbulkan perpecahan, bagaimana dengan yang lainnya?


Hal yang serupa dapat terjadi pada dua orang yang sedang bermasalah. Misalnya, menulis status yang merujuk pada seseorang bisa disalahpahami karena mereka sedang bermasalah. Padahal orang yang dirujuk pada status tersebut belum tentu dia.


Contoh lain, dua orang baru saja putus hubungan. Media sosial adalah hal yang tetap menghubungkan mereka berdua, tak peduli jarak, tak peduli waktu. Kehidupan masing-masing masih dapat terlihat dan dibaca seperti buku. Apabila salah satu di antara dua orang tersebut masih menyayangi mantan kekasihnya, maka dia akan selalu ingin tahu perkembangan dan perjalanan hidup mantan kekasihnya lewat media sosial. Apabila mantan kekasihnya memiliki kekasih baru, maka hal tersebut akan meremukkan hatinya. Walaupun remuk hatinya, dia terus-menerus melakukannya karena dia tidak tahan apabila tidak memeriksa perkembangan hidup belahan hatinya. Stress akan terus-menerus menumpuk setiap hari.


Dari segala kesalahpahaman yang saya sebutkan tadi saja sudah bisa membuat kita tertekan dan menimbulkan masalah. Bagaimana dengan contoh-contoh lainnya? Tentunya faktor pemicunya lebih banyak lagi, bukan?


4. Krisis Eksistensi

Ya, krisis eksistensi. Pencarian jati diri, mayoritas, terjadi pada pemuda pra-remaja, remaja, dan pra-dewasa. Pada rentang usia tersebut, orang akan mencari dan terus mencari jati dirinya. Kamu pernah muda tentunya. Apabila kamu mempunyai teman atau, mungkin kamu sendiri, melakukan hal-hal yang dicap nakal, itu adalah hal yang biasa bagi remaja karena mereka atau kamu sedang mencari jadi diri. Melakukan hal yang nakal akan menarik perhatian dan perhatian tersebut akan membuat seseorang terkenal di sekolahnya. Ketenaran atau eksistensi itulah yang mereka cari. Sangat wajar bagi rentang umur pra-remaja hingga pra-dewasa senang mencari eksistensi karena mereka masih melihat diri mereka melalui mata orang lain.


Media sosial memberikan fasilitas bagi kaum pemuda untuk memulai ajang pencarian eksistensi yang lebih luas karena internet bersifat global. Apabila kamu menulis sesuatu di internet, orang yang tinggal jauh di Meksiko pun juga dapat melihatnya.


Sekarang, di sana-sini, bermunculan pembuat blog, Youtuber, akun Facebook, akun Line, dan media sosial lainnya, berkompetisi untuk mencari eksistensi. Mereka melakukan apa saja untuk menjadi terkenal. Bahkan, ada yang menjadikan media sosial sebagai profesinya.


Loh, kalau begitu, apa yang menyebakan stress? Coba saya berikan contohnya. Misalnya, saya mempunyai blog yang terkenal. Teman saya suka membaca blog saya dan terinspirasi untuk membuat blog pribadinya. Seiring berjalannya waktu, ternyata, blognya menjadi jauh lebih terkenal dari blog saya dan saya tertinggal. Sebagai orang yang memberikannya inspirasi, saya merasa iri hati kepadanya. "Saya yang memberinya inspirasi dengan blog saya, kenapa dia yang jadi lebih terkenal?". Saya tidak akan berbohong padamu, seandainya itu benar-benar terjadi, pasti akan timbul rasa iri dalam hati saya, walaupun hanya sedikit. Namun, bagi orang lain, bisa saja itu menjadi sangat menciutkan kepercayaan dirinya dan akhirnya putus asa.


Iri hati adalah perasaan yang sangat busuk, Kawan, menurut saya. Iri hati dapat menimbulkan rasa benci dan sikap sinis terhadap orang lain. Selain itu, tentu saja, menurunnya kepercayaan diri yang dapat memberikan kita tumpangan gratis ke stasiun stress.


5. Kerancuan Informasi

Poin ini adalah yang paling penting. Media sosial berada dalam dunia yang disebut dunia maya. Namanya juga dunia maya, maka tidak ada yang benar-benar nyata, bukan? Informasi dan berita beterbangan, melayang-layang, simpang siur, berserakan di dunia maya dan media sosial. Kita sering mendapatkan informasi yang sungguh diragukan kebenarannya, mulai dari SMS, e-mail, artikel, pesan chat, dan lain-lain. Dengan begitu banyaknya informasi yang kita dapat dari berbagai sumber, kita justru menjadi bingung mana yang benar, mana yang salah, mana yang fakta, mana yang fiktif, mana yang nyata, mana yang maya.


Kamu memiliki group chat, bukan? Coba kamu hitung berapa banyak artikel yang diteruskan (forward) ke grup tersebut. Bisakah kamu hitung? Tahukah kamu dari mana informasi itu berasal? Kebanyakan, informasi-informasi tersebut mungkin adalah informasi yang dibuat oleh orang-orang yang bukan pakarnya atau mungkin hanya orang-orang iseng yang haus sensasi sehingga kebenaran dan validitasnya patut diragukan. Apabila kamu ingin mencari tahu tentang sesuatu, kamu akan bingung karena ada yang mengatakan bahwa A adalah B, ada juga yang mengatakan bahwa A bukanlah B. Artikel lain mengatakan bahwa B adalah A, tapi A tidak sama dengan B. Masalah belum selesai, tiba-tiba C menerobos masuk dan mengklaim dirinya bahwa dia adalah A dan mengatakan bahwa B adalah D yang keluar entah dari mana. Pada akhirnya, Kamu tidak bisa benar-benar tahu informasi mana yang benar.


Secara tidak sadar, kesimpang-siuran tersebut telah menimbulkan stress di alam bawah sadar kita. Nah, masalahnya, stress yang jenis inilah yang berbahaya karena kita tidak tahu bahwa stress tersebut sudah merasuki kita. Maka, saya sarankan untuk bersikap kritislah terhadap informasi yang kamu terima. Tanyakan kebenarannya, cari asal-usulnya, pelajari teorinya, dan yang terakhir, gunakan pikiran dan logika untuk memprosesnya. Janganlah Kamu mudah percaya pada informasi yang kamu dapatkan. Ingat, siapapun bisa berbohong. Jika kamu ingin mencari tahu tentang sesuatu, carilah informasi dari buku-buku yang ditulis oleh pakarnya karena mereka menggunakan data mentah untuk mencapai suatu konklusi, bukan informasi yang mereka terima dari sembarang tempat.

5 poin yang sudah saya paparkan di atas hanyalah sebagian dari sekian banyak faktor pemacu stress yang difasilitasi oleh media sosial. Sebenarnya media sosial tidak melakukan apa-apa. Tapi, para penggunanyalah yang mungkin menggunakannya secara berlebihan. Sayapun juga masih sering mengalami stress karena keingintahuan besar saya akan kehidupan teman-teman saya, sehingga saya merasa sedikit tidak pantas mengutarakan pendapat saya tentang media sosial di pos ini. Tapi, yah, seperti yang selalu saya katakan, semua yang ada di pos ini hanyalah pendapat saya semata ditambah dengan hasil penelitian tak resmi yang sudah saya lakukan. Kamu setuju, boleh. Tidak setuju juga tidak apa-apa.


Pesan yang ingin saya sampaikan padamu adalah, sudah terbukti (secara tidak resmi(dan menurut saya)) bahwa media sosial dapat menyebabkan kita stress. Sesungguhnya, stress tidak dapat kita hindari dalam hidup ini. Bahkan, Kamu mengerjakan ujian dalam waktu yang terbatas saja sudah dapat dikatakan kamu berada dalam keadaan tertekan. Stress yang kita dapatkan dari keseharian saja sudah cukup banyak, janganlah Kamu menambah stresor-stresor yang tidak perlu. Gunakanlah media sosial dengan bijak, Kawan. Melihat kehidupan orang lain boleh saja asal jangan berlebihan dan sebaiknya tidak Kamu bandingkan dengan kehidupanmu. Kehidupan mereka adalah kehidupan mereka, kehidupanmu adalah kehidupanmu. Semua akan indah pada waktunya, Kawan.


Apabila Kamu ingin bereksperimen, Kamu bisa coba untuk mengurangi atau menghilangkan sama sekali media sosial dari kehidupanmu untuk satu hari saja. Mungkin sulit, tapi cobalah. Kemudian, lihatlah apa yang terjadi.


Seperti biasa, saya mohon maaf atas segala kata atau kalimat atau paragraf atau pos yang menyinggungmu. Sungguh saya tidak bermaksud untuk menyindir atau menyinggung siapapun. Terima kasih telah menyempatkan waktumu yang berharga untuk membaca pos ini. Apabila Kamu ingin bertanya atau berdiskusi dengan saya, silahkan hubungi saya lewat e-mail atau jalur pribadi. Saya akan senang berdiskusi denganmu. Semoga harimu menyenangkan, Kawan!

"We don't have a choice on wether we do social media, the question is how well we do it"

-Erik Qualman


 
 
 

Comments


Featured Posts
Recent Posts
bottom of page