top of page

Berdiri di Bawah Payung yang Sama

  • Indra Ajidarma Sadewo
  • Jan 12, 2017
  • 11 min read

Suatu hari, ayah saya memberikan saya sebuah buku. Buku tersebut berjudul To Kill a Mockingbird karangan Harper Lee. Buku ini menceritakan tentang seorang pria bernama Atticus Finch yang membesarkan dua anaknya seorang diri, seorang anak laki-laki bernama Jem berusia 11 tahun dan adiknya, Scout, seorang gadis kecil berumur 7 tahun. Pusat cerita dari buku tersebut adalah masalah yang harus dihadapi keluarga kecil tersebut ketika Atticus ditunjuk untuk menjadi pengacara untuk membela seorang pria berkulit hitam yang didakwa melakukan pemerkosaan pada seorang gadis berkulit putih. Sementara latar belakang cerita masih berada pada zaman diskriminasi warna kulit.

Sumber : http://tinyurl.com/h4pmqbe

Buku tersebut memiliki gaya bahasa yang sulit dimengerti. Meskipun saya kurang mengerti apa yang disampaikan oleh penulis di tiap halamannya, saya terus membacanya hingga selesai. Ketika selesai membaca, ada satu hal yang menyangkut dalam pikiran saya. Suatu kali, Atticus berkata pada anaknya, "Kau tidak akan bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya..hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya". Bagi saya, kalimat tersebut cukup menohok. Ada perasaan asing yang masuk ke dalam hati saya dan ilmu asing yang masuk ke dalam pikiran saya.



"Melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya", hmm...saya bingung. Apa gunanya melakukan itu?


Seiring berjalannya waktu, pikiran saya semakin berkembang. Setelah menjalani hidup, saya baru mengerti pesan yang dimaksud oleh Harper Lee dalam buku itu. Perasaan di mana kita melihat segala sesuatu dari sudut pandang orang lain, berjalan di sepatunya, dan menjalani hidup dengan caranya. Perasaan tersebut disebut dengan empati. Kalau tidak salah, pada pos Spesies Manusia yang Lain, saya pernah membahas sedikit tentang empati. Pada pos ini, saya akan membahas lebih jauh agar kamu dapat mengerti lebih dalam mengenai empati.


Pada umumnya, orang akan lebih akrab dengan kata 'simpati'. Apa sih perbedaan simpati dengan empati? Ya, kedua kata tersebut memang memiliki arti yang mirip. Tapi, apabila dipahami lebih dalam, terdapat perbedaan besar di antara kedua kata tersebut. Menurut saya, simpati hanyalah sebuah perasaan yang menandadakan keturutan perasaan terhadap orang lain. Misalnya, kamu melihat seorang pengemis di pinggir jalan dengan anggota tubuh yang tidak lengkap. Lalu kamu membatin,"Saya turut prihatin terhadap keadaannya. Nah, itulah simpati. Perasaan yang kamu praktikkan sebatas kata-kata atau pikiran. "Saya turut berduka", "Saya turut senang", "Saya turut prihatin", itulah contoh dari simpati. Tapi apa bedanya dengan empati?


Empati bukan hanya turut prihatin, tapi juga turut merasakan apa yang orang lain rasakan. Bandingkan dengan kasus pengemis tadi. Orang yang simpatik hanya akan merasa prihatin, memberi sedekah, kemudian pergi. Tapi, apabila kamu berempati, kamu akan mendatangi pengemis tersebut dan duduk di sebelahnya, mengobrol dengannya, merasakan sengatan matahari yang dirasakan si pengemis, merasakan kasarnya trotoar yang didudukinya setiap hari, merasakan lapar dan haus yang dirasakannya. Itulah empati. Indah bukan? Percayalah, sedekah berupa beberapa koin atau beberapa lembar ribuan bukan satu-satunya hal yang dia butuhkan. Diapun membutuhkan perhatian, begitu juga kamu. Mungkin kamu tidak perlu melakukan itu semua, cukup hanya dengan membayangkan apabila dirimu berada di posisi pengemis tersebut maka kamu sudah mengalami perasaan empati.


Salah satu contoh pelajaran empati yang pernah saya alami adalah ketika saya mengikuti kegiatan menjual bunga, coklat, dan balon untuk mengumpulkan dana demi suksesnya acara yang akan saya dan teman-teman kuliah akan selenggarakan. Kegiatan ini dilakukan pada setiap hari Jumat dan Sabtu mulai dari jam 5 sore hingga jam 9 malam. Saya berdiri di depan pintu sebuah restoran kelas menengah ke atas untuk menjual barang jualan saya. Pengunjung restoran lalu-lalang, datang dan pergi melewati saya. Setiap ada pelanggan restoran yang melewati saya, saya akan menawarkan barang jualan saya dengan berkata. "Selamat malam, saya dari universitas A sedang mengumpulkan dana untuk acara B, mungkin Anda tertarik untuk membeli?" dan kalimat-kalimat semacamnya.


Reaksi dari setiap orang ternyata berbeda-beda. Ada orang-orang yang bertanya mengenai acara kami dan membeli barang jualan saya untuk membantu. Ada juga yang menolak tawaran saya sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Adapula orang-orang yang lewat begitu saja ketika saya tawarkan barang jualan saya. Mereka tidak menatap ataupun mendengarkan saya. Mereka berjalan melewati saya seakan saya tidak ada di situ atau tidak terlihat. Jujur saja, hal itu membuat saya kesal karena merasa tidak dihargai oleh orang lain. Tapi, dari sini saya mempelajari sesuatu. Saya jadi mengerti perasaan pengemis atau orang lain yang sedang bekerja keras menjual barang dagangannya ketika mereka tidak dipedulikan oleh orang lain seakan mereka tidak pernah ada. Sejak saat itu, saya berusaha mengubah diri saya menjadi lebih ramah terhadap pengemis atau pedagang asongan yang sedang menawarkan barang dagangannya pada saya. Walaupun saya tidak membeli barang dagangannya, setidaknya saya akan tersenyum ramah untuk menolak tawarannya dengan baik karena saya merasakan sendiri bahwa cara itu tidak akan melukai hati sang pedagang.


Pada pos ini, saya akan membahas empati dalam dua konteks. Konteks pertama adalah penggunaan empati untuk memahami orang lain. Konteks kedua adalah penggunaan empati untuk meringankan rasa sakit atau beban pikiran seseorang. Seperti biasa, sebelum membaca, bukalah pikiranmu. Segala yang saya tulis di sini merupakan pendapat subjektif saya, kamu boleh setuju, boleh tidak. Saya ingatkan juga, Kawan, pahamilah bahwa apa yang saya tulis di semua blog saya adalah pandangan dan isi pikiran saya semata. Hanya karena saya menulisnya, bukan berarti saya ahli ataupun seorang pakar pada hal tersebut. Tujuan saya hanyalah berbagi informasi dan mengajak kamu untuk bertukar pikiran jika kamu mau. Mohon jangan salahpahami apapun yang saya tulis di sini sebagai sindiran atau kritik negatif yang merujuk pada dirimu ataupun orang lain. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kata-kata saya yang menyinggung perasaanmu. Selamat membaca! :)


Memahami Orang Lain

Seperti apa yang dikatakan Atticus Finch, kamu tidak akan pernah bisa memahami orang lain sebelum kamu melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya. Pertanyaannya, untuk apa? Untuk apa kamu memahami orang lain? Hidupmu adalah hidupmu, hidupnya adalah hidupnya, untuk apa kita mengurus hidup orang lain?


Kawan, jawaban dari saya adalah untuk menciptakan kedamaian di sekitar kita. Seperti yang telah kamu ketahui, begitu banyak manusia di dunia ini dan satu dengan yang lain adalah unik adanya. Sifat dan sikap yang manusia miliki pasti berbeda satu sama lain. Beberapa mungkin mirip, tapi tidak mungkin sama. Seringkali, perbedaan yang terlalu jauh atau, bahkan, kemiripan yang terlalu dekat bisa menimbulkan pertengkaran di antara kita sesama.


Kenapa sih perbedaan dan kesamaan sering menimbulkan pertengkaran? Menurut saya jawaban yang paling tepat adalah karena kita tidak saling mengerti satu sama lain. Nah, di sinilah empati dapat berperan untuk mengikat tali persahabatan.


Pernahkah kamu tidak suka atau mungkin benci pada orang lain? Pernah pastinya. Sayapun juga pernah kok membenci orang lain. Dulu saya bahkan bisa membuat daftar orang-orang yang saya benci tanpa menjedakan waktu untuk mengingat-ingat. Apa sih yang menyebabkan kebencian saya? Perbedaan, Kawan, selisih pendapat, perbedaan pola pikir, perbedaan prinsip, perbedaan perilaku, perbedaan budi pekerti, dan lain-lain.


Tapi, di bagian mana empati dapat menyelesaikan masalah ini? Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. Kita harus tahu, Kawan, bahwa setiap orang mempunyai masa lalu masing-masing. Setiap orang pasti memiliki cerita di balik setiap perilaku ataupun prinsip hidupnyanya. Itulah kenapa kita selalu dituntut untuk selalu bersikap ramah kepada orang lain. Mungkin mereka berperilaku tidak sepantasnya atau yang tidak berkenan di hati kita karena mereka sedang berada dalam "perang" yang sangat sulit dan kita tidak tahu-menahu tentang itu.


Pengalaman hidup atau trauma sangatlah berpengaruh terhadap perilaku seseorang dan setiap orang mungkin memiliki cara yang berbeda-beda untuk mengatasinya, ada dengan cara yang baik ataupun sebaliknya. Orang yang selalu terlihat ceria bisa saja adalah orang yang paling sering menangis di antara kita. Orang yang paling sering menasihati kita mengenai hubungan kita dengan orang lain mungkin adalah orang yang paling kesepian di antara kita. Orang yang sering berperilaku kasar mungkin dulu sering dikasari oleh orang lain. Orang yang sangat sensitif terhadap hal atau perilaku tertentu biasanya memiliki trauma mengenai hal tersebut di masa lalunya. Begitu banyak alasan dan cerita yang dapat memengaruhi perilaku dan cara berpikir seseorang dan mungkin kita tidak mengetahui hal itu. Akan sulit pula untuk mengetahuinya karena mereka cenderung tidak ingin menceritakannya pada orang lain.


Tapi, tunggu dulu, hal itu bisa disangkal dengan kalimat seperti ini, "Ah, begitu saja dipermasalahkan. Saya juga mempunyai kenangan pahit, tapi saya baik-baik saja sampai sekarang". Eits! Jangan salah, Kawan, setiap orang memiliki standarnya masing-masing. Apa yang menurutmu mudah bisa saja adalah hal yang bukan main sulitnya bagi orang lain. Luka batin ada kalanya lebih parah dari luka fisik. Ada hal-hal yang tak dapat diubah dengan mudah hanya dengan kata-kata, 'lupakanlah'. Jika hal ini dibalik, kamu seperti disuruh untuk menendang bola ketika kedua kakimu patah. Bukannya tidak mungkin, hanya saja bukan main sulit dan sakitnya.


Nah, setelah membaca penjelasan saya, saya rasa kamu sudah mulai menangkap di mana empati dapat berperan dalam hal ini. Ya, sebelum kita mulai menuding orang lain akan keburukannya, bukankah sebaiknya kita melihat dulu apa penyebab dari keburukannya? Logis bukan? Jika kamu sudah mengetahui penyebabnya, lepaskanlah sepatumu dan dan berdirilah dalam sepatunya (Oke, pakai lagi sepatumu, bukan 'sepatu' yang itu yang saya maksud). Gantilah 'aku' dengan 'dia' dalam takhta pikiranmu untuk sementara waktu. Lihatlah apa yang dia lihat, rasakan apa yang dia rasakan, cicipilah manis dan pahit kehidupannya, alamilah berat langkahnya, resapilah kepanikan dan kebimbangannya. Bayangkanlah dirimu menjadi dirinya saat itu, apakah yang akan kamu lakukan? Apakah kamu bisa melakukan yang lebih baik darinya?


Selesailah sudah, dengan empati, kita dapat lebih memaklumi perilaku orang lain dan mehaminya lebih baik. Tapi, dengan kamu berhasil memahaminya bukan berarti kamu bisa memaklumi segala perilaku buruknya dan membiarkannya berlaku liar. Tidak, Kawan, pesan yang ingin saya sampaikan adalah apabila kita bisa memahami orang lain, kita akan bisa menolongnya. Mereka yang sering berperilaku buruk mungkin adalah mereka yang paling membutuhkan pertolongan tapi tidak mau mengakuinya.


Percayalah, dengan mempraktikkan empati dalam kehidupanmu, daftar orang-orang yang kamu benci akan berkurang satu demi satu karena itulah yang terjadi pada daftar saya. Ketika saya mulai mempratikkan empati dalam kehidupan sehari-hari saya, kebencian saya terhadap orang lain semakin berkurang dan bahkan berubah menjadi kasih sayang. Hal itu terus terjadi hingga daftar saya benar-benar kosong.



Meringankan Rasa Sakit Orang Lain

Sampailah kita pada pokok bahasan kedua, yaitu meringankan rasa sakit yang dialami oleh orang lain. Sebelum kamu membaca, cobalah kamu tonton video di bawah ini.

Sumber : http://tinyurl.com/qbvwd2y

Bagaimana pendapatmu mengenai video di atas? Apakah kamu sadar akan sesuatu? Ya, video di atas menjelaskan perbedaan antara simpati dan empati dan bagaimana empati dapat meringankan beban pikiran atau rasa sakit orang lain. Saya menemukan video di atas secara tidak sengaja ketika sedang menonton bermacam-macam video di Youtube. Jujur saja, video ini juga yang mengispirasi saya mengenai topik kali ini.


Tentunya kamu memiliki teman, sahabat, ataupun keluarga yang pernah menceritakan masalahnya kepadamu. Ketahuilah, Kawan, apabila seseorang menceritakan masalahnya padamu, apalagi masalah pribadi, kamu adalah orang yang sangat beruntung. Kenapa? Coba kamu bayangkan, dari sekian banyak orang di dunia dan sekian banyak orang yang dia kenal, orang tersebut memilihmu sebagai teman berbagi. Tidakkah hal itu membuatmu merasa berarti bagi orang lain? Jujur, saya sangat senang apabila ada orang yang mau meminta nasihat dari saya atau hanya sekedar mendengarkan keluhannya.


Saya sadar saya bukanlah pembicara yang baik. Maka dari itu, saya berusaha untuk menjadi pendengar yang baik. Jangan kira mendengar lebih mudah dari berbicara lho. Mendengarkan butuh konsentrasi yang tinggi, kesabaran, kontrol bahasa tubuh, dan yang paling penting, empati. Setelah sekian lama saya menekuni seni mendengarkan, saya semakin mengerti apa yang orang lain butuhkan ketika ingin didengarkan. Berikut akan saya jabarkan tips-tips menggunakan empati dalam meringankan rasa sakit orang lain. Semoga berguna bagimu dan orang-orang tercinta di sekitarmu :)


1. Diam dan Dengarkan

Baik, umumnya, seseorang yang sedang menceritakan masalahnya kepada kita sedang berada pada tingkat emosi yang sangat labil. Mereka seperti sedang berusaha menjaga perahu untuk tetap stabil di tengah badai. Dalam kondisi ini, yang mereka butuhkan hanyalah didengarkan. Di sinilah kesabaran berperan. Alangkah baiknya apabila kita diam dan mendengarkan apapun yang mereka katakan dan ceritakan. Biarkanlah mereka menceritakan segala keluhannya hingga benar-benar selesai. Sebaiknya jangan disela dulu sebelum merkeka selesai bercerita karena hal itu dapat menyebabkan beberapa hal yang ingin disampaikan tidak jadi dikatakan atau terlupakan.


2. Tunjukkan Keturutan Perasaan

Selama mereka bercerita, empati dapat digunakan dengan cara menunjukkan keturutan perasaan kita terhadap mereka.. Misalnya, apabila mereka marah, kita menunjukkan bahwa kita ikut kesal. Apabila mereka sedih, kita menunjukkan bahwa kita pun turut sedih. Hal ini akan membuat mereka merasa tidak sendirian dan kehangatan akan menjalar dalam nadinya. Pada tahap ini, biasanya saya akan menyetujui apapun pendapat mereka, walaupun pendapat saya mungkin sebenarnya berselisih. Sekali lagi, hal ini dapat membuat mereka merasa tidak sendirian dan memiliki teman sependapat. Bagi saya, jika orang lain melakukan itu, saya akan merasa beban saya benar-benar terangkat. Kamu pernah melihat support group dalam sebuah terapi mental? Biasanya, seteah seseorang membagi ceritanya, terapis dan segenap kelompok akan mengatakan, "Kami ada di sini untukmu". Hal itulah yang ingin disampaikan dalam support group, Kawan, bahwa mereka tidaklah sendirian.


3. Hindari Nasihat yang Diawali dengan 'Setidaknya'

Seperti apa yang telah kamu lihat pada video di atas, nasihat yang bermula dengan 'setidaknya (at least)' mungkin tidak banyak membuat mereka merasa lebih baik. Empati tidak berfokus pada bagaimana kita membantu menyelesaikan masalah mereka, tetapi bagaimana kita membuat mereka merasa lebih tenang dan nyaman. Ada baiknya apabila kita membiarkan mereka keluar dengan caranya sendiri. Yang perlu kita lakukan hanyalah berdiri di sampingnya dan memberinya dukungan selama masih dibutuhkan.


Jujur, tidak mengatakan 'setidaknya' ketika memberikan saran memang sulit. Tetapi, akan lebih baik apabila kita mengatakan, "Jangan kuatir, Kawan, semua ini akan berlalu. Berdirilah, aku akan berjalan bersamamu. Berjalanlah, aku akan ada di belakangmu untuk menopangmu ketika kamu terjatuh. Kita pasti bisa melewati ini". Ya, inti dari kalimat tersebut adalah unsur 'kita'. Jangan biarkan mereka merasa sendirian, Kawan. Dengan kalimat seperti itu, secara tidak langsung kita telah memberikan keberanian dalam hati mereka untuk menghadapi masalahnya dan berjalan di depan kita. Mereka tahu bahwa kita berada di belakangnya. Mereka tidak akan pernah merasa sendirian.


4. Jangan Menghakimi

Nah, saya akui poin ini memang tidak mudah untuk dilakukan, tapi cukup krusial. Ketika seseorang sedang menceritakan masalahnya, saya pun juga seringkali menghakimi mereka akan diri dan kekurangan mereka. Bukannya menenangkan mereka, saya justru mendikte kesalahan-kesalahan mereka. Sepengalaman saya, hasil yang saya dapatkan justru tidak diharapkan. Seringkali, diskusi yang tadinya tenang berubah menjadi perdebatan yang panjang dan panas. Terkadang mereka marah kepada saya karena kata-kata saya yang mungkin terlalu kasar telah menyinggung perasaan mereka.


Saya tidak bisa menyalahkan mereka karena, di sini, sayalah yang ternyata pendekatannya salah. Sebagian besar penyebab perdebatan itu adalah karena saya terlalu membandingkan masalah mereka dengan masalah saya. Saya lupa bahwa setiap orang memiliki standarnya masing-masing. Seringkali, hal-hal yang menurut saya tidak perlu dipusingkan justru adalah hal yang penting bagi mereka sehingga saya tidak bisa mengerti bagaimana cara mereka berpikir. Saya lupa bahwa mereka sedang susah payah menyeimbangkan perahu. Secara tidak sadar, saya justru mengguncang-guncang perahu mereka.


Sedikit demi sedikit, saya mulai belajar dari kesalahan dan mulai menerapkan empati. Ketika orang lain menceritakan masalahnya, saya pinggirkan dulu seluruh pikiran subjektif saya. Saya lihat ke dalam diri saya dan mencari bagian dari diri saya yang mengerti perasaan yang dirasakannya. Dengan begitu, saya jadi lebih mudah untuk membayangkan diri saya berada dalam posisinya. Saya analisis hal-hal apa saja yang sensitif bagi mereka dan saya jadikan hal yang sensitif bagi saya juga. Ternyata, hal ini sangat membantu saya untuk mengerti perasaannya.


5. Ada Cara Tersendiri untuk Memberikan Saran atau Mengungkapkan Pendapat

Seperti apa yang telah saya katakan sebelumnya, orang yang emosinya sedang tidak stabil adalah orang yang sangat-amat sensitif. Terkadang mereka tidak membutuhkan solusi, mereka hanya ingin didengarkan. Tapi, sebagai individu lain, tentunya kita punya pendapat dan keinginan untuk memberikan saran untuk membantunya, bukan? Nah, saya belajar dari salah seorang sahabat saya tentang ini, Pipin. Masih ingat Pipin? Ini orangnya kalau kamu lupa.

Saya sering berbagi cerita dengan Pipin. Apabila saya ada masalah, saya sering membagi beban pikiran dengannya. Menurut saya, Pipin adalah orang yang paling empatik yang pernah saya kenal. Ketika saya bercerita, Pipin akan duduk diam dan mendengarkan semua celotehan saya. Ketika saya marah, Pipin akan menunjukkan bahwa dia pun turut kesal. Ketika saya sedih dan murung, Pipin akan menunjukkan keturutan perasaannya terhadapa perasaan saya. Entah kenapa, Pipin selalu saja menyetujui apapun pendapat saya ketika saya masih bercerita.


Setelah saya selesai menceritakan beban pikiran saya, Pipin akan mulai angkat bicara. Dia tidak pernah menyarankan saya untuk melakukan apapun. Yang dia lakukan untuk menyampaikan saran dan pendapatnya adalah dengan memproyeksikan masalah saya dengan pengalamannya. Pipin akan menceritakan pengalamannya dalam menghadapi masalah yang mirip dengan masalah yang sedang saya hadapi dan bagaimana cara dia mengatasinya. Setiap kali Pipin akan memberikan saran pada saya, dia akan memulai dengan kalimat, "Ya, sepengalaman gue sih cara gue ngadepin masalah kayak lo ya begini. Kalo seandainya gue jadi lo sih gua bakal ngelakuin ini-itu . Tapi gatau sih kalo dari pandangan lo gimana, Ndra. Ini pengalaman dari gue aja". Cara Pipin memberikan pendapatnya sungguh dapat membuka pikiran saya. Dengan mendengarkan ceritanya, saya akan belajar dan berpikir dengan sendirinya tanpa harus diarahkan. Saya sungguh belajar banyak dari Pipin yang justru setahun lebih muda dari saya. Saya masih sangat jauh, Kawan, dari mempraktikkan rasa empati.


Baiklah, saya rasa cukup dulu pos saya kali ini mengenai empati. Terima kasih telah membaca blog saya. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kata-kata saya yang menyinggungmu. Semoga pesan yang saya sampaikan pada pos ini berguna bagi kamu dan orang lain. Bagi kamu yang ingin memberi komentar, menyampaikan pendapat, ataupun berdiskusi, kamu bisa mencantumkan komentarmu di kolom komentar via blogger atau via facebook pada bagian bawah pos ini atau kamu bisa langsung kirimkan e-mail kepada saya dengan alamat indrasadewo@yahoo.co.id.


Cobalah untuk mengerti orang-orang sekitarmu, khususnya orang-orang terkasih dengan menempatkan dirimu pada perspektif mereka. Kamulah yang dapat menentukan mana yang dapat dimaklumi dan mana yang tidak. Praktikkanlah empati dalam kehidupanmu sehari-hari dan lihat apa yang terjadi :).


"When you start to develop your powers of empathy and imagination, the whole world opens up to you"

-Susan Sarandon


 
 
 

Comments


Featured Posts
Recent Posts
bottom of page