top of page

Layar Hipnotis

  • Indra Ajidarma Sadewo
  • Jan 12, 2017
  • 9 min read

Coba kamu lihat benda apa yang paling dekat denganmu sekarang. Ya, sekarang. Bukan, bukan benda yang ada di sekelilingmu, tetapi benda yang mungkin sekarang berada di tanganmu atau di kantungmu saa ini. Apa yang kamu temukan? Saya yakin mayoritas jawaban dari pertanyaan tersebut adalah telepon genggam, laptop, tablet, atau berbagai jenis gadget lainnya. Tenang, sayapun juga menemukan barang sejenis di tangan saya saat ini.


Dewasa ini, tekonologi semakin maju dan berbagai macam alat elektronik mulai bermunculan dengan cepat dan banyak seperti jerawat. Berbagai media sosial bermunculan dengan tujuan "mendekatkan mereka yang jauh". Tapi, pernahkah kamu berpikir bahwa media sosial tersebut memberikan efek samping "menjauhkan mereka yang dekat"?


Coba saya bercerita sedikit. Saya punya ratusan teman di akun facebook dan aplikasi komunikasi instan di telepon genggam saya. Tapi saya merasa sendirian. Saya kesepian. Teman saya banyak, tapi mereka hanyalah sebuah gambar dan tulisan di layar. bahkan banyak dari mereka yang tidak benar-benar mengenal saya. Saya bisa saja berkomunikasi dengan banyak teman saya dalam satu waktu, tapi saya tetap saja sendirian. Saya tak bisa melihat mata mereka, tak bisa memandang senyum mereka, tak bisa mendengar tawa mereka, hanya dapat membaca sebuah tulisan "hahaha" yang menandakan mereka sedang tertawa walaupun sebenarnya mereka mungkin tidak sedang tertawa.


Ya, kita hidup di dunia yang dikendalikan oleh teknologi yang telah kita ciptakan sendiri. Kita memenjarakan diri kita sendiri dalam dunia maya. Kini, hampir tidak ada orang yang pergi keluar rumah tanpa telepon genggam atau gadget lainnya. Telepon genggam seakan sudah menjadi kebutuhan primer manusia.

Sumber : http://tinyurl.com/jg9kkje


Apa sih salahnya membawa telepon genggam? Tidak, saya tidak mengatakan bahwa membawa telepon genggam adalah hal yang salah. Telepon genggam mungkin penting agar orang lain dapat menghubungimu dengan mudah tanpa harus bertemu empat mata denganmu, apalagi jika ada situasi darurat. Namun, semakin lama, aplikasi di telepon genggam yang pada umumnya adalah smart phone telah menarik kita lebih dalam ke arah dunia maya dan tingkat kelaziman komunikasi verbal menjadi turun secara drastis.


Dengan smart phone semua menjadi lebih mudah. Bahkan, terlalu mudah. Semua urusan sepertinya dapat dilakukan dengan menggunakan smart phone sehingga pertemuan antar teman dan lain-lain tidak lagi dibutuhkan. Dulu, ketika telepon genggam hanya dapat digunakan untuk mengirim pesan pendek dan menelepon, saya merasa bahwa hidup masih lebih bewarna. Ketika menelepon, menkipun saya tak bisa melihat wajah teman-teman saya, saya masih dapat mendengar suara dan tawa mereka. Tapi, sekarang, pada umumnya orang-orang bahkan malas atau canggung untuk menelepon orang lain. Mereka lebih senang mengirim pesan gratis dengan aplikasi komunikasi yang terdapat di smart phone. Seperti yang saya bilang, kelaziman komunikasi verbal semakin menurun akibat keberadaan smart phone ini. Mulut kita tak lagi sering digunakan. Padahal, dengan mendengarkan suara orang yang kita rindukan akan sedikit mengobati kerinduan yang kita rasakan. Coba kamu rasakan perbedaan bertukar pesan teks dengan menelepon. Saya yakin, bertukar pesan akan terasa jauh lebih hambar dari mendengarkan suara dan tawa mereka yang kamu rindukan.


Sekarang di mana kamu sedang berada? Jika kamu sedang berada di sebuah cafe atau restoran, lihatlah ke sekelilingmu. Saya yakin kamu pasti akan menemukan dua atau lebih orang yang berkumpul tapi masing-masing sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing. Sungguh sedih saya melihatnya karena hal itu dapat saya temukan di mana saja. Ketika saya menulis tulisan ini pun, saya sedang berada di sebuah cafe. Saya melihat dua orang yang sedang duduk bersama. Tetapi, satu orang sibuk dengan laptop-nya dan satunya lagi sibuk dengan telepon genggamnya. Mereka bahkan tidak banyak berinteraksi selama berjam-jam di dalam cafe.


Pernah suatu kali saya sedang mengobrol santai dengan seorang teman saya. Ketika saya tengah berbicara, tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi. Kemudian dia mengeluarkan telepon genggamnya dan mulai mengetik pesan teks. Matanya terpaku pada telepon genggamnya, telinganya tertutup oleh tabir maya. Setelah saya selesai berbicara, teman saya tak bereaksi sedikitpun. Bahkan, ketika saya sengaja menanyakan sesuatu padanya, dia tetap bergeming dalam diam, tak ada satupun reaksi yang dilakukannya yang membuktikan bahwa dia mendengar saya, seolah saya tidak berada di dekatnya. Akhirnya, saya terpaksa diam, menunggu kesibukannya selesai. Setelah teman saya selesai menulis pesan, dia mengatakan, "Kenapa Ndra? Tadi lu ngomong apa?". Akhirnya, saya harus kembali menuturkan pembicaraan yang tadinya sudah sampaikan panjang lebar. Sayangnya hal ini tidak hanya terjadi sekali, hal ini pun terjadi berkali-kali pada orang-orang yang berbeda. Pada saat itulah saya mulai menyimpulkan efek samping dari telepon genggam, yaitu "mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat".


Efek telepon genggam ini tidak hanya memengaruhi hubungan antar teman, bahkan dalam keluargapun hal ini menjadi masalah yang cukup besar. Interaksi antar anggota keluarga akan menjadi semakin jarang apabila setiap anggota keluarga sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing. Mereka seperti tinggal dalam satu rumah tapi terpenjara dalam bangsalnya masing-masing. Akibatnya, kedekatan dan ikatan antar keluarga akan semakin longgar. Sekarang, mari kita persempit lagi lingkupnya menjadi hubungan antar adik dan kakak. Sekarang ini, banyak seseorang yang tidak benar-benar mengenal adik atau kakak kandungnya sendiri. Padahal mereka tinggal di rumah yang sama, menghabiskan masa kecil bersama, tumbuh bersama, tapi mereka tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain. Hal tersebut disebabkan oleh kesibukan mereka dengan dunia maya yang berlebihan. Tidak banyak interaksi verbal yang terjadi di antara mereka, tidak banyak sentuhan, tidak banyak candaan, tidak banyak tawa, hubungan mereka akan terasa hambar dan canggung.


Sungguh disayangkan, dewasa ini, saya banyak melihat anak kecil yang sangat gemar bermain telepon genggam ataupun tablet di manapun mereka berada. Mungkin--sekali lagi--mungkin orangtua mereka membiarkan mereka asik bermain telepon genggam atau tablet karena itu akan membuat mereka diam di tempat dan tidak berisik. Para orang tua mungkin tidak sadar bahwa hal itu akan membuat anak menjadi berkegantungan pada telepon genggam atau tablet tersebut. Ketika permainan mereka diambil, mereka akan menangis dan merengek, bahkan, mungkin berteriak-teriak untuk meminta permainan mereka dikembalikan. Padahal, sudah sewajarnya seorang anak kecil bermain dan berlari ke sana-sini. Memang repot mengurusnya, tapi itulah suka duka membesarkan seorang anak, Anak menjadi anti-sosial ketika besar nanti karena sudah terbiasa bergantung pada teknologi gadget. Anti-sosial yang saya maksud di sini adalah perlakuan dan pikiran yang tidak memikirkan atau memedulikan dunia luar selain dia dan dunianya.


Membiarkan anak bergantung pada gadget akan memblokir pikiran mereka untuk berkembang kreatif. Padahal saat mereka balita adalah rentang umur yang sangat bagus untuk mengembangkan pikiran anak. Ketika saya dan kakak saya kecil, belum ada smart phone ataupun game yang bersifat adiktif. Mainan kami berdua adalah lego, balok, figur pahlawan favorit kami, orang-orangan kecil, mobil-mobilan dan lain-lain. Hal itu telah membuat kami menjadi berpikir kreatif. Semua mainan kami hanyalah mainan-mainan sederhana. Namun, hal itu jadi dapat membuat kami berusaha berkreasi sendiri dan menggabungkan mainan-mainan kami yang berbeda jenis menjadi satu dan bermain bersama.


Ketika kami dibawa pergi ayah kami ke lapangan terbang, pokoknya ada saja yang kami lakukan. Kadang kami berlomba menangkap belalang, bermain dengan tanaman putri malu dan ilalang, berlomba lari ke atas bukit, dan lain-lain. Ketika di lingkungan rumah pun, kami juga bermain di luar. Kadang kami bermain layangan, kadang bermain sepeda, sepatu roda, bahkan bermain di got (Ya, saya tahu ini menjijikkan. Tapi ibu saya bercerita ketika kecil, beliau juga sering bermain di comberan, jadi saya tidak perlu kuatir). Hasilnya, ketika kami besar, kakak saya tumbuh menjadi orang paling kreatif yang pernah saya kenal. Sedangkan saya.....yah, saya akui saya memang kurang kreatif, tapi setidaknya saya tidak pernah bergantung pada apapun. Ada saja yang saya lakukan untuk menghabiskan waktu dengan produktif. Maaf ya, Kawan, saya tidak bermaksud untuk pamer. Saya hanya ingin berbagi pengalaman.


Kawan, tahukah kamu bahwa jejaring sosial dapat menyebabkan stress? Ya, ini fakta. Jejaring sosial akan membuat kita dapat melihat momen-momen kehidupan dan isi pikiran orang lain. Hal itu dapat, secara tidak langsung, menyebabkan iri hati, gosip tak berdasar, prasangka, dan hal-hal buruk lainnya. Baiklah, saya berikan contoh. Misalnya saya menunggah foto saya berdua dengan seorang perempuan. Bagi orang-orang yang mengenal saya, mereka tahu bahwa saya tidak punya pacar. Jika mereka mulai membicarakan hal ini, akan terbentuk sebuah gosip bahwa saya sedang dekat dengan seseorang. Padahal, bisa saja perempuan di foto tersebut adalah saudara saya, sahabat saya, teman saya, kakak saya, atau adik saya. Contoh lain, misalnya salah seorang teman saya banyak mengunggah foto dia yang sukses dengan hidupnya sedangkan hidup saya datar-datar saja. Bisa saja saya akan merasa iri hati. Selain kedua kasus di atas, masih banyak contoh lain efek buruk dari jejaring sosial yang dapat menyebabkan konflik.


Ada sebuah cerita menarik dari salah seorang sahabat saya. Sewaktu pertengahan kuliah, sahabat saya mengalami tekanan dalam hidupnya. Dia merasa sangat stress dan ingin mengurangi beban pikirannya. Dia menyadari bahwa jejaring sosial membuatnya ingin tahu kehidupan orang lain dan seringkali menyebabkan kecemburuan sosial sehingga dia tidak bisa keluar dari "lingkaran setan". Akhirnya sahabat saya tersebut memutuskan untuk "menghilang". Menghilang yang dimaksud di sini adalah dia tidak lagi memedulikan jejaring sosial yang biasa dia geluti agar dia tidak lagi iri melihat kehidupan orang lain dan dapat fokus memulihkan mentalnya dengan membangun kembali hidupnya. Telepon genggamnya tetap aktif, tetapi jejaring sosial dia putuskan secara total. Jika mau menghubunginya hanya dapat dilakukan dengan mengirim SMS atau menelepon secara langsung. Dia berkuliah di Jawa Tengah sedangkan teman-teman dan sahabatnya banyak berada di Jakarta dan Bandung. Sahabat dan teman-temannya mulai kuatir karena dia tak dapat dihubungi, termasuk saya. Kami pun kelabakan mencari nomornya untuk mengetahui kabarnya. Memang lucu fakta yang satu ini. Kita sering memiliki banyak hubungan jejaring sosial dengan seseorang seperrti Facebook, Path, LINE, Whatsapp, dan media komunikasi lainnya, tetapi kita justru tak memiliki nomor telepon genggamnya.


Sahabat saya menghilang selama hampir setahun hingga akhirnya dia kembali mengaktifkan jejaring sosialnya.Teman-temannya langsung berhamburan menghubunginya dan mengatakan bahwa mereka kuatir padanya. Ketika saya tanyakan kepada sahabat saya tersebut alasan mengapa dia menghilang, dia mengatakan bahwa dia lelah dengan jejaring sosial dan ingin mengurus hidupnya sendiri dulu tanpa mengurusi hidup orang lain. Nah, ada jawabannya yang cukup menarik. Dia mengatakan bahwa jika teman-temanya memang peduli dan kuatir kepadanya, maka mereka pasti akan mencari nomor telepon genggamnya ke mana-mana dan akan menemukannya. Ternyata, memang itulah yang terjadi, hanya beberapa temannya yang berhasil menghubunginya, merekalah sahabat-sahabat sejatinya yang peduli kepadanya dengan sepenuh hati.


Sahabat saya bercerita, ketika dia menghilang, dia merasa ada beban berat yang terlepas dari pikirannya. Dia merasa tidak lagi penasaran akan kehidupan orang lain, hidupnya adalah untuknya. Tak perlu lagi dia mengecek Twitter-nya, melihat update status orang lain, dan urusan tak berarti lainnya. Dia merasa terdapat ruang baru dalam pikirannya yang dapat diisi dengan hal-hal yang lebih bermanfaat, Hal ini membuktikan bahwa terlalu banyak informasi akan menyebabkan stress berkepanjangan pada otak kita, tapi kita tak menyadarinya.


Kejadian menghilangnya sahabat saya telah menanamkan paradigma baru dalam pikiran saya. Sayapun tidak lain adalah korban teknologi. Ketika topik obrolan dengan teman sedang kosong, saya mengeluarkan telepon genggam dan memainkannya untuk mengisi kekosongan dan menghindari suasana canggung. Ketika saya hendak tidur, saya selalu memainkan telepon genggam terlebih dahulu untuk memastikan tidak ada informasi tentang teman-teman saya yang terlewat oleh saya. Ketika bangun dari tidur pun, hal pertama yang saya lakukan adalah mengecek telepon genggam untuk memeriksa apakah ada pesan yang masuk atau tidak selama saya tidur. Fenomena aneh ini telah merambah ke seluruh dunia. Seakan manusia tidak ingin melewatkan informasi terbaru dari lingkungan sekitarnya. Padahal, mereka mempunyai kehidupan sendiri yang perlu diurus dan diprioritaskan.


Sayangnya, saya banyak menemukan pernyataan orang lain yang terlalu memproritaskan jejaring sosialnya. Mereka dengan gamblang mengatakan bahwa mereka tidak dapat hidup tanpa telepon genggam. Hidupnya akan terasa hampa dan mati gaya apabila telepon genggamnya mati. Hal itu juga menyebabkan orang-orang berlomba untuk menemukan stop kontak untuk mengisi ulang baterai telepon genggamnya. Sungguh sedih saya mendengarnya karena sebagian besar orang yang mengatakan pernyataan-pernyatan di atas adalah kalangan pemuda pewaris bangsa.


Memang dalam urusan pekerjaan, media komunikasi menggunakan telepon genggam sangat amat membantu jalannya pekerjaan. Namun, penggunaan media itu pun terdapat batasnya. Jangan lupa bahwa kita punya kehidupan sendiri. Belajarlah untuk mengatakan "Maaf ini sudah di luar jam kerja saya, besok saja kita bicarakan". Mulai pikirkanlah mereka yang di rumah sedang menanti "keberadaanmu" yang sesungguhnya.


Dalam pandangan saya, berbicara empat mata adalah media komunikasi yang paling efektif. Dari sebuah layar, kamu hanya dapat melihat foto tak bergerak dan tulisan yang berulang kali muncul dan hilang. Terkadang tak ada kata "Halo" ataupun "Sampai jumpa". Pembicaraan terlupakan dan dibiarkan menggantung tanpa konklusi. Apabila saya ingin bercerita atau mengobrol dengan orang lain, saya sering menolak untuk menyampaikannya lewat media komunikasi. Tidak terasa atmosfer apapun ketika saya bercerita lewat media komunikasi. Saya selalu mengajak teman saya untuk bertemu ketika saya ingin bercerita. Saya lebih memilih untuk bertemu empat mata atau tidak sama sekali. Jika tidak tersedia waktu untuk bertemu akan saya tunggu hingga terdapat waktu kosong untuk bertemu. Akan tetap saya ceritakan cerita saya walaupun sudah lama sekali saya simpan. Ketika saya bertemu dan bercerita dengan seorang teman, suasana akan terasa sangat berbeda. Saya dapat memandang wajah dan mata mereka, mengamati reaksi mereka terhadap cerita saya. Dapat saya rasakan suasana hangat ketika bertemu. Dapat saya resapi kehangatan yang mereka berikan pada saya. Dapat saya simpan pertemuan tersebut sebagai kenangan yang indah. Apabila kita hanya mengobrol dengan teman kita lewat media sosial, Kenangan apa yang dapat kita simpan? Kehangatan apa yang dapat kita rasakan?


Kita hidup tidak selamanya, Kawan, manfaatkanlah waktu yang ada sebaik mungkin. Temuilah mereka yang kamu rindukan dan mereka yang merindukanmu. Hiduplah selayaknya manusia. Matikanlah layar telepon genggammu dan berinteraksilah dengan orang lain. Sapalah orang-orang di sekitarmu walaupun kamu tidak mengenalnya karena itulah interksi yang sesungguhnya. Bukan pertukaran pesan yang hanya sebatas tulisan. Pikirkanlah bahwa kamu bisa saja melewati kesempatan yang baik untuk berteman dengan orang lain, tapi kamu melewatkannya karena kamu sibuk dengan dunia maya. Coba kamu tonton video di bawah ini agar kamu lebih tersadar akan fenomena ini.

Sumber: http://tinyurl.com/mx2g2cc


Bagaimana? Setelah membaca tulisan saya dan menonton video di atas, masihkah kamu memegang telepon genggam, laptop, atau gadget lainnya? Jika jawabannya adalah "masih", bagus, sayapun juga masih memainkan laptop saat ini.


Loh, kenapa? Saya kan tidak pernah mengatakan bahwa menggunakan teknologi ini adalah hal yang salah, hehe.


Untuk satu dan setiap hal akan selalu ada sisi baik dan buruknya. Yang jelas, segala sesuatu yang berlebihan adalah tidak baik adanya. Saya hanya berpesan kepadamu, Kawan, bahwa semua hal ada batasnya. Tidak apa-apa, periksalah jejaring sosialmu, update-lah status sesukamu, tidak ada yang melarang kok. Tapi, jangan berlebihan. Semua ada batasnya. Ketika orang sedang berbicara denganmu, palingkanlah wajahmu dari laya telepon genggammu dan perhatikan mereka yang sedang berbicara denganmu. Jika kamu merasa pesan yang kamu terima penting, akan jauh lebih baik apabila kamu memohon diri sebentar untuk membalas pesan hingga selesai. Berinteraksilah dengan orang-orang di sekitarmu. Kenali lebih dalam setiap anggota keluargamu. Hiduplah selayaknya manusia, Kawan.


Seperti biasa, saya mohon maaf yang sedalam-dalamnya apabila terdapat kata-kata saya yang menyinggungmu dan terima kasih telah menyempatkan waktumu yang berharga untuk membaca tulisan saya ini. Apabila kamu ingin memberika komentar, kamu bisa tinggalkan komentarmu di bawah pos ini atau mengirimkan e-mail kepada saya. Saya akan senang berdiskusi denganmu. Terima kasih :).



 
 
 

Comments


Featured Posts
Recent Posts
bottom of page